Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 20:13 WIB | Selasa, 21 Januari 2014

UU ITE, Belenggu Baru Bagi Kebebasan Berekspresi

Narasumber dalam Diskusi Publik bertema Tantangan Kebebasan Berekspresi di Ranah Online pada Selasa (21/1) di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. (Foto: Equivalent Pangasi)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Alih-alih memberikan banyak dampak baik, pelaksanaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) justru dianggap menjadi ancaman baru bagi perlindungan kebebasan sipil di Indonesia.

Dalam sebuah diskusi publik yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dengan tajuk “Tantangan Kebebasan Berekspresi di Ranah Online” di Jakarta pada Selasa (21/1), berbagai kritik dan masukan muncul sebagai reaksi atas UU ITE.

Prita Mulyasari, korban penerapan UU ITE, memberikan testimoninya mengenai sengketa antara dirinya Rumah Sakit Omni International, Tangerang. Dalam testimoninya tersebut, Prita menyayangkan bagaimana ungkapan perasaannya justru menjadi alat untuk menjeratnya.

Prita juga merasa prihatin terhadap 32 orang yang kini terancam jeratan hukum karena pelaksanaan UU ITE ini.

“Saya sempat membuat petisi untuk menjaring dukungan masyarakat agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) meninjau ulang UU ITE ini,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, hadir pula Donny Budi Utoyo, aktivis Information and Communication Technology (ICT) Watch Indonesia. Donny mengritik sistem penyaringan situs-situs yang di antaranya menyortir domain dan kata kunci yang digunakan. Ia menyayangkan ketidakjelasan sistem penyaringan yang digunakan sehingga mengakibatkan kesalahan pemblokiran terhadap beberapa situs.

Sekretaris Ditjen Aplikasi dan Telematika Kemkominfo, Djoko Agung Harijadi, mengakui tentang adanya kekurangan dari UU ITE. Ia pun mengakui bahwa berbagai masukan dari Dewan Pers dan institusi lainnya sangat diperlukan.

Stanley Adi Prasetyo (anggota Dewan Pers) mengatakan bahwa ada kekeliruan cara pandang masyarakat, terutama dalam hal mencegah terjadinya kejahatan cyber.

“Tugas melindungi anak seolah-olah diberikan ke pemerintah sehingga pemerintah pun seolah-olah melindungi anak-anak dengan menerapkan sistem penyaringan internet. Seharusnya, tugas ini dikembalikan ke orang tua,” ujarnya.

Menurut Stanley, masyarakat tidak bisa mempercayakan kontrol sepenuhnya ke pemerintah karena masyarakat sendiri memiliki peran untuk mengontrol penyebaran informasi misalnya melalui citizen journalism dan parental control.

Stanley menganggap bahwa penerapan UU ITE dengan fungsi mengawasi peredaran informasi sebenarnya belum perlu. Ia mengatakan bahwa pengawasan tidak perlu dilakukan saat negara berada pada situasi “tertib sipil”, atau dalam istilah lainnya aman terkendali.

Namun Stanley juga menyayangkan bahwa situs-situs yang mengandung unsur radikalisme dan bersifat menghasut justru tidak ditangani.

“Situasinya adalah yang porno digencet, yang radikal dibiarkan,” sesalnya.

Menurutnya, sistem penyaringan internet yang saat ini dilakukan melalui pemblokiran situs-situs tidak akan mengatasi kejahatan cyber karena akan selalu ada ada cara baru untuk menembusnya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home