WHO Setujui Penggunaan Masker Buatan Sendiri Cegah Corona
JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Jumat (3/4) mengatakan bahwa masker medis harus diprioritaskan bagi petugas kesehatan, tetapi organisasi itu membuka pintu bagi penggunaan masker buatan sendiri atau penutup mulut lainnya yang lebih luas sebagai cara untuk mengurangi penyebaran virus corona.
Seorang pejabat senior WHO mengatakan kepada wartawan, bahwa ada kemungkinan penularan virus corona melalui udara yang kini telah menginfeksi lebih dari 1 juta orang dan membunuh 50.000 orang di seluruh dunia sejak muncul di China Desember lalu.
Tetapi pendorong utama pandemi itu masih diyakini adalah, orang sakit dengan gejala batuk dan bersin yang memapar permukaan atau orang lain.
"Kita harus menjaga pasokan masker respirator bedah medis untuk pekerja garis depan kita. Tetapi gagasan untuk menggunakan penutup pernapasan atau penutup mulut untuk mencegah batuk atau bersin, menyebarkan penyakit ke lingkungan dan terhadap orang lain ... itu sendiri bukanlah ide yang buruk," kata Dr. Mike Ryan, pakar kedaruratan utama WHO, pada konferensi pers.
Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular yang merupakan pejabat tinggi penyakit menular AS, mengatakan pada Jumat (3/4), bahwa orang Amerika harus menutupi wajah mereka jika mereka harus pergi ke tempat umum, tetapi mereka harus tetap mengisolasi diri sebanyak mungkin.
Ryan mengakui "debat yang sangat penting dan sehat" tentang pemakaian masker.
Dia mengatakan bahwa jika digunakan, mereka harus menjadi bagian dari strategi yang komprehensif dan tidak akan meniadakan kebutuhan untuk mencuci tangan dan menjaga jarak sosial.
"Jadi kita tentu bisa melihat keadaan di mana penggunaan masker, baik masker buatan sendiri atau kain, di tingkat masyarakat dapat membantu dalam respons komprehensif menyeluruh terhadap penyakit ini," katanya.
Ryan, mengutip data dari Italia, mengatakan bahwa tampaknya tidak ada hubungan antara orang yang menggunakan obat hipertensi, dengan infeksi corona atau mengalami penyakit parah.
Staf yang kelelahan dalam beberapa sistem perawatan kesehatan yang berlebihan bisa menjadi faktor dalam tingkat kematian, Ryan menambahkan: "Kita perlu mengurangi tsunami pasien yang datang untuk memberi dokter, perawat dan petugas kesehatan lain kesempatan untuk menyelamatkan lebih banyak jiwa."
Maria van Kerkhove, seorang ahli epidemiologi WHO, memperingatkan agar tidak membandingkan angka kematian antarnegara, mencatat bahwa beberapa mungkin melewatkan infeksi ringan karena mereka fokus pada pasien dalam kondisi parah.
"Apa yang benar-benar harus kita fokuskan saat ini adalah berapa usia profil orang yang berada di ICU (unit perawatan intensif)," katanya.
"Kami melihat semakin banyak orang dari kelompok usia yang lebih muda - berusia 30-an, 40-an, 50-an - yang berada di ICU dan sekarat," katanya, mengutip Italia dan China.
Secara umum orang yang lebih tua atau mereka yang memiliki kondisi medis yang mendasarinya akan menjadi sakit dan memiliki risiko kematian yang lebih tinggi, kata van Kerkhove.
"Tapi kita perlu waktu sebelum kita dapat benar-benar memahami seperti apa kematian di berbagai negara, sehingga saya akan mendorong Anda untuk memahami angka kematian itu dengan hati-hati ketika membandingkan antarnegara," katanya (Reuters/Ant)
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...