Uni Eropa Peringatkan Twitter Terkait Gagal Atasi Disinformasi
BRUSSELS, SATUHARAPAN.COM - Twitter mendapat kartu kuning dari Komisi Eropa pada Kamis (9/2) karena upayanya untuk mengatasi disinformasi dianggap gagal dibanding Google, Meta Platforms, Microsoft, dan TikTok.
Perusahaan platform sosial media di atas mempresentasikan laporan perkembangan tentang kepatuhan terhadap Kode Praktik Uni Eropa tentang disinformasi, yang diperketat sejak enam bulan terakhir.
Laporan tersebut mencakup data tentang berapa banyak pendapatan iklan perusahaan yang ditangkal dari pelaku disinformasi, jumlah atau nilai iklan politik yang diterima atau ditolak, dan contoh perilaku manipulatif yang terdeteksi.
Komisi Eropa tahun lalu melekatkan Kode Praktik tersebut dengan UU Layanan Digital yang memungkinkan pihak regulator untuk mendenda perusahaan sebanyak 6 persen dari total omzet global jika melakukan pelanggaran.
Wakil Presiden Komisi Eropa untuk Nilai dan Transparansi Vera Jourova secara khusus mengkritisi Twitter.
"Saya kecewa dengan Twitter yang tertinggal dari yang lain. Saya berharap ada komitmen yang lebih serius terhadap kewajiban mereka atas kode tersebut," kata Jourova.
Jourova mengatakan laporan Twitter tidak memiliki data yang cukup serta tidak berisi informasi tentang komitmen untuk memberdayakan pemeriksa fakta.
Petinggi bidang industri Uni Eropa Thierry Breton memperingatkan akan ada sanksi yang berat terhadap ketidakpatuhan.
"Penting untuk semua perusahaan yang menandatangani (perjanjian) untuk mematuhi komitmen mereka dalam sepenuhnya menerapkan kode praktik melawan disinformasi, untuk menjalankan kewajiban dari UU Layanan Digital," kata Breton.
Menurut LSM Avaaz, perusahaan raksasa teknologi gagal dalam mewujudkan komitmen melawan disinformasi.
"Kegaduhan di Twitter meremehkan prinsip-prinsip dasar dalam kode itu. Mereka menetapkan standar yang sangat rendah sehingga tidak ada yang melihat kegagalan platform lain," kata direktur kampanye Avaaz Luca Nicotra.
Nicotra menjelaskan, Google sama sekali tidak menunjukkan kemajuan dalam hal bekerja sama dengan para pemeriksa fakta, serta sangat tertinggal pada transparansi dan akses data.
"TikTok sedang mengejar ketinggalan, tapi algoritma mereka masih memasifkan disinformasi. Sedangkan Meta, meski mencatat beberapa kemajuan, masih menjadi sumber disinformasi paling besar," ujar Nicotra.
Google, Meta, dan TikTok masing-masing mengatakan pihak mereka berkomitmen untuk meningkatkan upaya mereka.
Laporan berikutnya akan diberikan pada Juli. Pada Kamis, perusahaan-perusahaan yang menandatangani komitmen kode praktik itu meluncurkan pusat transparansi yang dapat diakses warga negara, peneliti, dan LSM Uni Eropa untuk mengakses informasi daring tentang upaya mereka dalam memerangi disinformasi. (Reuters)
AS Laporkan Kasus Flu Burung Parah Pertama pada Manusia
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria di Louisiana, Amerika Serikat, menderita penyakit parah perta...