Vaksinasi, Imunisasi, dan Sejarahnya di Indonesia
SATUHARAPAN.COM – Merebaknya isu vaksin palsu mendorong sebagian orang mengingat perjalanan awal imunisasi. Mengapa orang harus menjalani vaksinasi, yang merupakan imunisasi aktif?
Imunisasi adalah investasi kesehatan masa depan. Pencegahan penyakit melalui imunisasi merupakan cara perlindungan terhadap infeksi paling efektif, dan jauh lebih murah dibanding mengobati seseorang apabila telah jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Pelaksanaan imunisasi di Indonesia, sebenarnya telah dimulai sejak sebelum Perang Dunia kedua, dengan tujuan memberantas penyakit cacar. Kemudian kegiatan imunisasi ini dilaksanakan secara rutin di seluruh Indonesia sejak tahun 1956. Kegiatan imunisasi ini telah berhasil membasmi penyakit cacar, dibuktikan dengan Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974.
Kemudian pada tahun 1977, WHO memulai pelaksanaan program imunisasi sebagai upaya global secara resmi dan disebut suatu Expanded Program on Immunization (EPI) yang dikenal di Indonesia sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Di Indonesia, program imunisasi secara resmi dimulai di 55 puskesmas pada tahun 1977.
Beberapa antigen mulai menjadi program imunisasi nasional, seperti BCG tahun 1973, Tetanus Toksoid (TT) Ibu Hamil tahun 1974, Difteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT) pada tahun 1976. Berikutnya, Polio pada tahun 1981, Campak pada tahun 1982, dan Hepatitis B tahun 1997.
Pada tahun 1990, secara nasional Indonesia mencapai status Universal Child Immunization (UCI), yaitu mencakup minimal 80 persen (Campak) sebelum anak berusia satu tahun dan cakupan untuk DPT-3 minimal 90 persen.
Hal yang penting diperhatikan adalah keteraturan dalam pemberian imunisasi. Jadwal disesuaikan dengan kelompok umur yang paling banyak terjangkit penyakit tersebut. Hasil beberapa penelitian melaporkan, kadar kekebalan (antibodi) yang terbentuk pada bayi lebih baik daripada anak yang lebih besar, maka sebab itu sebagian besar vaksin diberikan pada umur enam bulan pertama kehidupan.
Beberapa jenis vaksin memerlukan pemberian ulangan setelah umur satu tahun, untuk mempertahankan kadar antibodi dalam jangka waktu lama.
Standar Penyimpanan dan Alur Distribusi Vaksin
Hal yang penting diperhatikan dalam imunisasi adalah vaksin. Vaksin adalah senyawa antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif dan meningkatkan imunitas tubuh terhadap suatu penyakit, sehingga tubuh dapat segera membuat antibodi yang di kemudian hari dapat mencegah atau kebal dari penyakit tersebut.
Sebab itu, ada beberapa standar yang harus dilakukan untuk menyimpan dan mengatur pendistribusiannya ke berbagai wilayah, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan. Perlu memperlakukan vaksin dengan hati-hati. Vaksin akan kehilangan potensinya jika penyimpanan dan pendistribusiannya tidak benar.
Penyimpanan vaksin, membutuhkan suatu perhatian khusus karena vaksin merupakan sediaan biologis yang rentan terhadap perubahan temperatur lingkungan.
Pedoman Teknis Imunisasi Tingkat Puskesmas, Depkes RI, 2005, menyebutkan sarana penyimpanan vaksin di setiap tingkat administrasi berbeda, seperti berikut ini:
-Di tingkat pusat, sarana penyimpan vaksin adalah kamar dingin/cold room. Ruangan ini seluruh dindingnya diisolasi untuk menghindarkan panas masuk ke dalam ruangan. Ada dua kamar dingin yaitu dengan suhu +2 derajat C sampai +8 derajat C dan suhu -20 derajat C sampai -25 derajat C. Sarana ini dilengkapi dengan generator cadangan untuk mengatasi putusnya aliran listrik.
-Di tingkat provinsi, vaksin disimpan pada kamar dingin dengan suhu -20 derajat C sampai -25 derajat C.
