Waspadai Gigitan Nyamuk Penyebab Kelumpuhan
SATUHARAPAN.COM – Hati-hati dan waspadai penyebaran Virus Japanese encefalitis (JE) yangakhir-akhir ini merebak di Indonesia. Japanese Encefalitis (JE) adalah, penyakit radang otak yang menyebabkan kelumpuhan. Penyakit ini disebabkan oleh virus Japanese Encefalitis yang ditularkan oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus, yang menggigit manusia, dan biasanya nyamuk ini lebih aktif pada malam hari. Nyamuk ini banyak terdapat di persawahan dan area irigasi.
Namun, nyamuk genus Culex ini juga merupakan nyamuk yang pada masa telur sampai menjadi pupa berada di banyak terdapat di sekitar kita, yaitu di tempat-tempat buangan limbah pada genangan air kotor (comberan, got, parit, dll), tempat yang gelap, sejuk dan lembab.
Berdasarkan data kemenkes, jumlah kasus JE di Indonesia Tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 326 kasus. Kasus terbanyak dilaporkan terdapat di Provinsi Bali dengan jumlah kasus 226 (69,3 persen).
“Di Bali, tingginya kejadian Japanese Encephalitis dikaitkan dengan banyaknya persawahan dan peternakan babi di area tersebut,” kata Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, dr Elizabeth Jane Soepardi MPH Dsc, dalam keterangannya kepada Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, pada Senin (3/4/2017), yang lalu dilansir situs depkes.go.id.
Selain di Bali virus ini juga merebak di Kabupaten KubuRaya Provinsi Kalimantan Barat sebanyak 7 orang menderita penyakit JE pada Januari 2017 yang lalu.
Penularan virus tersebut, sebenarnya hanya terjadi antara nyamuk, babi, dan atau burung rawa. Manusia bisa tertular virus JE bila tergigit oleh nyamuk Culex Tritaeniorhynchus yang terinfeksi virus tersebut . Kejadian penyakit JE pada manusia biasanya meningkat pada musim hujan.
Menurut Novie H Rampengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado Japanese encefalitis (JE) merupakan penyakit infeksi akut penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat (SSP). Babi dan unggas merupakan reservoir virus ini, namun tidak terjadi penularan dari manusia ke manusia lain melalui gigitan nyamuk.
Penyakit ini, dikutip dari unsrat.ac.id, pertama kali dikenal pada tahun 1871 di Jepang, dan diketahui menginfeksi sekitar 6.000 orang pada tahun 1924. Virus JE pertama kali diisolasi tahun 1934 dari jaringan otak penderita ensefalitis yang meninggal. Pertama kali terjadi kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 1935 dan hampir setiap tahun terjadi KLB, dari tahun 1946 hingga tahun 1950.
Gejala Penyakit JE
Berdasarkan rilis yang dikeluarkan kemenkes pada Senin (3/4/2017) yang lalu, sebagian besar penderita JE, hanya menunjukkan gejala yang ringan atau bahkan tidak bergejala sama sekali. Gejala dapat muncul 5-15 hari setelah gigitan nyamuk yang terinfeksi virus berupa demam, menggigil, sakit kepala, lemah, mual, dan muntah. Kurang lebih 1 dari 200 penderita infeksi JE, yang menunjukkan gejala yang berat yang berkaitan dengan peradangan pada otak (encefalitis), berupa demam tinggi mendadak, sakit kepala, kaku pada tengkuk, disorientasi, koma (penurunan kesadaran), kejang, dan kelumpuhan. Gejala kejang sering terjadi terutama pada pasien anak-anak. Gejala sakit kepala dan kaku pada tengkuk terutama terjadi pada pasien dewasa. Keluhan-keluhan tersebut biasanya membaik setelah fase penyakit akut terlampaui, tetapi pada 20-30 persen pasien, gangguan saraf kognitif dan psikiatri dilaporkan menetap. Komplikasi terberat pada kasus Japanese Encefalitis adalah meninggal dunia (terjadi pada 20-30 persen kasus Encefalitis).
Penanganan Penderita JE
Diagnosis japanese encefalitis didapat dari gejala-gejala yang penderita alami, pemeriksaan fisik yang dokter lakukan, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan yaitu pemeriksaan darah dan pemeriksaan cairan sumsum. Tindakan pengambilan cairan tulang sumsum adalah tindakan yang tidak sederhana, harus dilakukan di ruang perawatan, tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik biasa.
“Tidak bisa sembarangan menyatakan seseorang didiagnosis JE, selain berdasarkan pemeriksaan fisik atas gejala, juga diperlukan pemeriksaan laboratorium dan tidak bisa dilakukan di laboratorium klinik biasa,” kata dr Jane.
Bila Anda terserang infeksi, sistem imun tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan infeksi tersebut. Tes-tes laboratorium ini berfungsi mendeteksi adanya antibodi (IgM) yang melawan virus japanese encefalitis. IgM dapat dideteksi dalam cairan sumsum 4 hari setelah gejala muncul, dan dapat dtemukan dalam darah 7 hari setelah gejala muncul.
Hingga saat ini, belum ada obat untuk mengatasi infeksi JE, pengobatan bersifat suportif untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. Pengobatan yang diberikan adalah berdasarkan gejala yang diderita pasien (simtomatik), istirahat, pemenuhan kebutuhan cairan harian, pemberian obat pengurang demam, dan pemberian obat pengurang nyeri. Pasien perlu dirawat inap supaya dapat diobservasi dengan ketat, sehingga penanganan yang tepat bisa segera diberikan bila timbul gejala gangguan saraf atau komplikasi lainnya.
Beberapa tindakan pencegahan yang bisa dilakukan antara lain: Mencegah gigitan nyamuk, menggunakan anti nyamuk berupa lotion atau spray yang aman bagi kulit, menggunakan pakaian yang menutupi tubuh bila beraktivitas di luar rumah, menggunakan kelambu saat tidur/ air conditioner, sebisa mungkin menghindari kegiatan di malam hari di area pertanian, ladang, atau persawahan di mana banyak terdapat nyamuk Culex, vaksinasi ini, dapat diberikan mulai usia 2 bulan hingga dewasa. Vaksin ini perlu diberikan 2 kali, dengan jarak antar pemberian vaksin 28 hari. Vaksin booster bisa diberikan pada orang dewasa (>17th) minimal setahun setelah 2 dosis vaksin tersebut.
Menurut dr Jane, sebanyak 85 persen kasus JE yang dilaporkan pada Tahun 2016 terjadi pada kelompok umur 15 tahun. Hal ini menyebabkan JE dianggap sebagai penyakit pada anak. Padahal, sebenarnya JE juga dapat berjangkit pada semua umur, terutama bila virus tersebut baru menginfeksi daerah baru, di mana penduduknya tidak mempunyai riwayat kekebalan sebelumnya.
“Pada September 2017 mendatang, Kemenkes akan mulai mengkampanyekan imunisasi JE di 9 Kabupaten/Kota di Bali dengan sasaran sebanyak 897.050 anak usia 9 bulan sampai dengan kurang dari 15 tahun, “ kata dr. Jane di Jakarta, pada Selasa (4/4) yang dikutip dari Antaranews.com
Ditambahkan oleh dr Jane, setelah selesai dilakukan kampanye imunisasi JE, maka langkah selanjutnya adalah introduksi imunisasi JE ke dalam program imunisasi rutin pada anak usia 9 bulan, yang dilaksanakan bersamaan dengan imunisasi campak. Perluasan introduksi imunisasi JE akan dilaksanakan berdasarkan kajian endemisitas wilayah masing-masing.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...