"We Go Where We Now" Sebuah Rumah Idaman untuk Ruang MES 56
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Taman bermain kami adalah tempat dimana kami hidup, belajar, bekerja, dan berbagi bersama. Tulisan berwarna hijau di atas kertas putih berukuran A3 terpajang bersama beberapa tulisan lain dalam beberapa rentang lini masa begitu pengunjung melewati wall text pameran yang menyambut persis di depan pintu masuk Galeri RJ Katamsi.
Bersama tulisan tersebut dipajang karya fotografi baik kolektif maupun perorangan, arsip-dokumen kegiatan, ruang klinik fotografi, screening video, materi publikasi, maupun materi-materi project di dua lantai RJ Katamsi sebagai rangkaian pameran retrospeksi/trajectory Ruang MES 56. Pameran bertajuk "We Go Where We Now" dibuka oleh pengajar jurusan Fotografi ISI Yogyakarta Soeprapto Soedjono.
Pameran retrospeksi Ruang MES 56 bertajuk "We Go Where We Now" akan berlangsung hingga 18 November 2019 dengan beberapa kegiatan selama pameran berlangsung.
Tujuh rentang lini masa yang terpajang merupakan catatan ringkas perjalanan Ruang MES 56 dalam berproses karya dengan menggunakan medium fotografi serta medium rekam lainnya diawali rentang tahun 1990-2000-an yang merupakan tahapan awal eksplorasi fotografi oleh anggota komunitas yang belum berbentuk dan tidak melulu memperbincangkan tentang teknik.
Keluar dari pakem yang ada, sekilas itulah yang bisa ditangkap dari karya-karya yang tersaji. Bisa dipahami bahwa fotografi yang diartikan secara bebas sebagai upaya melukis dengan cahaya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan teknik untuk menghasilkan sebuah karya yang terlihat tajam, menarik, indah secara visual. Karya tersebut secara teknik bisa dihasilkan dari pemilihan bukaan rana (aperture), lama bukaan rana (shutter speed), pencahayaan (exposure), kedalaman obyek (depth of field), sensitivitas alat rekam terhadap cahaya (ISO), dikombinasikan dengan komposisi, arah dan intensitas cahaya, momentum, serta hal-hal teknis lainnya. Eksplorasi diluar pakem inilah yang menjadi titik awal anggota komunitas mengembangkan fotografi sebagai alat berkegiatan.
Fase awal menjadi titik krusial ketika dinamika sosial-politik Indonesia dalam pusaran/turbulensi yang berhubungan dengan permasalahan kekuasaan, kemanusiaan, perebutan ruang hidup, serta persoalan sosial lainnya yang justru memperkaya wacana bagi anggota di awal prosesnya. Aktivisme menjadi keseharian di antara eksplorasi fotografi yang terus mewarnai perjalanan Ruang MES 56 hingga saat ini.
“Karya foto hanya digunakan sebagai pendukung acara seni lainnya. Entah untuk poster, katalog, ataupun dokumentasi acara,” jelas Anang Saptoto mengisahkan perjalanan awal Ruang MES 56 saat preview media, Jumat (25/10).
Hingga fase awal berdirinya Ruang MES 56, karya fotografi masih belum dianggap sebagai sebuah karya seni rupa. Di Indonesia keberadaannya masih dianggap seni pinggiran dari seni rupa dan sebatas fungsi untuk perekaman momen-momen penting ataupun menghasilkan imaji yang indah secara visual meskipun penghargaan Pulitzer award sudah diberikan sejak tahun 1917.
Dua fase berikutnya yakni rentang 2002-2004 dan 2004-2006 menjadi fase penting bagi Ruang MES 56 untuk memantapkan dirinya menjadikan fotografi sebagai jalan kesenian dan bukan sebatas praktik teknik semata. Positioning tersebut menjadi penting ketika menempatkan obyek yang difoto menjadi bagian dari persoalan itu sendiri (subject matter) sehingga dalam fase rentang 2006-2010 Ruang MES 56 semakin serius melibatkan masyarakat di dalam praktik keseniannya sekaligus menjaga arsip-dokumentasi sebagai ingatan kolektif yang mungkin suatu saat akan berguna untuk berbagai keperluan termasuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Kekuatan Narasi dalam Selembar Foto.
