Virus Corona: Ilmuwan Berpacu dengan Waktu Lakukan Terobosan Temukan Vaksin
AMERIKA SERIKAT, SATUHARAPAN.COM – Para ilmuwan menggunakan berbagai metode berbeda untuk mencoba meningkatkan repsons kekebalan tubuh terhadap virus corona.
Saat kasus infeksi virus corona terus menyebar, perlombaan untuk menemukan vaksin untuk melawannya mendorong teknologi medis mengambil langkah-langkah yang tak biasa.
Pemerintahan berbagai negara, lembaga riset, industri obat dan lembaga donor mencurahkan uang dan sumber daya untuk melawan virus yang awalnya muncul di Wuhan, China tersebut.
Biasanya dibutuhkan tahunan untuk mengembangkan vaksin.
Namun, para ilmuwan sedang mengembangkan teknologi baru untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan.
Berikut adalah beberapa upaya paling menjanjikan.
Capit Molekuler
Di University of Queensland (UQ), Australia, vaksin baru sedang dikembangkan dengan "kecepatan yang pernah terjadi sebelumnya", menggunakan teknologi yang dibuat oleh peneliti UQ, yang disebut sebagai "capit molekuler".
Teknologi ini, membuat ilmuwan bisa meniru protein di permukaan virus yang memicu adanya respons dari sistem kekebalan tubuh kita.
Dalam vaksin, protein "sering tidak stabil atau berubah strukturnya sehingga mereka tak memicu antibodi," kata Profesor Paul Young, direktur UQ School of Chemistry and Molecular Biosciences, kepada BBC, yag dilansir bbc.com, pada Senin (10/2).
Capit molekuler, mengunci protein ini menjadi struktur yang secara tepat meniru bentuk permukaan virus sehingga sistem kekebalan tubuh kita mengenalinya saat infeksi terjadi.
Vaksin ini bisa diuji coba dalam waktu enam bulan, menurut UQ.
Profesor Young mengatakan, respons yang cepat ini tak terlepas dari lekasnya penerbitan kode genetik virus itu oleh pihak berwenang China.
Kecepatan yang Tak Pernah Terjadi Sebelumnya
Vaksin, biasanya dibuat dari bakteri atau virus yang menyebabkan penyakit yang sudah dilemahkan.
Namun, kini hal itu bisa dilakukan dengan mensintesis bagian dari DNA virus dengan memakai informasi genetik, sehingga memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan vaksin.
China telah mengedarkan informasi kode genetik itu tanggal 10 Januari, tiga hari sesudah virus yang dikenal dengan nama 2019-nCoV ini berhasil diidentifikasi.
Riset di UQ didanai oleh Coalition for Epidemic Preparedness Innovations (CEPI), yang terdiri atas pemerintahan dan lembaga amal dari seluruh dunia.
Kelompok ini, menyerukan kepada lembaga di seluruh dunia yang punya teknologi vaksin yang sudah terbukti bisa melawan 2019-nCoV, untuk melamar dana hibah kepada mereka.
CEPI dan perusahaan obat raksasa GSK, juga mengumumkan kemitraan dalam menggunakan agen yang bisa meningkatkan tanggapan kekebalan tubuh, yang disebut adjuvan.
Ketika ditambahkan ke dalam vaksin, adjuvan bisa menciptakan kekebalan tubuh yang lebih lama dan lebih kuat.
"Adjuvan, penting dalam situasi pandemi karena dengan ini kita bisa menggunakan sejumlah kecil saja vaksin antigen. Artinya kita bisa memproduksi lebih banyak vaksin," kata GSK kepada BBC.
Adjuvan ini telah digunakan saat wabah flu burung dan flu babi.
Perangkat Lunak Pengkodean Genetik
Teknologi berbeda digunakan oleh Moderna Inc di Amerika dan CureVac di Jerman.
Mereka bekerja dengan messenger RNA (mRNA) molekul yang memberitahu kepada tubuh manusia bagaimana memproduksi pertahanan kekebalan tubuh.
Jika kita umpamakan DNA sebagai hard disk yang menyimpan informasi genetis, RNA adalah alat pembaca yang memecahkan kode informasi itu.
