Urgensi Ketahanan Pangan dan Ekonomi
SATUHARAPAN.COM - Beberapa hari ini saya tertarik berefleksi atas dua peristiwa yang berhubungan dengan urgensi pemberdayaan masyarakat. Peristiwa yang pertama adalah beralihnya pola makan masyarakat Papua, di Asmat, Boven Digul khususnya yang semakin meninggalkan sumber daya pangan lokal seperti sagu, ubi jalar dan singkong, dan beralih ke beras dan makanan instan (mie instan dan makanan ikan kaleng) (Kompas, 29/01/2022). Pergeseran ini dipicu oleh pola konsumsi yang beralih karena cara pikir instan karena bantuan tunai, dan bantuan pangan yang berupa beras, yang notabene sebelumnya bukanlah makanan pokok di Papua.
Pola konsumsi yang tidak berpijak pada sumber pangan lokal, akan mencipatakan krisis pangan di masa yang akan datang. Sumber gizi hayati dari pangan lokal tidak lagi dikelola dan ditinggalkan seiring dengan “rasa gurih” yang ditawarkan oleh makanan-makanan instan. Masalah utama disini adalah ketiadaan pemberdayaan masyarakat melalui edukasi untuk menyadari bahwa kebutuhan makanan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dijamin keberlangsungannya. Sumber pangan lokal seperti sagu dan ubi jalar, singkong, ikan selain mudah didapat dari lahan pertanian masyarakat dan sungai ataupun laut, juga akan menjadikan rantai pasok dalam lingkaran supply dan demand tetap terjaga karena ada dalam ekosistem pangan local yang tersedia melimpah.
Peristiwa kedua yang saya refleksikan adalah perubahan masyarakat Kecamatan Jenu Tuban, Jatim yang sempat menjadi miliuner karena uang ganti untung pembebasan lahan mereka untuk proyek kilang minyak, setelah setahun berlalu ada mulai jatuh miskin karena menipisnya uang yang didapat karena menjual lahan pertanian mereka ke perusahaan industri di Tuban. Meskipun, sebagaian masyarakat yang melek finansial mampu menggunakan hasil penjualan lahannya dengan usaha, atau membeli tanah kembali dan diolah sehingga roda ekonomi pendapatan, pengeluaran mereka masih stabil untuk hidup dan mengembangkan ekonomi. Akan tetapi sebagian ada yang tak mampu mengelola uang hasil penjualan tanah, dan habis seiring berjalannya waktu karena untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara mereka belum mendapatkan pekerjaaan lagi, pasca lahan mereka dijual.
Dalam dua peristiwa tersebut saya menemukan adanya benang merah, yaitu minimnya pemberdayaan masyarakat dalam bidang pangan dan ketahanan ekonomi. Hal ini menjadi urgen, karena jika tidak ditangani dan masyarakat tidak diberdayakan akan muncul krisis pangan, gizi buruk dikemudian hari, serta muncul krisis ekonomi yang dialami penduduk lokal yang jatuh miskin karena telah menjual aset dan sumber mata pencahariannya di tanah mereka sendiri. Ereka akan menjadi penonton pembangunan dan perkembangan industri, karena rendahnya pengetahuan dan skill untuk menjadi pegawai atau staf di perusahaan/industri yang ada diwilayahnya.
Ketahanan Pangan
Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan seharusnya diarahkan pada potensi dan aset sumber daya yang dimiliki masyarakat. Peristiwa terjadinya gizi buruk selalu diawali dari kelangkaan pangan, atau lemahnya kemampuan masyarakat mengolah sumber-sumber pangan yang ada di wilayahnya. Kurangnya pengetahuan, minimnya keterampilan dan mental yang instan, mudah menyerah lalu beralih untuk membeli pangan dari luar daerah adalah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerapuhan ketahanan pangan.
Sumber makanan di Papua, di Asmat khususnya berasal dari sagu, ubi jalar, dan singkong, sedangkan sumber lainnya dari ikan yang ada di sungai-sungai atau ikan-ikan di laut. Sagu paling banyak dijadikan makanan pokok di daerah Indonesia bagian timur pada umumnya. Makanan pokok ini biasa diolah menjadi papeda dan disajikan bersama lauk ikan kuah kuning serta sayur. Soal nutrisi, sagu banyak mengandung karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi. Namun, itulah yang menjadikan sagu makanan sumber energi yang baik bagi tubuh. Selain karbohidrat dan kalori, sagu juga mengandung zat besi, kalium, dan kalsium, serta vitamin dan asam folat, tetapi jumlahnya tidak terlalu signifikan.
Sedangkan ubi jalar dan singkong adalah makanan pokok yang cukup populer, karena enak diolah menjadi berbagai olahan. Sebagai makanan pokok, tumbuhan akar ini biasa diolah menjadi ubi rebus, singkong goreng, singkong rebus, hingga tiwul. Nutrisinya cukup padat dan kaya. Dalam sekitar 100 gram singkong, terkandung 40 gram karbohidrat, 165 kalori, dan 2 gram serat, gula, serta protein. Aspek yang harus ada dalam upaya ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan itu sendiri, proses produksi dan pengolahannya. Hingga penyajian pangan menjadi bahan makanan yang bisa dikonsumi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, masyarakat. Ketersediaan pangan yang bergizi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan hidup anak-anak, dan kesehatan masyarakat.
Ketahanan Ekonomi
Sumber aset petani adalah lahannya, ladang dan sawah garapannya, jika itu hilang dan terjual, hilanglah aset yang bisa dikelola untuk mencukupi kebutuhan hidup ekonomi mereka. Minimnya skill dan pengetahuan dari indikator ijazah sekolah yang dimiliki, juga menunjukkan bahwa potensi Sumber Daya Manusia mereka sangatlah terbatas. Jika harus bersaing dengan tenaga kerja ahli atau terampil dari luar wilayah yang memiliki kompetensi (pengetahuan dan keterampilan) yang tinggi pasti mereka kalah. Kekalahan persaingan inilah yang akan menyebabkan mereka tersisih dari upaya untuk mengelola ekonomi dan aset mereka untuk mandiri, sejahtera dan memiliki ketahanan finansial.
Melalui proses pemberdayaan, masyarakat perlu ditingkatkan kapasitasnya agar semakin mampu meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatannya, baik melalui usaha tani maupun usaha lainnya. Peningkatan pendapatan akan menambah kemampuan daya beli, sehingga menambah keleluasaan masyarakat untuk memilih pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Peningkatan produksi komoditas pangan oleh masyarakat, di samping meningkatkan ketersediaan pangan dalam rumah tangga juga akan memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pangan di daerah yang bersangkutan, yang selanjutnya merupakan kontribusi terhadap ketersediaan pangan nasional. Sedangkan untuk masyarakat Kecamatan Jenu Tuban, yang sudah menjual tanah dan menerima hasil pembebasan lahan, perlu benar-benar menggunakan uang yang ada sebagai modal usaha, meningkatkan keterampilan melalui pelatihan-pelatihan wirausaha dan UMKM yang bisa dikembangkan dari potensi yang ada sehingga uang yang ada tidak lenyap seketika seiring berjalannya waktu.
Pergeseran pola hidup entah dalam bidang pangan dan ekonomi, jika tidak diantisipasi dengan pemberdayaan masyarakat maka akan menjadi bencana pangan dan ekonomi di kemudian hari. Pemerintah, Lembaga Masyarakat, Lembaga Agama, Dunia Usaha, Akademisi, Media yang ada disekitar masyarakat perlu bersinergi dan berkolaborasi melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, niscaya krisis pangan dan ekonomi dapat ditanggulangi. Semoga.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...