Waspadai Dampak Buruk Kenaikan Harga Daging
Harga daging sapi memasuki Ramadhan sudah biasa meningkat. Tetapi di balik itu, ada persoalan yang lebih besar: praktik licik mafia yang memperdaya konsumen dan punya dampak buruk berkepanjangan.
SATUHARAPAN.COM - Melonjaknya harga daging sapi belakangan ini patut diwaspadai dampak buruknya terhadap kualitas gizi masayarakat. Kenaikan diduga karena pengadaan daging sapi sarat dengan permainan politik kepentingan. Imbasnya, kelangkaan daging telah membuat harga sumber protein ini melonjak mencapai Rp 120.000/kg.
Di negara pemasok sapi ke Indonesia, Australia, harga daging sekitar Rp 50.000/kg. Pemain bermodal besar berjubah korporat diduga mengendalikan harga, stok dan pasokan daging secara nasional. Guna menstabilkan dan menurunkan harga daging sapi hingga pada posisi Rp 80.000/kg pemerintah berencana melakukan impor sebanyak 10.000 ton dari sejumlah negara.
Pertanyaannya apakah impor ini cukup sakti menahan laju kenaikan harga yang sangat signifikan itu? Impor daging akan semakin merapuhkan krisis kedaulatan pangan. Persoalan nasional ini menjadi batu ujian terhahap kewibaan pemerintahan Jokowi-JK untuk mencari akar masalah sesungguhnya dari anomali pergerakan harga daging saat ini (Media Indonesia, 25/5/2016). Alih-alih swasembada daging sapi, Indonesia kini semakin sulit keluar dari perangkap pangan (daging) impor.
Mutu SDM bangsa
Kenaikan harga daging di tengah stok yang relatif aman membuat sebagian para ibu rumah tangga harus menambah anggaran untuk memenuhi tingkat asupan protein hewani keluarga. Namun yang membuat miris ialah kenaikan ini merupakan bentuk kejahatan ekonomi karena para importir leluasa bermain yang dampaknya berpengaruh terhadap mutu sumberdaya manusia (SDM) bangsa.
Program Percepatan Swasembada Daging Sapi yang sudah berjalan selama sepuluh tahun seakan dibenturkan dengan keinginan para pemain kartel pangan untuk mengimpor daging, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang kini sekitar 250 juta jiwa. Di sisi lain, di tengah ketidaksiapan infrastruktur peternak lokal, membuat pasokan sapi lokal tersendat. Masyarakat konsumen semakin sulit mendapatkan daging sapi. Konskuensinya akan menurunkan tingkat konsumsi daging untuk memasok kebutuhan protein hewani masyarakat, yang pada akhirnya mempertaruhkan kualitas gizi makanan di tengah warga.
Rendahnya tingkat konsumsi daging di Indonesia bisa menjadi indikator masih kurangnya asupan protein untuk sebagian besar masyarakat. Daging yang masih komoditasi mewah bagi sebagian besar warga karena harganya yang relatif mahal dibanding dengan bahan pangan lainnya menyebabkan tingkat konsumsi daging di Indonesia masih rendah. Data terakhir menunjukkan 7,0 kg/kapita/tahun, sementara di Malaysia sudah mencapai 50 kg. Demikian juga konsumsi ikan, telur dan susu masih rendah.
Mutu pangan yang masih di bawah standar FAO ini akan menetaskan ancaman gizi buruk di masa datang. Hal ini mengingatkan kita pada tragedi busung lapar 2005. Ratusan balita tewas dan wajah ribuan anak yang tubuhnya tinggal tulang dibalut kulit menjadi teror ketidakadilan pembangunan ketahanan pangan yang memperburuk indeks pembangunan manusia Indonesia dan pelanggaran atas UU No.18 tahun 2012 tentang Pangan.
Seakan tidak pernah ada habisnya, kasus gizi buruk secara sporadis terus bermunculan di daerah, tidak saja di perdesaan tetapi juga di perkotaan. Peristiwa ini sungguh memilukan karena gizi buruk merupakan ancaman bagi sebuah generasi. Dalam pertumbuhannya, otak anak-anak yang mengalami gizi buruk tidak akan berkembang dan tak akan pernah bisa dipulihkan sehingga anak akan bodoh secara permanen.
Pembangunan bangsa adalah membangun sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas, dan produktif. Bukti empiris menunjukkan status gizi yang baik menjadi parameter utama, dan status gizi yang baik amat ditentukan oleh jumlah asupan pangan bermutu yang dikonsumsi
Eratnya keterkaitan kecerdasan bangsa dengan jumlah asupan pangan bermutu, menggulirkan pertanyaan, apakah ketersediaan pangan (baca daging) nasional mampu mencukupi rata-rata konsumsi yang dianjurkan FAO untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa? Prof Sajogyo dari IPB telah menetapkan garis kemiskinan untuk orang Indonesia yang besarnya 1.900 kalori dan 40 g protein per kapita/hari.
