Wahid Institute: Sepanjang 2013, 245 Politik Intoleransi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Peneliti The Wahid Institute, Alamsyah M. Djafar mengatakan, pemerintah belum mengambil kebijakan yang menjamin kebebesan beragama di Indonesia. Hal itu ditandai dengan pengungsian warga Ahmadiyah dan Syiah.
Bahkan, laporan tahunan kebebesan beragama sepanjang tahun 2013 the Wahid Institute menyebutkan, jumlah pelanggaran sebanyak 245 kasus atau peristiwa dengan 278 tindakan.
"Sumber dari kasus -kasus ini pada mulanya lahir dari rangkaian penerapan apa yang disebut sebagai 'politik intoleransi' baik yang dilakukan negara maupun warga negara," kata Djafar seperti yang dikutip dari kertas kerja Internatonal NGO Forum on Indonesia (INFID) di Grand Willow, Hotel Royal Kuningan, Jl. H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (15/10).
Politik intoleransi, lanjut Djafar, adalah lawan dari 'politik toleransi' yang dimaknai sebagai kesediaan mengakui dan memperluas hak-hak dasar dan kebebasan sipil terhadap orang-orang dan kelompok-kelompok yang berbeda dari sudut pandang kita sendiri. Politik toleransi itu penting, sebab pertama toleransi dapat membantu menjaga masyarakat bersama-sama. Bahkan dalam menghadapi konflik yang intens.
Kedua toleransi merupakan bagian dari hak-hak sipil dimana individu-individu dapat harapkan di alam demokrasi. Ketiga intolerasi melanggar kebebasan individu atau warga negara karena kebebasan dan toleransi dua hal yang saling terkait.
Djafar menambahkan, untuk melihat politik toleran dijalankan negara atau tidak, dapat dilihat dari Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2015. Dalam dokumen ini, nampak Negara tampak bersikap netral terhadap agama yang dipeluk warganya, namun dalam praktiknya tidak.
Buktinya, kata dia, Kemenag sebagai tangan pemerintah, sering dikritik lantaran dianggap melanggengkan diskriminasi berbasis agama dan kenyakinan. Negara masih 'kikuk' memosisikan agama, satu sisi, mesti mengakui peran penting agama tapi di saat bersama harus bersikap netral dan adil terhadap setiap agama.
"Ini tampak pada kebijkan 'agama resmi' atau 'agama yang diakui' yang mencakup Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Pemerintah juga menganggap aliran kebatinan bukan sebagai agama," kata Djafar.
Padahal, kata Djafar, intervensi keyakinan dan politik intoleransi negara semacam ini dalam praktiknya berdampak jauh pada praktik-praktik diskriminasi. Diskriminasi yang terlembaga ini dalam jangka panjang melahirkan sikap intoleransi dan diskriminasi level warga negara.
Editor : Bayu Probo
Bahaya Aneurisma Otak dan Cara Penanganannya
TANGERANG, SATUHARAPAN.COM - Dokter Subspesialis Aneurisma Mardjono Tjahjadi dari Mandaya Royal Hosp...