Upacara Naik Tahta Raja Philippe I, Belgia Diboikot Kelompok Oposisi
BRUSSELS, SATUHARAPAN.COM – Rakyat Belgia menyerukan kegembiraan menyambut raja baru mereka, hari Minggu (21/7). Namun anggota dewan legislatif dari Flanders Utara memboikot penyerahan mahkota Raja Philippe I, terkait perseteruan antara kelompok Flanders (yang berbahasa Belanda) dan Wallonia (yang berbahasa Prancis). Hal ini menjadi persoalan terbesar yang akan dihadapi pertama oleh kerajaan.
Pidato pertamanya sebagai raja dilakukan secara singkat. “Kemakmuran bangsa kita dan institusi adalah mengubah perbedaan menjadi kekuatan.” Dia mengatakan hal itu setelah bersumpah di kantor parlemen negara.
Upacara ditutup dengan peralihan yang dimulai ketika ayah Philippe, Albert, 79 tahun, menyerahkan hak sebagai penguasa seremonial di istana kerajaan di hadapan Perdana Menteri, Elio Di Rupo, yang memimpin kekuatan politik pada era demokrasi parlemen yang memasuki tahun ke-183 tahun.
Kurang dari dua jam kemudian, Belgia telah memiliki raja ke tujuh, Philippe I, 53 tahun, setelah ia bersumpah untuk mematuhi undang-undang Belgia.
Kerumunan royalis dan simpatisan bersorak di setiap langkah keluarga kerajaan tersebut pada hari Minggu. Dari upacara di gereja Katolik pagi hari sampai adegan balkon pada sore hari 13 jam kemudian. Raja Philippe mencium Ratu Mathilde beberapa kali di bawah bulan purnama pada malam hari dalam perayaan di taman kerajaan tersebut.
“Kita telah melewati hari yang indah ini,” Philippe mengatakan di depan rakyat. “Kita harus bangga terhadap negeri kita yang indah ini.”
Boikot Kelompok Flander
Jauh dari rakyat Belgia yang sedang berbahagia dengan raja baru mereka, salah satu kelompok separatis dari kelompok Partai Flander, memboikot upacara parlemen tersebut. Sementara itu, dewan legislatif partai N-VA (aliansi Flander baru), mengirimkan delegasinya.
“Kami adalah demokrat murni dari republik demokrasi,” kata Jan Jambon, pemimpin parlemen aliansi N-VA, yang berambisi menjadi partai oposisi utama yang menginginkan kemerdekaan Flander melalui transisi demokrasi. Mereka menginginkan raja baru bukan yang memainkan peran dalam negosiasi koalisi ke bentuk pemerintahan baru, bukan menjadi kepala angkatan bersenjata dan menandatangan berbagai hukum.
Delegasi kecil N-VA disorot menjadi salah satu tantangan terbesar yang akan dihadapi Philippe dalam masa pemerintahannya, bagaimana mempertahankan relevansi sebagai simbol kesatuan bangsa, dengan mensejahterakan Flander di utara dan memperjuangkan perekonomian Wallonia di selatan.
Philippe akan menghadapi tugas yang besar dalam beberapa bulan pertamanya. Di tengah-tengah memegang pemilihan umum parlemen pada Juni 2014, pemimpin N-VA meminta untuk kewenangan lebih bagi kelompok tersebut. Dan bahkan kekuasaan Philippe akan kurang berpengaruh.
Sampai saat ini, monarki masih merupakan bentuk pemerintahan yang akan dipilih untuk merancang koalisi multipartai untuk mempersatukan perbedaan bahasa.
Anti royalis (penentang kerajaan) mempertimbangkan kekuatan yang akan datang lebih banyak lagi. “Hanya ada satu tempat ia diterima dan itu hanya di negeri dongeng,” kata Michel Mischeenaker, seorang aktivis anti royalis yang berdiri di luar gereja saat upacara Minggu pagi dimulai.
Setelah pemilihan terakhir pada 2010, tercatat 541 hari untuk membentuk pemerintahan di tengah-tengah kekuatan perpecahan, bagaimana kekuatan lebih yang hanya demi kepentingan kelompok bahasa separatis saja, harus di lemahkan dari negara sebagai pusat,.
Tidak seperti lima orang pendahulunya, Raja Albert II yang berusaha menghindari politik sebisa mungkin dan Philippe berharap bisa menyelesaikannya.
Editor : Sabar Subekti
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...