Positioning tersebut sekaligus menjadi penanda bahwa anggota Ruang MES 56 berangkat dari nilai-nilai konseptual, yaitu memahami apa yang menjadi kebutuhan ketika menangkap objek ini sehingga membuka ruang seluas-luasnya untuk eksperimentasi dengan terbangunnya ekosistem yang mendukung bagi praktik-praktik kesenian di antara anggota Ruang MES 56 dan masyarakat luas. Fotografi perlahan-lahan mulai mendapat pengakuan dan tempat dalam bilik seni rupa tidak sebatas dari karya foto indah-tajam-dalam secara visual, namun juga mendialogkan dirinya kepada pengunjung berikut dengan segala konten yang ada di dalamnya.
Publik tentu masih ingat dengan karya foto berjudul “The Girl in the picture” yang dibuat oleh Nick Ut tahun 1972 dengan bocah perempuan telanjang yang sedang berlari di antara kerumunan massa yang panik. Bocah perempuan tersebut Kim Phuc anak perempuan yang terkena bom napalm bersama korban lainnya. Karya foto The Girl in the picture hari ini bukanlah sekedar karya foto jurnalisme namun lebih dari itu menjadi sebuah karya seni yang banyak bercerita meskipun dalam citraan paling sederhana monochrome hitam-putih. Karya tersebut menjadi lebih berbicara manakala Kim Puch sendiri hari ini menjadi pendamping korban perang melalui yayasannya.
Atau foto mahasiswa yang terkapar di tengah jalan ketika terjadi chaos saat demo tahun 1998 di Jakarta. Sebuah foto bisa mengubah arah perjalanan sejarah manakala dialog-dialektika terbaca dalam banyak arah. Foto tersebut mampu menggerakkan gelombang massa untuk bergerak bersama menuntut reformasi kala itu. Belakangan diketahui mahasiswa yang terkapar sesungguhnya tidak terkena tembakan, namun mengalami shock yang cukup berat saat kejadian. Foto-foto korban penembakan di pihak mahasiswa yang meninggal justru tidak banyak terekspos. Meski begitu, foto tersebut tetap menjadi catatan penting bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Menangkap obyek dan memotret peristiwa dalam sebuah bingkai yang bercerita menjadi konsen Ruang MES 56 untuk kemudian mendialogkan kepada publik. Pada fase ini Ruang MES 56 berada pada titik kerja kooperatif dengan masyarakat seni dari disiplin lainnya maupun publik secara luas. Menariknya Ruang MES 56 menjalani proses tersebut secara mengalir meskipun tetap pada tataran konseptualnya. Eksplorasi-eksperimentasi dalam warna yang beragam terekam dari berbagai proyek seni pada tempat mereka tinggal yang kerap berpindah-pindah.
Di setiap tempat selalu menawarkan hal berbeda ketika Ruang MES 56 menjadikan tempat tinggal sebagai ekosistem terkecil proses kreatifnya sebelum beranjak pada ekosistem yang lebih luas dengan melibatkan masyarakat sekitar.
Hingga tujuh belas tahun berproses bersama Ruang MES 56 telah berpindah tempat sebanyak empat kali yakni di Jalan Kolonel Sugiyono yang merupakan kontrakan Ruang MES 56 pertama kali, Jalan Nagan-Patehan, Jalan Minggiran-Mantrijeron, dan terakhir di Jalan Mangkuyudan. Setiap tempat seolah menjadi presentasi fase proses yang dijalaninya. Di tempat terakhir di Jalan Mangkuyudan, positioning Ruang MES 56 pada fase membangun hubungan ekosistem bagi eksperimentasi, kerja kooperatif, hingga praktik seni sebagai laku hidup maupun perwujudan aksi seni yang lebih mendalam.
