Upaya Mencari Solusi bagi Papua Tanah Damai
SATUHARAPAN.COM - Peristiwa pengepungan itu terjadi pada hari Jumat (15/7), ketika Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat (PRPPB) berencana mengadakan long march dengan rute Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I di Jalan Kusumanegara, Yogyakarta sampai Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Aksi itu diadakan sebagai bentuk dukungan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh Melanesia Spearhead Group (MSG) dan memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri kepada warga Papua. Peristiwa itu menimbulkan luka mendalam dan menimbulkan reaksi .
Profesor David Robie, jurnalis, penulis dan direktur Pacific Media Center Auckland University of Technology, punya pendapat ketika berbicara di hadapan wartawan Fiji Times, sebagaimana dilaporkan oleh asiapacificreport.nz. Pada kesempatan itu, ia berbicara tentang bagaimana sebaiknya wartawan di Pasifik menangani isu Papua. "Bagi saya, masalah HAM terbesar dan paling mengejutkan di Pasifik adalah isu Papua. Ini harus menjadi cerita global.”
Kekerasan yang terjadi tanah Papua harus menjadi refleksi bersama untuk menciptakan “Papua Tanah Damai” yang menjadi cita–cita bersama rakyat Papua. Memutuskan tali kekerasan adalah salah satu solusi untuk menciptakan “Papua Tanah Damai” itu. Orientasi pendekatannya tidak hanya sekadar pembangunan fisik yang menghubungkan antardaerah agar rakyat Papua menikmati buah pembangunan, namun yang lebih mendasar adalah dengan mengupayakan dialog yang sejati antara pemerintah pusat dengan warga Papua untuk menghentikan lingkaran kekerasan
Kekerasan di tanah Papua merupakan suatu kenyataan yang terus menerus berlangsung dari waktu ke waktu. Beragam kasus kekerasan melahirkan tragedi kemanusiaan bagi rakyat Papua. Ini sekaligus mencerminkan bahwa harkat dan martabat manusia kurang dijunjung dan dihormati.
Kekerasan sering merusak kerukunan hidup dan bahkan bisa mengancam keutuhan NKRI. Komitmen untuk menyelesaikan masalah-masalah di Papua melalui dialog terbuka antara pemerintah pusat dan masyarakat Papua perlu diintensifkan. Semua itu penting dilakukan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang demokratis, modern, dan beradab, serta menjadikan “Papua Tanah Damai”.
Selain itu, perlu juga dikembangkan sikap saling percaya antara Pemerintah Indonesia dan orang asli Papua. Sedini mungkin perlu dilakukan identifikasi terhadap masalah-masalah yang menghambat terwujudnya “Papua Tanah Damai”. Karena itu, perlu suatu gerakan bersama dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal di tanah Papua demi mewujudkan cita-cita bersama itu.
Keadilan untuk Papua
Kekerasan yang terjadi di bumi Papua belakangan ini menunjukkan tiadanya perubahan dalam cara memperlakukan rakyat negeri ini. Amat mengherankan karena kekerasan selalu menjadi pilihan utama (sejak Orde Baru hingga kini), khususnya untuk menghadapi saudara- saudara kita di Bumi Cendrawasih.
Tragedi demi tragedi terjadi tanpa ada kesudahan dan penyelesaian yang jelas. Aksi kekerasan yang dilakukan aparat makin memperpanjang deretan luka yang dialami rakyat Papua. Watak represif negara dipraktikkan dengan mengabaikan segala pelanggaran HAM yang terjadi. Negara begitu semena-mena dan mengabaikan seluruh pendekatan lain kecuali kekerasan. Bahkan nyaris tak terhitung berapa banyak pelanggaran HAM yang sudah terjadi di sana.
Kondisi seperti itu mengingatkan pada rentetan peristiwa kekerasan lain sebelumnya di tanah Papua. Semua terjadi di tengah deru eksploitasi besar-besaran sumber alam dari tanah tumpah darah mereka. Di tengah isu kemiskinan dan ketidakadilan, mereka tersandera oleh isu nasionalisme. Bagaimana sesungguhnya konsep visi kebangsaan Indonesia?
Max Lane dalam “Bangsa yang Belum Selesai” menyatakan perlunya menimba kembali kekuatan dan pertarungan ide serta pikiran dalam menyelesaikan pembangunan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kedaulatan politik memang sudah ada di tangan bangsa ini sejak merdeka setengah abad lebih lalu, tapi nation building memerlukan dinamika baru secara dinamis.
Mempertimbangkan segi dinamika politik, kerumitan, pluralitas sekaligus kekhususan Indonesia sebagai bangsa ”yang belum selesai” justru lahir pertanyaan, haruskah kita memang mengarah pada suatu garis akhir kebangsaan, sekaligus mengabaikan diri dari semua gejolak yang timbul di dalamnya serta melihatnya sebagai semata-mata ancaman?
