Utang Budi
SATUHARAPAN.COM – Semasa kecil hidup saya susah. Sebagai sulung dari empat bersaudara yang semuanya perempuan, saya melihat Papa berjualan peralatan makan dan sering ditolak karena ketinggalan zaman. Saya berjanji dalam hati, tak akan berjualan seperti Papa, saya akan belajar giat dan sukses; bekerja di kantor, berkarir, mempunyai mobil, dan tampil modern.
Seiring waktu, prestasi saya membanggakan. Tersangkut biaya, kuliah saya akhirnya dibiayai Paman. Waktu itu Paman menganalogikan seperti memberikan kail kepada keluarga kami dengan membiayai Si Sulung. Bersemangat menggebu, saya membiayai adik-adik sekolah. Tujuan saya satu: setelah mereka bekerja, kami akan saling mendukung keuangan keluarga.
Ketika adik saya satu per satu menikah dan memutuskan tidak bekerja karena ingin menjadi ibu rumah tangga, saya marah. Apalagi saat Papa sakit. Anak-anaknya yang berpenghasilan tinggal saya, memang ada menantu tapi tetap saja berbeda.
Saya kecewa, belum mencapai BEP (break event point), mereka sudah tidak bekerja. Di tengah kemarahan, adik saya mengatakan bahwa mereka tidak minta kuliah dan tidak suka saya menekan karena telah membiayai mereka. Apakah saya tulus?
Kata-kata itu menusuk saya. Apakah saya tulus? Mengingat masa belajar, berusaha berpikir cermat, tidak patah semangat—semua yang saya lakukan untuk mereka. Apakah itu berdampak bagi mereka? Ternyata tidak.
Tekad kuat itu membentuk saya, bukan mereka. Pemahaman ini mendamaikan hati saya. Sebenarnya Tuhan memberi jalan saya untuk bertumbuh dan berkembang. Apa yang selama ini saya pikir untuk mereka, sebenarnya untuk kebaikan saya sendiri. Karena itu, saya tak perlu menuntut mereka, apalagi merasa berjasa. Tak ada utang budi. Sebab semuanya demi kebaikan saya sendiri.
email: inspirasi@satuharapan.com
Ibu Kota India Tercekik Akibat Tingkat Polusi Udara 50 Kali ...
NEW DELHI, SATUHARAPAN.COM-Pihak berwenang di ibu kota India menutup sekolah, menghentikan pembangun...