“Presentasi tersebut diwakili dengan poster acara-kegiatan yang pernah diselenggarakan di keempat tempat. Silakan diamati, semakin ke sini jumlah posternya semakin sedikit,” jelas Anang Saptoto saat jumpa media, Jumat (25/10).
Membaca Arsip-Dokumentasi dalam Konteks Hari Ini.
Dalam pameran "We Go Where We Now” lantai dasar Galeri RJ Katamsi digunakan untuk memajang karya personal anggota Ruang MES 56 dalam Aku, Kami, dan Kita. Karya project personal diantaranya dari Aief Pristianto, Agung Nugroho Widhi, Akiq AW, Anang Saptoto, Angki Purbandono, Daniel Satria Koestoro, Dessy Sahara Angelina, Edwin Dolly Roseno, Yudha Kusuma Putera, Iskandar, Jim Allen Abel, Wok The Rock, dan Wimo Ambala Bayang dipajang sebelah-menyebelah tanpa penjelasan apapun. Hanya caption karya yang ditulis dengan menggunakan pensil langsung di dinding galeri.
Display demikian memberikan keleluasaan bagi pengunjung untuk membaca dan menginterpretasi karya fotografi tidak semata-mata tentang visual maupun teknik yang digunakan untuk menghasilkan sebuah karya foto tanpa dibebani narasi satu arah.
Di sebelahnya beberapa buah televisi tabung (CRT) memutar video dokumentasi karya Ruang MES 56 dalam Video Seni & Seni Video berseberangan dengan sebuah Ruang Imajinasi menggandeng Sekolah Tumbuh dari SD hingga SMA untuk mengerjakan proyek pameran bersama.
“Di lantai satu ditujukan untuk presentasi karya-karya kolektif Ruang MES 56 sementara di lantai dasar pameran yang sifatnya cair ada ilustrasi, workshop, serta karya personal anggota,” kata Wimo Ambala Bayang saat menjelaskan konsep pameran retrospeksi Ruang MES 56, Jumat (25/10).
Sebuah mural peta Yogyakarta dilengkapi titik misteri yang digunakan dalam Tur Wisata Gaib bersebelahan dengan bilik Afdruk 56 ditawarkan selama pameran yang berlangsung 28 Oktober hingga 18 November 2019. Tur Wisata Gaib merupakan proyek seni Ruang MES 56 yang berbasis pengalaman estetis dalam kajian reposisi tradisi, pengetahuan, dan kekuasaan vis a vis dengan realitas pasar pariwisata hari ini. Sementara Afdruk 56 merupakan klinik fotografi yang disediakan bagi pengunjung berkaitan dengan fotografi analog maupun digitalisasi medium foto analog.
Ruang utama lantai dasar Galeri RJ Katamsi yang digunakan sebagai tempat pembukaan pameran ditata dalam setting proyek Beken Dan Keren, sebuah proyek seni yang merupakan paralel event Biennale Jogja 2003. Beken dan Keren dihidupkan kembali dalam posisi hari ini dengan memberikan kesempatan bagi pengunjung untuk diambil gambarnya dengan latar tulisan “Keren Dan Beken”.
Tujuh proyek seni yang pernah digarap secara kolektif Ruang MES 56 dipamerkan di lantai 1 Galeri RJ Katamsi. Dokumentasi tiga proyek seni disajikan bersebelahan Holiday project, 2nd POSE, dan Mystical Mystery Tour. Dalam 2nd POSE dua puluh lima foto seniman dipotret dalam pose lain diluar aktivitas berkesenian di sudut-sudut wilayah Yogyakarta. Wajah dalam sebuah potret merupakan representasi yang bersangkutan berikut ruang dan waktu yang menyertainya sebagai sebuah dialektika. Seniman adalah bagian tak terpisahkan dari kota dimana mereka tinggal.