-Di tingkat kabupaten, sarana penyimpanan vaksin menggunakan lemari es dan freezer. Agar vaksin tetap mempunyai potensi yang baik sewaktu diberikan kepada sasaran, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini: pengaturan dan penataan vaksin di dalam lemari es, pengontrolan suhu lemari es dengan penempatan termometer di dalam lemari di tempat yang benar, dan pencatatan suhu pada kartu suhu atau grafik suhu sebanyak dua kali sehari pada pagi dan siang hari, pencatatan data vaksin di buku catatan vaksin, meliputi tanggal diterima atau dikeluarkan, nomor batch (penandaan yang terdiri atas angka atau huruf atau gabungan keduannya), tanggal kadaluwarsa, jumlah diterima atau dikeluarkan, dan jumlah sisa yang ada.
Pada pelaksanaan program imunisasi, salah satu kebijakan yang dipersyaratkan adalah tetap membuka vial atau ampul baru meskipun sasaran sedikit. Adanya Vaccine Vial Monitor (VVM) sangat membantu petugas dalam manajemen vaksin secara cepat dengan melihat perubahan warna pada indikator yang ada.
Alur Distribusi Vaksin
Pendistribusian vaksin dari industri farmasi sampai ke lapangan merupakan suatu skema rantai dingin yang tidak boleh terputus.
Menurut petunjuk WHO, demikian pula menurut Modul Latihan Petugas Imunisasi, Depkes RI, 1993 dalam Inisiatif Pengelolaan Penyimpanan Vaksin yang Efektif (2003), pengambilan vaksin harus menggunakan peralatan rantai dingin vaksin yang sudah ditentukan, misalnya cold box atau vaccine carrier atau termos.
Cold box ini dapat mempertahankan suhu penyimpanan vaksin 2 derajat C- 8 derajat C hingga 72 jam, bila tertutup rapat bila diisi dengan cool pack dalam jumlah yang cukup. Vaccine dapat mempertahankan suhu penyimpanannya antara 2 derajat C – 8 derajat C sampai 36 jam.
Cold box digunakan untuk mengangkut vaksin dari pabrik ke provinsi dan dari provinsi ke kabupaten. Sedang dari kabupaten ke puskesmas menggunakan vaccine carrier. Dari puskesmas ke posyandu, menggunakan vaccine carrier atau termos.
Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, petugas harus memeriksa indikator vaksin (VVM), kecuali vaksin BCG. Selanjutnya ke dalam vaccine carrier dimasukkan kotak cair dingin (cool pack) dan di bagian tengah diletakkan termometer. Vaccine carrier yang telah berisi vaksin, selama perjalanan tidak boleh terkena sinar matahari langsung
Unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas, atau rumah sakit, memiliki pola distribusi obat dan perbekalan kesehatan secara langsung kepada masyarakat. Dalam hal ini rantai distribusi obat berakhir pada Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).
Terdapat tiga pola distribusi yang lazim terjadi pada UPK yaitu :
-UPK Distribusi langsung, yang melaksanakan pelayanan kesehatan baik pencegahan, pengobatan, perawatan penyakit secara langsung kepada penderita dalam hal ini adalah masyarakat luas.
-Distribusi perantara, apabila UPK di dalam wilayah kerjanya memiliki unit-unit pelayanan pembantu seperti puskemas pembantu atau puskesmas keliling. Maka dalam hal ini, puskesmas tersebut berfungsi untuk menyalurkan pasokan obat dan perbekalan farmasi, yang merupakan perpanjangan tangan instalasi farmasi/gudang farmasi kabupaten/kota.
-Distribusi khusus, jalur distribusi untuk obat program seperti program imunisasi sesaat, yaitu ketika ada program tertentu seperti dalam hal pemberantasan penyakit atau terjadi kasus endemik. Dalam hal ini pelaksana program yang ditunjuk dinas kesehatan dapat langsung mengelola persediaan obat di puskesmas pembantu wilayah sasaran program. (infoimunisasi.com/indonesian-publichealth.com)
Editor : Sotyati
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...