Unjuk Rasa Penolakan Otsus Papua Jilid II Dibubarkan Paksa
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM - Aksi unjuk rasa penolakan otonomi khusus (otsus) jilid II di Kota Jayapura, Papua, dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian lantaran tak mengantongi izin. Dalam unjuk rasa itu tiga orang demonstran sempat diamankan aparat kepolisian.
Kapolresta Jayapura Kota, AKBP Gustav R Urbinas menjelaskan pihaknya terpaksa membubarkan aksi unjuk rasa penolakan otsus Papua jilid II, di gapura Universitas Cenderawasih (Uncen), Abepura, di Jayapura, Papua, Senin (28/9) sekitar pukul 11.00 WIT.
Pembubaran paksa dilakukan lantaran unjuk rasa dari massa yang mengatasnamakan "Front Mahasiswa dan Rakyat Papua" itu tak mengantongi izin untuk menyampaikan aspirasinya di depan umum. Sebanyak 550 personel gabungan TNI-Polri disiagakan dalam unjuk rasa itu.
Kata Gustav, selain di Abepura unjuk rasa itu juga dilakukan di Expo Waena, Jayapura. Namun, pembubaran paksa unjuk rasa hanya dilakukan di gapura Uncen.
"Untuk di Expo Waena berjalan baik sehingga selesai orasi dilaksanakan pihak kepolisian memberikan ruang dan waktu, yang penting dibatasi serta tidak mengganggu ruang publik. Tidak ada mobilisasi massa serta konvoi kendaraan dan bubar dengan tertib. Di Abepura juga dilaksanakan imbauan secara bertahap. Tapi pada pukul 11.00 WIT, imbauan ini tidak digubris sehingga dengan terpaksa dilakukan pembubaran paksa dan ada perlawanan," kata Gustav, Senin (28/9).
Dalam pembubaran paksa unjuk rasa itu, satu orang terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka di bagian kepala dan tiga orang sempat diamankan aparat kepolisian. Namun, belakangan polisi memulangkan ketiganya setelah dimintai keterangan.
"Namanya pembubaran paksa pasti tidak akan mulus-mulus saja. Pasti ada satu dua orang yang mungkin terluka, entah itu aparat keamanan atau dari pedemo. Sepanjang masih bisa dikomunikasikan dengan baik saya kira tidak perlu terjadi, karena kami beberapa kali sudah melakukan ini terlalu sering," ungkap Gustav.
Namun, Gustav menampik tudingan bahwa pihaknya telah menutup ruang demokrasi dengan melakukan pembubaran paksa aksi unjuk rasa. Menurutnya, pembubaran paksa unjuk rasa itu dilakukan karena berpotensi mengganggu aktivitas masyarakat lain.
"Kami tidak pernah menutup ruang demokrasi karena masih bisa menyampaikan orasi dan aspirasi. Tidak ada ruang demokrasi yang ditutup, hanya saja dibatasi karena ada hal-hal lain harus dipertimbangkan terhadap ketertiban masyarakat secara umum. Terlebih sekarang ini sedang pandemi Covid-19 sangat tidak disarankan mengumpulkan massa dalam jumlah banyak akan rentan terhadap potensi penularan," ujarnya.
Sementara itu, dalam keterangan resmi Front Mahasiswa dan Rakyat Papua yang diterima VOA, unjuk rasa itu dilakukan karena harapan masyarakat di Bumi Cenderawasih pada otsus tak sesuai harapan, terutama terkait kesejahteraan.
"Namun dalam pelaksanaannya, apa yang diharapkan rakyat Papua itu tidak terwujud. Malah semakin tidak ada harapan hidup bagi orang Papua," kata salah satu perwakilan massa, Ayus Heluka.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...