Virus Radikalisme dan Terorisme Menjangkiti Generasi Muda
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Mansyur Medan, Sumatera Utara, pada hari Minggu (28/8), oleh Ivan Armadi Hasibuan, patut mendapat perhatian dari berbagai pihak.
Meski diduga tidak berdiri sendiri, kecenderungan remaja untuk mudah terjangkit virus radikalisme dan terorisme, sehingga terlibat dalam pemboman maupun tindakan intoleran dan radikal lainnya harus selalu diwaspadai.
“Ivan memang tidak berafiliasi kepada organisasi tertentu seperti ISIS maupun sejenisnya. Namun, yang patut diperhatikan adalah bahwa ISIS/kelompok ekstrem memang menargetkan anak-anak muda, terutama pelajar untuk direkrut,” kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, di Jakarta, hari Senin (29/8).
Hal itu berbeda dengan JI (Jamaah Islamiyah), yang direktrut tidak lagi semata berasal dari kalangan keluarga yang bersimpati ke DI/TII tetapi dari keluarga yang tidak punya kaitan juga disasar.
Selain itu, peran media sosial sangat berpengaruh, terutama chat (obrolan) grup tertutup dan situs radikal di internet yang terus ada meski sudah sebagian ditutup pemerintah, telah berkontribusi kuat pada penyebaran radikalisme melalui dunia maya.
“Melalui media internet inilah anak muda disasar menjadi simpatisan, aktor, atau bahkan sekadar individu yang beraksi secara tersendiri tetapi termotivasi oleh konten di dunia maya,” ujar Bonar.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Setara Institute tentang toleransi dan terorisme di kalangan pelajar di Jakarta dan Bandung tahun 2016, menunjukkan bahwa kondisi toleransi siswa, di mana 61,6 persen siswa berada di kategori toleran, kemudian 35,7 persen intoleran pasif/puritan, lalu sebanyak 2,4 persen masuk kategori intoleran aktif/radikal, dan terdapat 0,3 persen yang berpotensi menjadi teroris.
Untuk itu, Setara Institute mengimbau agar pemerintah memperhatikan media-media yang sering digunakan untuk melakukan perekrutan maupun yang menyebarkan ujaran-ujaran kebencian yang bisa menyebabkan generasi muda menjadi radikal dan menumbuhkan niat mereka untuk bergabung dengan kelompok-kelompok radikal.
Demikian halnya kondisi pelajar di tingkat sekolah menengah atas (SMU), juga harus mendapat perhatian, baik dari segi pendidikan, termasuk di dalamnya adalah kurikulum dan materi-materi bermuatan radikal dalam bahan bacaan, maupun keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi.
Namun, pengawasan tersebut harus tetap mempertimbangkan hak-hak warga negara, termasuk hak menyatakan pendapat dan berekspresi, sehingga tidak menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di kemudian hari. (PR)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Daftar Pemenang The Best FIFA 2024
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Malam penganugerahan The Best FIFA Football Awards 2024 telah rampung dig...