Holiday project merupakan sebuah proyek seni yang mencoba menarasikan kebenaran dalam sebuah realitas secara kritis. Melalui olah digital dengan memotong (cut) obyek pada satu foto dan menempelkan (paste) pada foto yang lain menjadi sebuah karya foto yang baru dengan memperhatikan komposisi, proposi obyek, kesamaan tema. Kedua foto yang sudah dipotong pada beberapa bagiannya sehingga terlihat berlubang putih disandingkan dengan foto baru yang sudah ditempeli dengan obyek dari foto sebelumnya. Dalam olah digital yang rapi, tanpa adanya pembanding pengunjung akan dihadapkan pada relativitas dua keadaan antara kebenaran dan kenyataan. Teknologi informasi dalam dunia terhubung hari ini menempatkan relasi manusia yang begitu cepat dalam banyak hal. Tanpa kesadaran kritis kita hanya akan menjadi konsumen dan mungkin produsen hoax.
Sementara Mystical Mystery Tour merupakan sebuah commision work untuk proyek seni lintas Asia Tenggara bertajuk Content, Context, Contestation yang diinisiasi oleh Bangkok Art & Cultural Center pada tahun 2013 dengan membanding sosio-kultur Yogyakarta dengan Thailand yang memiliki kesamaan pada struktur sosial-politik-budaya sebagai sebuah masyarakat yang berada pada kondisi ‘di antara’ (in between): warisan sistem monarkhi-demokrasi, tatanan sosial masyarakat feodal-tradisional dan modern-demokratis, praktik budaya tradisi dan budaya populer-industri, pratik budaya mistis dan rasional. Dalam kondisi in between itulah percampuran simbol-realitas masih kerap bersanding.
Satu sudut Galeri RJ Katamsi diisi dengan buku-buku foto karya proyek seni personal maupun kolektif Ruang MES 56 sebagai salah satu upaya mengarsip-dokumentasikan karya dalam sebuah proyek seni Melawan Lupa. Proyek seni ini pernah dipresentasikan di Galeri Nasional pada tahun 2012.
Isu kemanusiaan selalu seksi dalam banyak hal. Melalui proyek seni Alhamdulillah, We Made it, Ruang MES 56 mencoba merekonstruksi fenomena migran ke tanah impian Australia tahun 1945-1949 melalui sebuah program imigrasi untuk menambah jumlah populasi warga kulit putih secara signifikan dengan iming-iming jaminan pekerjaan, tempat tinggal, serta peluang dan kesempatan lainnya. Ketika tahun 2014-2015 permasalahan kaum migran korban peperangan berupaya mencari tanah impian untuk melangsungkan hidupnya secara aman-nyaman, Australia sebagai salah satu tanah impian justru menolaknya. Pada proyek seni tersebut Ruang MES 56 menyampaikan pesan yang cukup jelas: leluhur semua bangsa adalah pendatang.
Ingatan kolektif terhadap lanskap dan suasana sebuah tempat/kota dipotret Ruang MES 56 dalam sebuah proyeks seni Unfolded City yang pernah dipresentasikan pada Biennale Jogja 2005. Foto-foto lama kota Yogyakarta direpro dalam bentuk kartu pos dengan menambahkan obyek-obyek yang merupakan representasi hari ini dalam olah digital. Silakan bermain-main dalam imajinasi saat menyaksikan foto lama dalam rona monochrome hitam-putih dengan obyek siswa sekolah di sebuah ruang kelas pada jaman kolonial Belanda. Pada satu meja Ruang MES 56 menambahkan obyek laptop di atasnya. Pada lima foto lama lainnya pun Ruang MES 56 memberikan sentuhan yang senada berupa obyek-obyek benda representasi hari ini.
