Umat Katolik Indonesia Kekurangan Pastor, Tapi Satu Seminari Kewalahan Tampung Pendaftar
MAUMERE, SATUHARAPAN.COM-Arnoldus Yansen yakin bahwa ia akan menjadi pastor Katolik, sama seperti kakak laki-lakinya, sepupunya, dan pamannya.
Ia bersekolah di Seminari Tinggi St. Petrus, benteng panggilan imamat yang terletak di tengah hutan di Flores, sebuah pulau yang mayoritas penduduknya beragama Katolik di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Muslim. Dikenal dengan sebutan Seminari Tinggi Ritapiret, Seminari Tinggi St. Petrus telah menghasilkan 13 uskup, lebih dari 580 pastor diosesan, dan 23 diakon dalam hampir 70 tahun berdiri.
Namun, Yansen tidak akan menjadi salah satu dari mereka. Ia mencoba menepis apa yang ia pikir sebagai kegelisahan di menit-menit terakhir sebelum memasuki imamat. Sebaliknya, Yansen menanggalkan jubah pastornya untuk selamanya dan bergabung dengan ratusan calon pastor yang mengundurkan diri atau gagal menjalani panggilan Katolik setiap tahun di Indonesia.
“Saya merasa tidak cocok lagi dan bahwa saya akan mampu berbuat lebih banyak jika saya tinggalkan,” kata Yansen, 26 tahun, yang sekarang menjadi administrator di sebuah sekolah Katolik, Ledalero Institute of Philosophy and Creative Technology.
Kunjungan Paus Fransiskus mendatang ke Indonesia menyoroti 8,6 juta umat Katolik yang merupakan 3% dari populasi. Ini adalah negara tempat kaum minoritas agama tetap gelisah karena serangan militan yang menargetkan kelompok agama.
Lebih banyak pria yang masuk seminari, tetapi Yansen dan yang lainnya seperti dia menunjukkan bahwa Indonesia tidak kebal terhadap tren yang berkontribusi terhadap kekurangan pastor secara global di Gereja Katolik, termasuk dampak dari krisis pelecehan seksual oleh pastor dan tarikan dunia modern yang serba cepat.
“Jumlah pastor tidak akan pernah cukup,” kata Pastor Guidelbertus Tanga, rektor Seminari Tinggi St. Petrus, yang dianggap sebagai seminari Katolik terbesar di dunia berdasarkan jumlah pendaftaran. Di Indonesia, terdapat 2.466 imam diosesan di Indonesia pada tahun 2022, naik dari 2.203 pada tahun 2017, menurut statistik Vatikan per 31 Desember 2022, tahun terakhir data tersedia. Jumlah tersebut ditambah dengan lebih banyak imam ordo religius, seperti Jesuit atau Fransiskan, yang jumlahnya mencapai 3.437 pada tahun 2022.
Namun Tanga mencatat bahwa pertumbuhan populasi Indonesia melampaui panggilan imamat. “Kita akan terus menghadapi kekurangan imam di masa depan jika tidak ada yang dilakukan sekarang.”
Asia, bersama dengan Afrika, telah lama dipandang sebagai masa depan Gereja Katolik, baik dalam hal jumlah umat beriman yang dibaptis maupun jumlah pria dan wanita yang memutuskan untuk menjadi imam atau biarawati.
Filipina dan India melampaui Indonesia. Namun dibandingkan dengan seluruh Asia, jumlah seminaris di Indonesia meningkat sementara jumlahnya mendatar atau menurun di seluruh benua.
Sementara Gereja Katolik menghadapi paroki-paroki tanpa pastor di banyak bagian dunia, Seminari Ritapiret kewalahan dengan banyaknya pelamar.
Pria yang sedang menjalani pelatihan untuk menjadi pastor diosesan biasanya menghabiskan enam hingga delapan tahun di seminari, dan dua tahun kerja pastoral, sebelum ditahbiskan. Kurang dari 20 seminaris dapat ditahbiskan setiap tahun, kata Tanga.
“Menjawab panggilan Tuhan dan memilih hidup sebagai pastor tetap menjadi sesuatu yang menarik bagi orang-orang di wilayah ini,” kata Tanga. “Namun kami tetap mengimbau kaum muda untuk berani mengambil keputusan untuk menerima panggilan gereja, dan dukungan dari keluarga dan masyarakat mereka.”
