Loading...
INDONESIA
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 08:53 WIB | Kamis, 11 Agustus 2016

Wacana Remisi Untuk Pencuri Uang Rakyat

Ilustrasi. Tersangka I Putu Sudiartana, anggota non aktif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari fraksi Partai Demokrat yang tersandung kasus dugaan penerimaan suap pembangunan 12 ruas jalan di Provinsi Sumatera Barat. (Foto: Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mempertimbangkan kembali wacana untuk mengurangi hukuman bagi terpidana korupsi dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Tujuannya adalah untuk meminimalisir kerusuhan di unit pelaksana teknis pemasayarakatan. Laoly menilai PP 99/2012 dibuat tanpa mempertimbangkan masukan dari kriminolog, proyeksi terhadap angka kriminalitas dan kemampuan anggaran negara untuk menambah fasilitas dan jumlah pegawai.

Selain itu, dia menilai remisi merupakan hak narapidana, yang mana peraturan soal remisi ini kemudian diharapkan dapat kembali ke PP Nomor 32 Tahun 1999.

KPK Tegas Menolak

Sementara itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menolak wacana tersebut. Dia menilai ini akan menghilangkan efek jera yang ingin ditanamkan oleh lembaga tersebut.

“Kalau koruptor harapan kami jangan ada remisi,” kata Agus di gedung Lembaga Administrasi Negara, di Jakarta, hari Rabu (11/8).

Dia khawatir pertimbangan Laoly ini akan membuat koruptor tidak kapok untuk melakukan korupsi yang pada akhirnya merugikan negara.

Bahkan saat ini KPK sedang merancang hukuman bagi koruptor dengan efek jera yang lebih besar dibandingkan produk hukum yang berlaku saat ini.

 "Selain hukuman badan, kami juga sedang memikirkan langkah agar kerugian negara dikembalikan, beserta denda," kata Agus.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif mengatakan usulan remisi koruptor ini datang hampir setiap pekan.

"Bahkan sekarang hampir setiap pekan, Kemenkum HAM mengirim surat pada KPK meminta agar (narapidana) diberikan (status) justice collaborator, agar bisa mendapatkan remisi. (Padahal) mereka tidak dalam status justice collaborator," kata Laode Syarief.

"Ya jelas selalu kami tolak."

Laode M. Syarif menambahkan remisi sudah lama dicurigai diperdagangkan oleh pejabat tertentu dengan para narapidana.

Setiap tahunnya para narapidana berhak mendapatkan remisi atau pengurangan hukuman, menandai peringatan 17 Agustus, Lebaran, Natal, dan hari raya agama lain.

Tetapi melalui PP 99 tahun 2012, para narapidana narkotika, korupsi dan terorisme, dikecualikan dan mendapat syarat tambahan, antara lain membantu membongkar kejahatan terkait atau sejenis.

Wacana Basi

Wacana pengurangan hukuman ini bukanlah ide baru di dunia hukum. Sejak awal tahun 2015 Laoly sudah menyuarakan niatnya untuk mengubah PP99 yang dirancang oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM sebelumnya yaitu Denny Indrayana.

Kemudian ide itu langsung mendapatkan penolakan luas di masyarakat sehingga Laoly terpaksa mengurungkan niatnya.

Menurut Lalola Esther dari ICW, ide ini hanya sebagai akal-akalan.

"Kalau melihat riwayatnya, bisa dikatakan ini merupakan upaya pemerintah untuk mengakali dan meredam penolakan publik," kata dia.

"Berbeda dengan tahun lalu, sekarang pemerintah tak menggunakan istilah revisi PP 99 / 2012. Mereka menyebutnya Rancangan Peraturan Pemerintah tentang warga Binaan. Sepertinya berbeda, tetapi sebetulnya isinya sama, yaitu mengganti PP 99 agar memberi kemudahan remisi bagi koruptor dll," kata Lalola.

Seperti yang diberitakan oleh BBC Indonesia, tim Kemenkumham dan KPK sudah bertemu untuk membahas masalah tersebut. Kemenkumham juga sudah menjadwalkan kunjungan ke KPK untuk memaparkan apa yang disebut sebagai Laporan Penelitian Aspek Hukum Pemberian Remisi Narapidana Kasus Korupsi.

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home