Upah Buruh dan Biaya Siluman
SATUHARAPAN.COM - Adakah hubungan antara korupsi dan buruh? Ada dan banyak. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyebut, tanpa korupsi rakyat Indonesia bisa berpenghasilan Rp 30 juta per bulan. Meski terkesan bombastis, tapi kita semua mengamini persoalan korupsi demikian parah menjangkiti republik ini. Koruptor langsung maupun tidak, merampas hak rakyat, termasuk dalam soal penghasilan. Jelas, ketiadaan korupsi akan berkontribusi besar pada penghasilan rakyat, termasuk buruh di dalamnya.
Logika korupsi mempengaruhi upah buruh juga dikemukakan sejumlah ekonom dan pengusaha. Ekonom dari Universitas Indonesia, Didik Rachbini, mengatakan biaya siluman memakai sepertiga dari total biaya produksi dan kalau dihilangkan maka upah buruh bisa naik dua kali lipat.
Sumber lain menegaskan anggapan Didik Rachbini. Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) di awal 2000-an menunjukkan bahwa persentase yang sama (30 persen) dari biaya produksi yang dikeluarkan pengusaha merupakan biaya siluman alias biaya-biaya yang harus mereka keluarkan untuk pungutan-pungutan liar.
Dari perwakilan pengusaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, menyebut angka berbeda. Menurutnya, biaya siluman dan korupsi di daerah bisa mencapai 10-12 persen dari biaya produksi. Tapi, masih ada tambahan berupa kondisi infrastruktur buruk yang turut menggerus keuangan perusahaan sebesar 14-15 persen dari total ongkos produksi. Infrastruktur buruk jelas buah dari korupsi pula! Sementara anggota DPR Indra yang mengutip data World Bank menyatakan komponen gaji karyawan hanya 9-12 persen saja dari total biaya produksi. Biaya tinggi terjadi akibat adanya pungutan liar (pungli) alias "biaya siluman" yang jumlahnya mencapai 19-24 persen dari total biaya produksi.
Pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut oleh pejabat atau aparat, walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai korupsi, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia. Menurut hasil studi dari Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan United State Agency for International Development (USAID) pada tahun 2004, biaya pungli yang dikeluarkan oleh para pengusaha di sektor industri manufaktur berorientasi ekspor saja, per tahunnya bisa mencapai Rp 3 trilyun.
Tanpa pungutan liar dan infrastruktur memadai, para pengusaha ritel mengaku berani membayar gaji bagi pekerjanya Rp 13 juta per bulan. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta mengatakan kondisi jalan yang tidak baik, pelabuhan tidak standar, mengakibatkan ongkos distribusi yang makin mahal. Di Indonesia ongkos ini mencapai 17 persen, padahal di negara Asia lainnya hanya 7 persen. Pungli saat distribusi barang juga membuat cost untuk transportasi semakin tinggi, 15 persen dari ongkos distribusi habis hanya untuk bayar pungli (Detik.com, 25/10).
Tanpa Solusi
Persoalan biaya siluman ini merupakan salah satu alasan yang kerap dikumandangkan saat buruh menuntut upah layak. Porsi besar untuk pungli yang melebihi biaya pengupahan dalam struktur produksi menjadi bemper penahan kenaikan upah signifikan. Namun seturut dengan itu, kalangan pengusaha lebih memilih menekan upah ketimbang mengurai jaring biaya siluman yang selama ini mendera mereka. Biaya siluman seperti menyandera pengusaha, dan pengusaha laksana mengidap Stockholm Syndrome, tersandera yang mencintai penyandera.
Jika tak sekedar sebagai bahan keluhan, kalangan pengusaha sebenarnya bisa bertindak lebih jauh. Dengan kekuatan ekonominya, seharusnya para pengusaha bisa dengan mudah menekan pemerintah untuk serius menangani korupsi. Mereka juga dapat mengorganisir diri untuk mereduksi biaya siluman, karena bagaimanapun biaya siluman bersifat transaksional yang melibatkan dua pihak.
Pemerintah sendiri melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memahami pentingnya pemberangusan pungli. Menurut SBY, jika pemerasan atau pungli dapat dihapus, maka pengusaha dapat menurunkan harga barang atau jasa. Dengan demikian, beban pungli itu tidak lagi dibebankan kepada rakyat dan dunia usaha bisa lebih kompetitif (Kompas.com, 4/11). Di hadapan pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Istana Bogor, Jawa Barat (4/11), SBY bahkan meminta pengusaha untuk melaporkan kepadanya jika ada pungli dan pemerasan. SBY mengaku akan menindaklanjuti setiap laporan. "Kalau nyata diminta ini, diminta itu, entah (oleh) penegak hukum atau siapapun beritahu. Tembuskan ke saya, enggak mungkin saya biarkan. Tapi kalau prosesnya tahu sama tahu, yah enggak akan ada yang tahu," kata Presiden.
Bukan sekali ini Presiden SBY mengemukakan hal yang sama. Toh, biaya siluman benar-benar siluman. Marak diakui terjadi di berbagai level (daerah dan pusat), namun makluknya tak pernah ketahuan. Masih sangat sedikit pemidanaan terhadap aktor-aktor pungli. Pelaporan tindak pungli tinggal sebagai pelaporan.
Kita punya harapan besar pada KPK yang rajin menangkap koruptor. Masalahnya, KPK sekalipun belum memiliki perhatian besar pada praktik pungli atau biaya siluman. Mereka masih sibuk mengurusi aksi-aksi korup di lingkar kekuasaan (elite politik). Dengan demikian, pungli atau biaya siluman seperti tak ada lawan. Makhluk ini justru berguna sebagai tameng untuk meredam tuntutan buruh. Semua pihak mengiyakan dan setuju, tapi juga tetap membiarkan.
Peran Buruh
Penghapusan korupsi perindustrian merupakan celah lebar bagi akomodasi berbagai kepentingan, termasuk penaikan upah buruh secara signifikan. Namun tanpa tindakan-tindakan mencukupi dari berbagai pihak, pungli tetap akan terjadi, membudaya dan akhirnya menjadi kebiasaan yang seakan-akan lumrah.
Buruh berada sedikit di luar lingkaran para pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam aksi pemberangusan pungli. Buruh justru adalah korban dari korupsi sistemik yang nyaris tak ada ujung pangkalnya ini. Menuntut buruh berbuat lebih, jelas kurang tepat.
Buruh sudah dalam porsi yang pas saat berdemonstrasi habis-habisan menuntut upah layak. Semakin kuat tuntutan buruh, pihak-pihak berwenang (pemerintah, pengusaha) dipaksa untuk mencari jalan keluar untuk mengakomodasi kepentingan buruh. Ruang itu tersedia berupa pengempisan biaya-biaya siluman. Langsung maupun tak langsung, kenaikan upah buruh akan mempengaruhi transaksi ilegal di belakang layar. Nilai biaya siluman akan semakin tertekan, karena ongkos produksi tidak mungkin diperbesar terus-menerus hanya demi memenuhi keinginan para pemeras.
Sayangnya, penetapan upah minimum yang berlaku 2014 menunjukkan kesungguhan yang tidak besar dari pemerintah dan pengusaha untuk menolak praktik pungli di kemudian hari.
Penulis adalah Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...