WHO Butuh Dua Miliar Dosis Vaksin COVID-19 untuk Bantu Negara Miskin
JENEWA, SATUHARAPAN.COM-Program WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) untuk membantu mendapatkan vaksin COVID-19 bagi semua negara membutuhkan sekitar dua miliar dosis kandidat vaksin yang "menjanjikan", kata para pejabat WHO hari Jumat (18/12).
Namun tak satu pun vaksin dalam perjanjian tersebut termasuk vaksin dari Moderna, yang semakin mendekati persetujuan di Amerika Serikat pada hari Kamis (17/12), atau Pfizer-BioNTech, yang sudah digunakan di AS, Kanada, dan Inggris dan hampir disetujui di Uni Eropa.
Inisiatif yang dipimpin bersama oleh WHO, yang dikenal sebagai COVAX, juga belum menerima janji tegas dan jadwal dari negara-negara kaya untuk membagikan vaksin yang telah mereka sediakan sendiri.
Dari sekitar 12 miliar dosis vaksin COVID-19 yang diharapkan diproduksi industri farmasi tahun depan, sekitar sembilan miliar suntikan telah dicadangkan oleh negara-negara kaya. Kanada memimpin dengan sekitar 10 dosis dicadangkan per satu warga Kanada, menurut perusahaan analisis sains, Airfinity.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan perjanjian tersebut berarti bahwa sekitar 190 negara yang mengambil bagian dalam inisiatif COVAX akan memiliki akses ke vaksin "selama paruh pertama tahun depan."
"Ini adalah berita yang luar biasa dan tonggak penting dalam kesehatan global," kata Tedros, seorang warga Ethiopia, mengatakan pada jumpa pers yang juga dihadiri oleh COVAX dan para pemimpin industri farmasi.
Vaksin sebagai Pelengkap
WHO dan mitranya dalam COVAX, aliansi vaksin Gavi dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi, "bekerja tanpa henti untuk memulai vaksinasi awal tahun depan," katanya. Dia menekankan bahwa vaksin tidak akan menggantikan, tetapi pelengkap yang sudah terbukti membantu membendung penyebaran virus.
Program COVAX yang didukung PBB membutuhkan dana US$ 6,8 miliar lebih untuk mengamankan kontrak vaksin dan memastikan pengiriman dosis yang dialokasikan. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengatakan adalah kepentingan terbaik dunia untuk memastikan imunisasi yang luas karena "alam selalu menyerang balik."
“Jika kita tidak memberantas penyakit, virus dapat bermutasi,” kata Guterres. “Dan vaksin yang pada saat tertentu efektif tidak bisa lagi efektif jika ada perubahan.”
Negara Miskin Bisa Tertinggal
Pengaturan dosis vaksin COVAX mencakup pembuat farmasi AstraZeneca Inggris-Swedia, Johnson & Johnson yang berbasis di AS, dan Serum Institute of India, meskipun pembicaraan dengan yang lain sedang berlangsung.
“Kami pasti berdiskusi dengan Pfizer dan Moderna. Kami berharap dapat mencapai kesepakatan dengan mereka. Tapi kami belum siap pagi ini,” kata Dr. Richard Hatchett, kepala Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi.
Hatchett mengakui bahwa proses peraturan Amerika Serikat, kebutuhan untuk mempertahankan vaksin Moderna dan Pfizer pada suhu di bawah nol dan masalah biaya adalah "semua masalah yang sedang dibicarakan" dengan kedua perusahaan.
Dr. Seth Berkley, kepala aliansi Gavi, menyinggung laporan media baru-baru ini yang menunjukkan kekhawatiran yang berkembang bahwa kurangnya dana dan dukungan untuk COVAX dan bahwa negara-negara yang kurang berkembang dapat tertinggal.
"Kami masih membutuhkan lebih banyak dosis, dan ya, kami masih membutuhkan lebih banyak uang," kata Berkley, "tetapi kami memiliki jalur yang jelas untuk mengamankan dua miliar dosis awal."
Negara berkembang juga perlu menunjukkan bahwa mereka memiliki rencana untuk meluncurkan vaksin. Badan anak-anak PBB, UNICEF, yang akan mengirimkan dosis COVAX di negara berkembang, mengadakan pertemuan pekan ini dengan lebih dari 300 pejabat pengadaan vaksin untuk membahas apa yang mungkin diperlukan.
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...