Ketika sel butuh memproduksi protein tertentu, informasi genetis itu dibawa menuju "pabrik sel" oleh mRNAs.
Dengan mengutak-atik mRNA, CureVac berhasil mengembangkan terapi kanker, terapi antibodi dan perawatan terhadap penyakit langka serta pengembangan vaksin.
Dr Tilman Roos, direktur senior menyatakan kepada BBC, dibutuhkan dua jam saja bagi sel untuk meningkatkan pertahanan tubuh.
Vaksin untuk melawan 2019-nCoV bisa siap untuk uji coba klinis "dalam beberapa bulan", katanya.
Namun, upaya yang berpeluang untuk membawa perubahan besar adalah rencana perusahaan ini untuk mengembangkan "cetakan RNA" portabel yang bisa dibawa ke lokasi yang membutuhkan vaksin.
Upaya ini bisa memasok mRNA dengan cepat untuk meningkatkan produksi vaksin di lokasi wabah.
Teknologi messenger RNA ini juga, digunakan oleh Moderna Inc yang berkantor di Massachusetts dengan dana dari CEPI dan US National Institute of Allergy and Infectious Diseases.
Studi klinis pertama terhadap manusia bisa dilakukan di Amerika dalam tiga bulan ini.
Namun, direktur Moderna Stephane Bancel memperingatkan bahwa "vaksin ini tidak akan siap diproduksi sampai pertengahan tahun ini".
Menyerang Kelemahan Virus
Di laboratorium Inovio di San Diego, ilmuwan menggunakan teknologi DNA baru untuk mengembangkan vaksin yang direncanakan diujicobakan pada manusia awal musim panas tahun ini.
"Vaksin DNA kami ini baru karena menggunakan sekuens DNA dari virus yang menyasar bagian tertentu dari patogen. Kami yakin, ini akan direspons oleh tubuh dengan cara terbaik," kata Kate Broderick, wakil presiden riset dan pengembangan Inovio, kepada BBC.
"Kemudian kami pakai sel pasien sendiri untuk menjadi penghasil vaksin, memperkuat mekanisme respons alamiah tubuh."
Inovio mengatakan, uji coba pertama kepada manusia telah berhasil, dan uji coba lebih besar akan menyusul, idealnya di China dalam suasana wabah sesungguhnya, diharapkan "akhir tahun ini".
Perusahaan ini mengatakan, mereka mengembangkan vaksin yang siap untuk diujicoba kepada manusia menyusul infeksi virus Zika tujuh bulan lalu.
"Kami yakin bisa mempercepat jadwal kami untuk mengatasi tantangan saat ini seiring wabah virus corona," kata J Joseph Kim, direktur Inovio.
Upaya Global
Ini merupakan beberapa contoh saja dari riset melawan virus corona.
Berbagai lembaga lain di Inggris, Jepang dan China sendiri, juga sedang mencari penyelesaian.
Badan ilmiah nasional Australia, CSIRO, misalnya, menyelidiki berapa lama yang dibutuhkan virus ini untuk tumbuh dan berkembangbiak, dampak terhadap sistem pernapasan dan bagaimana penyebarannya.
Di Prancis, Pasteur Institute telah membentuk gugus tugas untuk memahami virus corona, mengembangkan vaksin, dan muncul dengan alat pendiagnosa dan strategi pengendalian wabah.
Namun, ketika waktu untuk mengembangkan vaksin tetap berkurang dari biasanya, wabah sekarang ini bisa berakhir sebelum vaksin itu siap untuk dipakai secara luas.
Namun, menurut Dr Gregory Glenn, kepala riset Novavax Lab, AS, bukan berarti segala upaya ini sia-sia.
"Virus corona bisa berkembang selagi epidemi terjadi dan sangat penting punya satu vaksin yang bisa punya respons beragam terhadapnya," kata Dr Glenn kepada wartawan.
"Hal lain lagi, mungkin saja epidemi gelombang kedua yang bisa lebih besar. Kami ingin kita semua siap kalau ini terjadi," katanya. (bbc.com)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...