Warga Australia Korban Bom Bali 2005 Memaafkan Pelaku
CANBERRA, SATUHARAPAN.COM - Salah satu warga Australia, Aleta Lederwasch, yang menjadi korban peristiwa bom Bali pada tahun 2005, mengatakan dirinya tidak lagi marah kepada pelaku pengeboman.
Aleta mengakui pengalaman itu menyisakan efek baginya, karena ia merasa mengalami kesulitan untuk melakukan perjalanan ke luar negeri. Namun dia merasa bersyukur bisa selamat dan mengaku tidak marah kepada pelaku.
"Saya sangat beruntung selamat bisa tetap berjalan, beruntung masih bisa makan dan memiliki anak yang cantik. Namun saya sedih, orang yang melakukan hal ini saya bayangkan mereka bukanlah orang yang bahagia," kata Aleta sebagaimana dikutip Australia Plus, hari Kamis (1/10).
"Memang banyak orang tidak bahagia namun orang yang melakukan hal ini adalah anak muda yang rentan dan lemah," kata dia menambahkan.
Peristiwa yang terjadi 10 tahun lalu itu, pada 1 Oktober 2005, dikenal pula sebagai Bom Bali kedua, dan menewaskan 15 warga Indonesia serta empat warga Australia.
Tiga tahun sebelumnya, yaitu tahun 2002, terjadi peristiwa Bom Bali pertama yang merenggut nyawa 202 orang, 88 di antaranya merupakan warga Australia.
Dalam Bom Bali kedua, tiga pelaku bom bunuh diri melakukan aksinya dengan sasaran restoran di Pantai Jimbaran dan sebuah kafe di Kuta.
Saat itu, Aleta Lederwasch yang masih berusia 21 tahun, pergi ke Bali sebagai perjalanan ke luar negeri yang pertama baginya. Wanita asal Kota Newcastle ini datang ke Bali bersama anggota keluarga dan temannya.
Aleta menceritakan bahwa saat itu dia memang merasa agak was-was pergi ke Bali mengingat peristiwa serangan bom di tahun 2002 masih segar dalam ingatan.
"Pantainya indah dengan pemandangan senja yang mengesankan. Semuanya begitu menenangkan namun memang saya sedikit was-was," katanya.
"Saat ledakan pertama terdengar, karena jaraknya cukup jauh, kami tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Mungkin saja sebuah ledakan gas dari kompor barbeque di pantai. Makanya banyak orang yang tetap di mejanya, tidak beranjak," kenangnya.
"Saya sendiri menduga pasti ada sesuatu, jadi saya mencoba melihat sekeliling kami, dan sadar bahwa rombongan kami merupakan satu-satu kelompok orang kulit putih di situ. Kami menjadi target yang mudah jika ada serangan teroris. Saya hanya berpikir saya harus mengurangi risiko menjadi target dan segera lari dari situ," kata Aleta.
Benar saja, hanya berselang hitungan sekitar 30 detik, terjadi ledakan kedua di Pantai Jimbaran, mengakibatkan sebaran serpihan tajam dari ledakan itu.
Aleta terhantam serpihan tajam itu di bagian kakinya, namun dia mengatakan bersyukur karena masih selamat, begitu pula dengan orangtuanya.
Aleta mengatakan meningkatkan bantuan luar negeri Austarlia, yang ditujukan langsung bagi program pendidikan dan kesehatan, justru akan lebih efektif memberantas terorisme dibandingkan dengan jalan perang.
"Miliaran dolar dikucurkan untuk biaya perang, apa yang mereka sebut perang melawan terorisme. Jika saja dana itu disalurkan bagi kesehatan, rumahsakit, sekolah, saya percaya sepenuhnya hal-hal ini akan disambut baik dan setidaknya mengurangi risiko orang untuk terjebak dalam keputusasaan," kata Aleta Lederwasch yang kini memiliki seorang anak.
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...