WESP 2020: Ketergantungan pada Energi Fosil Berpotensi Jadi Bencana
Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan tertinggi di Asia Timur, negara-negara Barat cenderung menurun, dan Afrika stagnan.
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Para ahli ekonomi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengatakan, jika dunia terus bergantung pada bahan bakar fosil dalam beberapa tahun ke depan, dan emisi di negara-negara berkembang naik ke tingkat yang sama dengan di negara-negara maju, emisi karbon global akan meningkat lebih dari 250 persen, dan berpotensi menimbulkan bencana.
Hal itu dinyatakan dalam World Economic Situation Ptospects (WESP) PBB 2020, dan kembali menegaskan seruan untuk "penyesuaian besar-besaran" pada sektor energi, yang saat ini bertanggung jawab atas sekitar tiga perempat dari emisi gas rumah kaca secara global.
Para penulis laporan, seperti dikutip situs PBB pada Kamis (16/1) menegaskan bahwa kebutuhan energi dunia harus dipenuhi oleh sumber energi terbarukan atau rendah karbon. Hal itu untuk mendapatkan manfaat juga di bidang lingkungan dan kesehatan, seperti polusi udara yang lebih rendah, dan peluang ekonomi baru untuk banyak negara.
Namun, WESP 2020 menemukan kenyataan bahwa kebutuhan mendesak untuk beralih ke energi bersih masih terus diremehkan. Negara-negara di dunia terus berinvestasi dalam eksplorasi minyak dan gas, dan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Ketergantungan pada bahan bakar fosil ini digambarkan sebagai "pemikiran jangka pendek", yang membuat investor dan pemerintah mengalami kerugian mendadak, karena harga minyak dan gas berfluktuasi. Sebaliknya investasi ini berkontribusi terhadap memburuknya kondisi iklim, seperti pemanasan global.
“Risiko yang terkait dengan krisis iklim menjadi tantangan yang semakin besar”, kata salah satu kesimpulan laporan itu, dan “aksi iklim harus menjadi bagian integral dari gabungan semua kebijakan.”
Strategi dan teknologi dalam transisi menuju ekonomi bersih yang memberikan akses ke pada energi yang andal dan terdekarbonisasi sebenarnya sudah ada, lanjut laporan. Tetapi memang akan membutuhkan kemauan politik dan dukungan publik untuk melakukannya. Kegagalan untuk bertindak akan secara signifikan meningkatkan biaya tinggi.
Pembangkit Listrik Batubara
Meskipun PBB mendesak dihentikannya kebiasaan dengan batu bara, dan memberi harga pada karbon, pemakaian bahan bakar fosil ini terus meningat di dunia. Ratusan pembangkit listrik tenaga batubara baru masih dibangun, dan ratusan lainnya sedang dalam proses.
Disarankan negara mengnakan pajak yang ditempatkan pada emisi karbon, untuk mengakhiri triliunan dolar dari perkiraan subsidi untuk bahan bakar fosil ini. Pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara harus dihentikan pada tahun 2020, jika kita ingin memperoleh peluang untuk mengakhiri krisis iklim, kata Sekjen PBB, Antonio Guterres.
Banyak negara, terutama negara maju, mulai memperhatikan pesan PBB. Namun, Asia Tenggara, salah satu kawasan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, tampaknya terjebak pada bahan bakar fosil sebagai jawaban untuk kebutuhan energinya
Pada pertemuan ASEAN di Thailand, bulan November, Guterres mengatakan bahwa batu bara “tetap menjadi ancaman utama dalam kaitannya dengan perubahan iklim.” Dan negara-negara di Asia Tenggara adalah beberapa negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Kemajuan di Asia Timur, Afrika Mandeg
Wilayah Asia Timur disebut sebagai wilayah terus bertumbuh dalam ekonomi, bahkan yang tercepat di dunia, dengan ekonomi China tumbuh pada tingkat 6,1 persen pada tahun 2019. Meskipun pertumbuhan diperkirakan akan turun, China masih akan melihat pertumbuhan yang mengalahkan dunia sebesar 5,9 persen pada tahun 2021.
Bagian dunia pada negara-negara yang berkembang secara ekonomi mengalami pertumbuhan yang lebih lambat. Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami perlambatan dari 2,2 persen pada tahun 2019, menjadi 1,7 persen pada tahun 2020. Uni Eropa diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 1,6 persen, meskipun ini merupakan peningkatan dibanding tahun 2019, ketika blok itu hanya tumbuh sebesar 1,4 persen. Pertumbuhan yang lamban di kedua wilayah terutama akibat ketidakpastian global.
Afrika, sementara itu, terus menderita stagnasi. Di sepertiga negara berkembang yang bergantung pada komoditas, termasuk Angola, Nigeria, dan Afrika Selatan, pendapatan riil rata-rata saat ini lebih rendah daripada pendapatan tahun 2014. Bahkan di beberapa negara Afrika sub-Sahara, jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem telah meningkat.
Kemunduran Pembangunan
Meskipun laporan itu mengasumsikan bahwa ketegangan akibat perang dagang akan mereda, potensi untuk kambuh masih tinggi, kata laporan itu, karena akar penyebab di balik perselisihan perdagangan belum ditangani.
Melemahnya pertumbuhan ekonomi global akan mempersulit pencapaian Agenda Pembangunan PBB tahun 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Agenda itu merupakan cetak biru PBB untuk masa depan yang lebih baik bagi manusia dan planet ini, termasuk komitmen untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan pekerjaan yang layak untuk semua.
Laporan WESP adalah publikasi utama PBB tentang tren yang diharapkan dalam ekonomi global, diproduksi setiap tahun oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial (DESA) PBB, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dan lima komisi regional PBB (Afrika, Eropa, Amerika Latin dan Karibia, Asia dan Pasifik, dan Asia Barat).
Pada peluncuran laporan WESP, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengingatkan dampak potensial perlambatan ekonomi “Risiko-risiko ini dapat menimbulkan kerusakan parah dan jangka panjang terhadap prospek pembangunan.”
Editor : Sabar Subekti
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...