Dinamika politik kebangsaan tak lepas dari berbagai gejolak, namun bila gejolak itu dilihat semata-mata ancaman, bukan tak mungkin cara pandang kebangsaan ini tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan Orde Baru.
Jauh lebih penting, membicarakan Indonesia sebagai bangsa adalah membicarakan bagaimana seharusnya cara pandang kita dalam melihatnya. Kita berpengalaman saat melihat Indonesia dengan mata buta nasionalisme memperlakukan paham kebangsaan ini layaknya agama. Yang terjadi adalah kekerasan dan penistaan nilai-nilai kemanusiaan.
Papua adalah wilayah yang teramat sering menjadi korban keberingasan tangan-tangan berdarah atas nama nasionalisme ini. Nasionalisme yang dipahami sebagaimana agama hanya akan menghasilkan sikap kebangsaan yang picik, yang selalu melihat perbedaan sebagai musuh. Bila memang NKRI adalah konsep utama kebangsaan ini, menegakkannya haruslah dengan landasan keadilan.
Upaya nation building selama ini justru menghadapi masalah pelik atas sikap-sikap elite yang sering tak menghargai jasa para pahlawan saat merebut Indonesia dari penjajah. Tidak jarang mereka membunuh rakyatnya sendiri karena dianggap melawan dan bertentangan dengan pandangan elite.
Berikan Keadilan
Kita harus membaca persoalan Papua ini dengan searif-arifnya. Kiranya kita perlu becermin dalam diri sendiri, mengapa warga Papua dari dulu hingga kini––yang tercipta dari waktu yang sama, dan juga ikut berjuang untuk menegakkan Bumi Pertiwi—belum sejahtera, padahal kekayaan alamnya sangat melimpah.
Kita memang harus bertanya sejauh mana Indonesia memberikan kontribusi bagi Papua? Kekayaan alam yang begitu melimpah justru tidak membuat rakyatnya mendapatkan kesejahteraan. Realitas seperti ini mengajak kita bersama untuk berpikir ulang, di manakah tanggung jawab Republik ini agar kita bersama- sama merasakan penderitaan kemiskinan rakyat Papua.
Harus diakui, itu adalah bagian dari kesalahan kita sebagai bangsa yang selama ini tidak pernah memiliki perhatian serius terhadap mereka. Kebijakan elite politik Jakarta yang hanya berorientasi untuk sekadar menguras kekayaan mereka adalah kesalahan terbesar kita dalam mengelola suatu bangsa. Keadilan belum pernah menjadi pijakan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. Karena itu, saat ini yang lebih mendesak adalah bagaimana pemerintah bisa lebih proaktif untuk mendekati warga Papua dengan memberikan bukti yang nyata bahwa rakyat Papua adalah bagian terpenting Republik Indonesia.
Rakyat Papua berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam segala hal, terutama dalam mengelola sumber daya alamnya. Otonomi pengelolaan sumber daya alam ini akan bermanfaat besar bagi warga Papua bila ada kemauan politik ke sana.
Pemerintah harus mengoreksi kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk memperoleh akses untuk ikut serta dalam mengelola sumber daya alam. Rakyat Papua hanya bisa menjadi ’Indonesia’, bila politik-Jakarta berorientasi untuk memanusiakan warga Papua.
Pendekatan kekerasan jelas harus ditanggalkan dan dibuang jauh-jauh. Pendekatan kekerasan harus digantikan dengan budaya dialog lewat usaha mencerdaskan kehidupan masyarakat Papua. Perubahan orientasi inilah yang sebenarnya diharapkan rakyat Papua, agar Jakarta memahami bahwa selama ini mereka kurang dimanusiakan.
Dibutuhkan sebuah tata ekonomi baru di mana sumber alam harus digunakan untuk kemakmuran bagi penduduk pemiliknya. Tokoh agama dan masyarakat di harapkan mampu mencari solusi dengan mengupayakan dialog melalui mekanisme “Papua Tanah Damai”.
Sahabat saya Franky Sahilatua, lewat karya liriknya “Aku Papua”, mengingatkan kita semua bahwa Tanah Papua adalah tanah damai, namun kita kerap kali salah dalam menafsirkan dan memahaminya karena kebijakan pemerintah yang selama ini kurang menggunakan nurani. Semoga lewat lirik lagu ini, pengambil kebijakan diingatkan akan perlunya paradigma baru dalam pendekatan mengenai Papua.
Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
seluas tanah sebanyak batu
adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
di sana aku lahir bersama angin
bersama daun
aku dibesarkan
Reff. Hitam kulit keriting rambut
aku Papua
biar nanti langit terbelah
aku Papua
Joe Biden Angkat Isu Sandera AS di Gaza Selama Pertemuan Den...
WASHIGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengangkat isu sandera Amerika ya...