Dari ketetapan garis kemiskinan ini muncul hipotesis bahwa sejumlah besar warga masih mengonsumsi pangan di bawah garis kemiskinan mengingat masih tingginya prevalensi gizi buruk di Tanah Air. Apalagi angka kecukupan protein dipengaruhi oleh mutu protein makanan yang dinyatakan dalam skor asam amino dan daya cerna protein.
Produk pangan hewani seperti daging, telur, susu, dan ikan adalah sumber protein yang bermutu baik karena mempunyai susunan asam amino yang paling sesuai untuk kebutuhan manusia. Sayangnya, tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia masih tergolong rendah. Sekedar contoh selain konsumsi daging yang masih rendah, konsumsi ikan, telur dan susu juga masih rendah jumlahnya. Harga yang mahal menjadi pemicunya.
Fenomena kemiskinan telah memperburuk daya beli warga. Data terakhir menunjukkan 40-50 persen rumah tangga mengonsumsi energi kurang dari 1500 kalori dan 25 persen rumah tangga mengonsumsi protein 32 g per orang per hari, atau mengonsumsi lebih kecil dari 70 persen yang dianjurkan (Sibuea, 2015).
Percepatan swasembada
Bagi sebagian masyarakat, kelangkaan daging sapi di pasaran – sudah mendongkrak harga yang kian mahal – tidak lagi mengherankan setiap kali menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri yang biasanya mendorong konsumsi daging sapi meningkat. Kian mahalnya harga daging sapi patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk melakukan percepatan swasembeda daging 2019.
Pertanyaannya, bagaimana swasembada daging tercapai jika pemerintah masih membiarkan permainan kapitalistik yang amat licik menghancurkan peternakan sapi lokal. Sektor retail usaha sapi potong merupakan sektor yang mata rantainya sangat panjang. Peternak lokal hanya menikmati 40 persen dari harga pasar konsumen. Sebagian besar keuntungan didulang oleh pedagang bermodal besar dan menutup ruang bagi peternak lokal.
Permasalahan kelangkaan daging yang acap terjadi kemungkinan dikendalikan pengusaha penggemukan sapi atau rumah potong hewan. Pemerintah seharusnya tidak terjebak untuk kepentingan sesaat untuk mengambil keputusan dengan menambah kuota impor daging atau sapi. Pasalnya, pada tahun 2011 populasi sapi nasional sudah mencapai 14,8 juta ekor (BPS, 2011), mampu mencukupi 90 persen kebutuhan daging secara nasional.
Pemerintah patut menyadari, momen kelangkaan daging sapi adalah saat yang ditunggu oleh para pemain importir daging dan sapi potong. Dengan angka kebutuhan daging yang sangat banyak untuk penduduk Indonesia yang berjumlah 250 juta jiwa, satu langkah untuk mengambil simpati adalah melakukan impor dan implikasinya menjadi ‘blunder’ yang mematikan peternak lokal yang tidak perlu diperdebatkan.
Pola permainan seperti ini adalah bentuk sistematis untuk melemahkan posisi tawar peternak lokal. Roda perekonomian rakyat dimatikan dan kapitalisme baru di bidang pangan mulai mencengkram kedaulatan pangan. Terganggunya stok ternak akan merimbas pada penyediaan protein hewani asal daging sapi dan tentu akan mengganggu keseimbangan gizi masyarakat. Hal ini akan mendorong dibukanya kran impor daging sapi dan sapi potong secara besar-besaran di tahun-tahun mendatang.
Seiring dengan pertambahan penduduk, permintaan terhadap daging pun terus meningkat. Meski jumlah daging yang beredar di pasar-pasar tradisional mencapai 80 persen dari total daging diperdagangkan, masyarakat yang mampu secara ekonomis acap mengalami kesulitan memperoleh daging dengan harga yang wajar. Hal ini mendorong pemerintah melakukan impor.
Rapuhnya kedaulatan pangan berbasis daging memiliki dampak jangka panjang amat buruk. Sedikit saja terjadi fluktuasi harga daging akibat permainan kartel pangan bisa memunculkan masalah serius, yakni mendorong harga kian meroket yang berbuah bencana kemanusiaan. Kejahatan politik ekonomi daging impor mestinya dijadikan media pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan dalam dunia persapian.
Ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau daya beli masyarakat erat kaitannya dengan menegakkan kedaulatan pangan seperti roh UU No. 18 tahuin 2012 tentang Pangan. Sayangnya, kedaulatan bangsa di bidang pangan dinilai kian lemah sebab pelaku praktik mafia pangan begitu mudah mendikte pemerintah Indonesia dalam kebijakan pangannya.
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan.
Editor : Trisno S Sutanto
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...