Dalam konteks hari ini, proyek seni Keren Dan Beken cukup menyita perhatian pengunjung pameran. Sebanyak 207 foto kejadian di Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta untuk sebuah project pada keikutsertaannya di Biennale Yogyakarta VII tahun 2003. Secara konseptual proyek seni ini diinspirasi dari praktik fotografi partikelir yang banyak terjadi saat wisuda.
“Saat itu kita mengajak lima belas fotografer untuk memotret pada saat preview karya dan pembukaan Biennale Jogja 2003. Pendekatannya terserah masing-masing fotografer. Ada yang potret seniman, potret seniman dan karyanya, pengunjungnya, ada bus yang kita set dalam sofa untuk foto keluarga, dan lain-lain. Semua kita setting ulang seperti foto-foto yang ditawarkan saat wisuda. Beberapa foto hilang dan rusak negatif filmnya. Setting-nya acak, tidak dalam pendekatan tertentu. Pembacaan sederhananya kita bisa melihat medan seni pada waktu itu,” jelas Wimo.
Proyek seni Keren Dan Beken menjadi kritik Ruang MES 56 pada dunia fotografi mengambil kasus praktik fotografi wisuda sebagai fotografi nonseni atau fotografi rendahan. Pada saat bersamaan fotografi sendiri dalam ranah disiplin seni rupa bahkan tidak dianggap sebagai bagian seni rupa atau maksimal sebagai seni pinggiran. Di saat fotografi seni dan seni rupa masih berjarak dalam praktik dan pewacanaannya, Ruang MES 56 menjadi pioneer yang menjembatani dalam mewacanakan hal tersebut pada masyarakat.
Dalam catatan kuratorialnya pengajar program studi Fotografi FSMR-ISI Yogyakarta Irwandi menuliskan bahwa keinginan untuk terus menuangkan ide-ide segar melalui medium fotografi merupakan fondasi yang menopang kolektivitas Ruang MES 56, sejak embrio pembentukannya hingga saat ini.
Ada kesadaran yang sungguh-sungguh bahwa gejolak ide-ide “liar”, “nakal”, dan kritis tidak akan dapat terekpresikan secara optimal tanpa adanya kebersamaan. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa kondisi sosial politik di Indonesia era prareformasi mengecilkan area untuk ide-ide kritis dan “nakalâ, termasuk di ranah fotografi seni. Hampir tidak ada tempat untuk itu selain di kampus, yaitu di mata kuliah Fotografi Ekspresi yang saat itu diampu Subroto Sm. dan Risman Marah; pameran Tugas Akhir; dan beberapa galeri saja, misalnya Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta dan Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta. Untuk itu, harus ada ruang yang diciptakan untuk memfasilitasi ide dan menampilkan karya-karya mereka. Di ruang itulah ruang fisik dan ruang gagasan Ruang MES 56 mengambil posisi dan mengisi kekosongan yang ada.
Menghubungkan Wacana dengan Praktik Fotografi Seni
Hingga awal tahun 2000-an praktik fotografi di Indonesia dalam ranah seni rupa kontemporer belum menjadi hal yang lumrah mengingat masih berjaraknya antara praktik dengan pewacanaannya. Dunia fotografi masih didominasi oleh foto salon dan foto jurnalistik yang masih memperbincangkan seputar teknik dan estetikanya.
Di sisi lain, gagasan dan pemikiran untuk memperkaya konteks-makna foto maupun eksplorasi mediumnya masih belum menjadi perhatian. Di titik ini Ruang MES 56 disadari ataupun tidak telah mengambil posisi sebagai penghubung dalam mewacanakan fotografi seni dengan seni yang berbasis fotografi.
