Uni Eropa Pilih Hapus Minyak Kelapa Sawit dari Bahan Bakar Kendaraan
BRUSSELS, SATUHARAPAN.COM – Komisi Eropa telah memutuskan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan, hal itu berseberangan dengan kepentingan produsen minyak kelapa sawit utama Malaysia dan Indonesia.
Komisi menerbitkan kriterianya pada Rabu (13/3), untuk menentukan tanaman apa yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bagian dari undang-undang Uni Eropa baru untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan menjadi 32 persen pada tahun 2030, dan menentukan apa yang merupakan sumber terbarukan yang sesuai.
Penggunaan bahan baku biofuel yang lebih berbahaya akan ditutup secara bertahap pada 2019 hingga 2023, dan dikurangi menjadi nol pada 2030.
Undang-undang tersebut, telah menyebabkan keributan di Indonesia, yang telah mengancam sebuah tantangan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dan Malaysia, yang berupaya membatasi impor produk-produk Prancis atas rencana Prancis menghapus minyak kelapa sawit dari biofuel pada 2020.
Biofuel utama adalah bioetanol, dibuat dari tanaman gula dan sereal, untuk menggantikan bensin dan biodiesel yang dibuat dari minyak nabati, seperti minyak kelapa sawit, kedelai, atau rapeseed (canola).
Komisi berkesimpulan, 45 persen dari ekspansi produksi minyak sawit sejak 2008, menyebabkan kerusakan hutan, lahan basah atau lahan gambut, dan pelepasan gas rumah kaca yang dihasilkan. Itu dibandingkan dengan delapan persen untuk kedelai dan satu persen untuk bunga matahari dan rapeseed.
Pihaknya menetapkan 10 persen, sebagai garis pemisah antara bahan baku yang lebih sedikit dan lebih berbahaya.
Usulan awal Komisi Eropa itu, menarik lebih dari 68.000 komentar dalam periode umpan balik publik selama empat minggu, dan kritik dari para pencinta lingkungan karena mengizinkan sejumlah pengecualian.
Produsen yang dapat menunjukkan bahwa mereka telah meningkatkan hasil panen dapat dikecualikan. Kemudian dapat dikatakan bahwa tanaman mereka menutupi permintaan untuk biofuel, serta untuk makanan dan pakan, tanpa perlu ekspansi ke lahan non-pertanian.
Perluasan tanaman semacam itu akan dianggap kurang berbahaya jika, misalnya, diterapkan oleh petani kecil atau mengarah pada penanaman makanan atau pemanfaatan "tanah yang tidak digunakan".
Di antara perubahan yang dilakukan setelah periode umpan balik adalah, ketentuan bahwa kebun plasma berarti petani yang mandiri, dan memiliki kurang dari dua hektare lahan. Budi daya di tanah yang tidak digunakan juga dibatasi.
Kelompok kampanye Transport & Environment mengatakan, pelabelan minyak kelapa sawit sebagai tidak berkelanjutan adalah tonggak penting dalam perjuangan untuk mengenali dampak iklim, dari membakar makanan untuk energi.
Namun, pihaknya mengatakan kemenangan itu hanya sebagian karena minyak kedelai dan beberapa minyak sawit masih bisa diberi label "hijau".
Pemerintah Uni Eropa dan Parlemen Eropa, memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apakah akan menerima atau akan memveto tindakan tersebut. (Antaranews.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...