WNI Membelot dan Berbalik Membenci ISIS
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Warga Negara Indonesia (WNI) yang selama ini bergabung dengan kelompok ekstremis Negara Islam Irak atau ISIS diketahui telah membelot bersama pejuang yang kecewa lainnya. Mereka yang berjumlah 58 orang, kecewa karena ISIS dinilai penuh dengan praktik korupsi dan menghianati perjuangan Islam.
Hal itu terungkap dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh International Center for Study of Radical and Political Violence (ICSR) King's College London, dengan judul Victims, Perpetrators, Assets: The Narratives of Islam State Defectors, yang dilansir oleh Newsweek Senin (20/9)
Menurut studi tersebut, pejuang ISIS yang kecewa semakin bertambah jumlahnya. Walaupun mereka sudah menduduki jabatan tinggi di organisasi tersebut, mereka memilih melarikan diri karena tidak kuat tetap berada di dalamnya.
Studi itu mencatat ada 58 pejuang yang membelot, diantaranya 21 pejuang berkebangsaan Suriah, 9 berkebangsaan Arab Saudi dan empat dari Indonesia dan Tunisia, dua dari Inggris, dan sembilan dari negara-negara Eropa dan Australia.
Pembelotan mereka menandai semakin berkembangnya perpecahan di antara pejuang lokal dan pejuang asing ISIS di Suriah. Di satu pihak, pejuang ISIS lokal melarikan diri dengan alasan pejuang ISIS asing diberikan hak-hak keistimewaan. Selain itu, mereka menganggap ISIS tidak lagi dikelola berdasarkan prinsip Islam.
Dalam laporan tersebut, dikemukakan empat narasi utama penyebab hengkangnya para pejuang itu. Pertama, ISIS kini dianggap lebih berfokus membunuh Islam Sunni daripada berperang melawan rezim Presiden Bashar al-Assad.
Alasan kedua, adalah ISIS dinilai telah melakukan kekejaman terhadap sesama Islam Sunni.
Ketiga, ISIS kini dilanda korupsi parah dan tidak Islami,
Keempat, kehidupan di bawah ISIS sangat keras dan mengecewakan.
"Pesan dari para pembelot itu sangat kuat dan jelas, bahwa ISIS tidak melindungi Muslim tetapi membunuh mereka," menurut laporan tersebut.
Berdasarkan fakta tersebut, studi ini menyarankan bahwa pemerintah maupun aktivis yang ingin melawan ISIS, harus "mengenali nilai dan kredibilitas para pembelot dalam menentang ISIS dan sebaiknya membantu memukimkan mereka kembali dan menjaga keamanan mereka."
Lembaga tangki pemikir yang melansir studi ini meyakini bahwa pemerintah dapat menggunakan masukan dari pembelot-pembelot tersebut untuk menghalangi calon jihadis lainnya bepergian ke Irak dan Suriah untuk masuk ISIS.
"Kisah-kisah mereka juga dapat digunakan sebagai alat berpotensi kuat dalam memerangi itu," laporan itu mengatakan. "Keberadaan para pembelot menghancurkan citra kesatuan dan tekad yang telah berusaha disampaikan oleh ISIS."
Peter R. Neumann, penulis laporan itu dan bekerja sebagai profesor Studi Keamanan di King College London, memperingatkan, bahwa walaupun para pembelot menentang ISIS, mereka belum sama sekali dapat dikatakan pro Barat dan sama sekali meninggalkan kelompok radikal itu.
"Pengalaman pembelot beragam. Tidak semua mereka telah menjadi pendukung kuat demokrasi liberal," kata Neumann, dalam sebuah tulisan opini untuk CNN. "Beberapa mungkin, pada kenyataannya, telah melakukan kejahatan. Mereka semua, di beberapa titik dulu adalah pendukung antusias ISIS. Namun mereka sekarang menganggapnya musuh terburuk."
Sebanyak dua pertiga dari pembelot muncul ke permukaan pada tahun 2015 dan sepertiga lainnya terjadi pada musim panas ini saja. Ini mengindikasikan bahwa ISIS telah kehilangan kemampuan untuk memerintah para pengikutnya.
Data yang dialnsir pada bulan Januari menunjukkan 20.000 pengungsi asing telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk melawan kelompok ekstremis, sejak jatuhnya perang sipil Suriah pada Maret 2011.
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...