“Praktik-praktik yang kita lakukan sebenarnya merupakan bentuk-bentuk ketidakpuasan apa yang sebelumnya diatur dengan pakem-pakem yang kaku, kemudian kita mencoba mencari jalan lain. Dari situ kita mendapatkan banyak feedback baik yang positif maupun negatif dan sedikit demi sedikit mulai terlibat dalam ajang pameran seni rupa. Dari situ (mengikuti pameran satu ke pameran lain baik di dalam maupun luar negeri) mulai menjawab bahwa fotografi yang sebelumnya tidak dianggap dalam seni rupa berangsur-angsur menjadi setara. Fotografi-video seni, saat ini sudah satu level dengan seni patung, lukis, dan disiplin seni rupa lainnya,” papar Anang Saptoto tentang perjalanan awal Ruang MES 56 saat jumpa media, Jumat (25/10).
Pemberontakan terhadap paradigma foto yang formalistis bisa dilihat dari karya-karya mereka. Adanya kesadaran dari para anggotanya untuk terus maju dan berkembang melawan keterbatasan kondisi lingkungan belajar menjadi motivasi mereka mendirikan komunitas tersebut.
Konsekuensinya eksplorasi foto sebagai medium dalam seni rupa serta penekanan gagasan di balik karya mau tidak mau harus menjadi fokus dalam upaya memajukan wacana fotografi kontemporer di Indonesia. Sialnya (atau malah beruntungnya), minim atau bahkan ketiadaan infrastruktur seni fotografi serta kesenjangan praktik dan teori selain menjadi kendala sekaligus sebuah tantangan yang harus dijawab dalam proses kreativitasnya.
Pendidikan formal yang mereka tempuh dalam Jurusan Fotografi di ISI Yogyakarta saat itu hanya menyediakan formula standar yang kurang didukung dengan pembelajaran teori-teori fotografi dan teori pendukung dalam memosisikan fotografi sebagai seni.
Keluar dari pakem bahkan disebutkan oleh beberapa akademisi telah merusak pakem-pakem yang ada dalam fotografi menjadi pilihan Ruang MES 56 yang cukup berisiko dan berani. Pilihan tersebut tentu menimbulkan tegangan pemikiran antara pelaku-pelaku fotografi konvensional, kalangan seni rupa, akademisi, bahkan tidak jarang dari internal komunitas sendiri, meskipun pilihan tersebut menjadikan mereka memiliki potensi agent of change dalam mengubah paradigma masyarakat menyikapi praktik fotografi dan seni ketika itu hingga hari ini.
Dari sisi karya, Ruang MES 56 menyajikan fotografi seni yang keluar dari kebiasaan fotografi formal yang terikat pada kredo-aturan tertentu. Karya-karya disajikan dalam sebuah proses yang terkonsep, kontekstual, dengan tetap memperhatikan estetika, namun membebaskan diri dengan cara-cara yang unik dari batasan-batasan fotografi konvensional. Menjadi menarik ketika karya fotografi yang dibuat dekat dan tidak berjarak dengan masyarakat.
Setidaknya dalam tujuh belas tahun berproses kreatif, Ruang MES 56 telah menunjukan kepada masyarakat luas mengenai pentingnya gagasan dan cara berpikir di balik visualitas sebuah karya foto.
Rumah Idaman, empat rumah yang pernah menjadi tempat berkumpul dan berproses Ruang MES 56 difoto pada bulan Oktober 2019 dilengkapi dengan sketsa denah ruangan rumah terpajang menyendiri di pojok seolah lepas dari hiruk-pikuk pameran. Di empat rumah, dengan keunikan sosial-lingkungannya masing-masing yang memberikan warna-warni bagi perjalanan kreatif Ruang MES 56, itulah keriuhan wacana-praktik fotografi seni terus bersemi sekaligus memperbincangkan perjalanan estetika dan ideologi, serta mengkajiulangnya. Rumah, tempat untuk pulang meletakkan penat sejenak seolah menemukan konteksnya bagi Ruang MES 56 hari ini, We Go Where We Now.
Dengan bahasa sederhana dalam tema We Go Where We Now Ruang MES 56 ingin menyampaikan pesan yang jelas: setiap rumah dengan seluruh aktivitas dan dialektikanya adalah rumah idaman bagi tumbuhnya proses kreativitas.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...