Yane Ansanay, Doktor Fisika Perempuan Papua Pertama Rintis Energi Terbarukan
PAPUA, SATUHARAPAN.COM – Kembali ke kampung halaman seusai menyelesaikan studi di Amerika Serikat, fisikawan perempuan pertama asal Papua, Yane Oktovina Ansanay, bertekad mengakhiri krisis energi di Papua melalui pemanfaatan teknologi energi baru dan terbarukan.
Yane Ansanay, 33 tahun, meraih gelar doktor (PhD) di bidang fisika, dari North Carolina State University di Amerika Serikat pada tahun 2015. Ia menamatkan studi master fisika juga di almamater yang sama.
Gelar doktor fisika diraihnya setelah sukses mengungguli ilmuwan fisika dari berbagai negara seperti Jepang, China, Amerika dan Eropa dan mendapatkan beasiswa Graduates Research Assistant -PhD Candidate dari North Carolina State University.
Lama mengenyam pendidikan di luar negeri, tidak membuat perempuan kelahiran Jayapura ini lupa dengan tanah kelahirannya.
Sebaliknya kecintaan terhadap Papua juga yang mendasari keputusannya memilih menekuni studi fisika terapan khususnya energi baru dan terbarukan.
"Saya mengambil studi fisika biomaterial dengan spesifikasi energi baru dan terbarukan."
"Karena saya lihat ini sangat dibutuhkan di Papua dan potensinya sangat besar." katanya saat ditemui ABC di Jakarta, yang dilansir abc.net.au, pada Rabu (16/10).
"Di Papua belum semua desa atau kampung mendapat aliran listrik."
"Walau ada program pemerataan listrik dari pemerintah, praktiknya sendiri mengalami kendala karena topografi Papua yang memang sulit berbukit-bukit atau pegunungan."
"Jadi harus ada pendekatan lain yang lebih sesuai dengan alam Papua untuk penuhi kebutuhan energi,” katanya.
Yane Ansanay menambahkan, pemanfaatan energi baru dan terbarukan ini sangat mendesak dilakukan di Papua.
Tidak hanya untuk energi listrik, masyarakat Papua juga membutuhkan sumber energi alternatif untuk menggantikan minyak tanah yang masih digunakan secara luas di Papua."
"Kalau dibanyak daerah udah umum pakai gas ya, tapi di Papua belum, kami masih umum pakai minyak tanah."
"Seminggu sekali atau dua minggu sekali mobil Pertamina masuk mendrop minyak tanah, dan orang-orang akan berjejer 10-20 meter mengantre minyak tanah."
"Itu pemandangan umum tidak cuma di pedalaman tapi juga di Kota Jayapura,“ katanya.
Yane Ansanay mengatakan, tanah Papua sangat kaya dengan bahan-bahan alam yang bisa dikonversi menjadi energi terbarukan.
Ia melirik banyaknya limbah buah-buahan di Pasar Papua, yang bisa dimanfaatkan sebagai pembuat bioetanol.
"Hal yang sederhana limbah buah-buahan dari pasar, kalau ada buah yang tidak dikonsumsi atau sisa ini bisa dimanfaatkan untuk bioetanol."
"Karena bioetanol kalau proses pembuatannya sempurna itu bisa jadi pengganti bensin, tapi kalau yang sederhana yang bisa dibuat di rumah-rumah itu bisa jadi pengganti minyak tanah,” katanya.
Yane mengaku telah mengujicobakan proyek bioetanolnya ini, namun diakui masih perlu jalan panjang untuk merealisasikan mimpinya menghadirkan sumber energi alternatif.
Sebagai langkah awal, ia kini bergabung sebagai staf pengajar studi Teknik Geofisika di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Universitas Cendrawasih, Papua.
"Di Uncen kami punya tim energi baru dan terbarukan, kami tengah meneliti potensi mikro algae untuk pengganti solar, itu endemik di setiap tempat di dunia."
"Tapi sejauh ini saya tertarik untuk mengembangkan bioetanol untuk mengurangi sampah."
"Saya berharap sekarang setelah menjadi dosen penuh di kampus, ide energi bioetanol ini bisa dikembangkan,“ katanya.
Laboratorium Sains Terpadu Papua
Selain menjadi doktor fisika perempuan pertama di Papua, Yane Ansanay juga menjadi pendiri Gerakan Papua Muda Inspiratif, sebuah yayasan yang menghimpun sumber daya manusia muda berprestasi dari berbagai lintas disiplin ilmu pengetahuan asal Papua.
Gerakan ini didapuk untuk mengawaki pembangunan sumber daya manusia Papua yang inovatif.