Ia tahu kehidupan monastik tidak cocok untuk semua orang. Sebagian orang menganggap menerima panggilan terlalu membosankan jika dibandingkan dengan cara hidup yang lebih modern.
Tanga mengatakan seminari kini ditantang untuk memberi merek dan mempromosikan diri mereka sendiri guna mendorong kaum muda untuk menjadi pastor. Sekolah dengan 62 dosen itu—lebih dari separuhnya adalah pastor—kini menjadi perguruan tinggi tempat masyarakat umum dapat belajar teknologi digital, ekonomi, dan cara menjadi guru agama Katolik.
Dalam kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia tahun 1989, ia memuji kesetiaan umat di Flores dan jumlah pastor serta biarawati yang terus bertambah. Ia memuji para seminaris di Ritapiret, dengan berkata: “Kalian juga harus memahami bahwa pengabdian yang setia kepada Kristus dan Gereja-Nya tidak akan selalu membuat kalian dipuji dunia. Sebaliknya, kalian kadang-kadang akan menerima perlakuan yang sama seperti Tuhan: penolakan, hinaan, dan bahkan penganiayaan.”
Sekarang sudah menjadi orang suci, kamar tempat ia bermalam di seminari itu telah menjadi tujuan wisata spiritual.
Inosentius Mansur, yang merupakan staf seminari, mengatakan data mereka menunjukkan bahwa kekurangan pastor Katolik bukan disebabkan oleh hilangnya sumber daya, tetapi oleh “hilangnya komitmen moral.”
Skandal pelecehan seksual dan berita-berita tidak menyenangkan lainnya yang muncul dari Vatikan dan tempat lain turut menyebabkan keputusan Yansen untuk meninggalkan jalan menuju imamat, katanya.
Di luar tantangan internal, serangan kekerasan juga menjadi perhatian gereja di Indonesia. Meskipun negara ini mempromosikan dirinya sebagai benteng toleransi di dunia Muslim, kelompok ekstremis kecil telah menjadi lebih vokal dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2021, sepasang suami istri militan meledakkan diri di luar katedral Katolik yang penuh sesak di pulau Sulawesi, ketika akan berlangsung Misa Minggu Palma, yang menyebabkan sedikitnya 20 orang terluka.
Uskup Siprianus Hormat dari Ruteng mengatakan bahwa ia masih percaya bahwa sebagian besar orang Indonesia bersikap toleran kecuali jika ada sesuatu yang memicu konflik, dan bahwa negara ini memiliki masyarakat pluralis yang menghormati kebebasan beragama.
“Secara umum, tindakan atau perilaku intoleransi masih ada, tetapi dalam skala kecil,” kata Hormat. “Ini sebenarnya bukan masalah yang semata-mata terkait dengan isu agama, tetapi digunakan untuk mengobarkan kemarahan orang-orang untuk menindas lawan politik mereka atau mereka yang tidak sependapat dengan mereka.”
Meskipun kebebasan beragama dilindungi oleh konstitusi Indonesia, anggota kelompok minoritas agama dan ateis semakin menjadi sasaran diskriminasi.
“Keberagaman Indonesia adalah kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri,” kata Hormat. “Kita tidak dapat menoleransi tindakan apa pun yang bertujuan untuk menghilangkan agama atau ras tertentu dari negara ini.”
Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional mengatakan dalam laporan tahunannya pada bulan Januari bahwa tuduhan dan hukuman atas penistaan ââagama masih terus terjadi di seluruh Indonesia.
Laporan tersebut mengatakan bahwa hukum pidana baru yang akan diterapkan pada tahun 2026 akan semakin mengkriminalisasi penistaan ââagama dan memperluas pelanggaran lainnya.
Ada juga kekhawatiran tentang inisiatif pemerintah daerah untuk mengkodifikasi diskriminasi terhadap komunitas minoritas yang semakin berkembang. Di beberapa sekolah, ada mandat pakaian keagamaan, termasuk mengenakan jilbab, bahkan untuk anak perempuan non Muslim.
“Kami percaya pada apa yang dikatakan Yesus, bahwa meskipun dunia ini berakhir, kerajaan-Ku tidak akan berakhir,” kata Tanga, rektor seminari tersebut, seraya menambahkan bahwa Gereja Katolik, meskipun telah melalui krisis sebelumnya, “tidak akan pernah punah.”
“Itu artinya panggilan menjadi pastor dan pengabdian kepada Kristus serta Gereja-Nya tidak akan pernah pudar,” katanya. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...