Lewat gerakan ini pula, Yane Ansanay menerima tugas baru dari pemerintah untuk memimpin rencana pendirian laboratorium sains teknologi terpadu di Papua.
"Saya dipercayakan oleh RI 1, Pak Jokowi, untuk membangun laboratorium terpadu bersertifikasi."
"Nantinya ini akan menjadi lab gabungan fisika, kimia, biologi dan IT untuk menghasilkan berbagai penelitian untuk menghasilkan produk industri dari sumber daya alam yang ada di Papua dan dikelola oleh orang Papua,” kata Yane.
Yane Ansanay menambahkan, jika terealisasi laboratorium terpadu ini akan mampu menjawab tantangan yang selama ini dihadapi kalangan akademisi dan ilmuwan di Papua dalam melakukan penelitian sains dan teknologi.
"Fasilitas lab yang kami miliki di Papua khususnya di Uncen masih terbatas."
"Instrumen yang kita miliki masih yang standar saja."
"Misalnya ketika kami ingin melakukan pengukuran karakterisasi fisika kimia dari bahan yang kami teliti, itu selalu harus dikirim keluar daerah seperti ke Bogor, Jakarta, Malang atau ITB yang memiliki instrumen lebih lengkap."
Dengan laboratorium terpadu ini nantinya instrumen yang kita miliki akan memiliki standar sertifikasi nasional dan internasional,” katanya.
Selain itu, kehadiran laboratorium terpadu ini nantinya juga diharapkan dapat menjadi daya tarik ilmuwan asal Papua untuk giat berkiprah di tanah kelahirannya sendiri.
"Kalau terealisasi laboratorium ini bisa dikembangkan menjadi lahan pekerjaan baru bagi pemuda Papua. Karena Pemda Papua sebenarnya sudah banyak kirim anak belajar ke luar negeri untuk studi lanjut."
"Tapi kadang karena di luar negeri mereka sudah terekspos dengan teknologi yang canggih, maka ketika kembali ke Papua instrumennya serbaterbatas mereka jadi kecewa."
"Saya harap laboratorium ini akan mengisi 'gap', ketimpangan, itu sehingga mereka mau kembali dan berkarya di Papua."
Anak Jenius Asal Papua
Bakat menonjol Yane Ansanay di bidang fisika, sudah terlihat sejak duduk di bangku sekolah menengah.
"Fisika ilmu yang menarik, karena bisa menjelaskan banyak hal yang ada di alam atau hal sederhana yang ada disekitar kita."
"Misal kita lihat awan bergerak, itu kan karena angin dan itu bisa dijelaskan dengan teori fisika." katanya.
Prestasinya di bidang fisika ini, kemudian ditemukan oleh program pencarian anak jenius yang dilakukan oleh Profesor Johannes Surya pada 2003.
Yane, lolos seleksi mengikuti pendidikan di Surya Institut yang dikhususkan bagi anak dengan bakat dasar kuat atau jenius dan mendapat gemblengan langsung dari fisikawan Johannes Surya untuk mengikuti ajang Olimpiade Fisika Internasional.
"Tahun 2003-2004 setelah kelas 1 SMA, saya lolos ikut sekolah dengan Profesor Johanes Surya di Tangerang. Muridnya semua anak-anak pintar dari berbagai daerah, dari 14 orang, saya perempuan satu-satunya dan dari Papua,” kata Yane.
Yane kemudian melanjutkan studi fisikanya di Universitas Pelita Harapan, dan lalu kemudian meraih beasiswa untuk meneruskan sekolah masternya di North Carolina State University di Amerika Serikat.
Namun menurutnya Papua masih memiliki banyak sosok lain yang mumpuni di bidang fisika.
Ia menyebut nama rekannya yang juga alumnus North Carolina State University, yakni Maya Wospakrik.
Maya, kini menjadi peneliti fisika nuklir di Fermilab, sebuah laboratorium sains di Illinois Amerika Serikat.
Selain itu ada juga Anieke Boaire, perempuan pemenang First Step to Nobel Prize, sebuah kompetisi internasional Bergengsi dalam Bidang Fisika.
"Saya bermimpi, akan ada lebih banyak lagi perempuan Papua yang mampu bersaing di kancah nasional dan internasional,” katanya.
Khusus di bidang Fisika, ia mengaku optimistis masih ada banyak anak-anak muda Papua yang menaruh minat tinggi pada bidang yang satu ini.
"Mereka itu ada minat, saya lihat tantangan sebagai pengajar di Papua agak lebih dibandingkan dengan dosen di daerah lain."
"Mengajar anak-anak Papua harus perlahan-lahan, kalau bagi yang sudah punya dasar yang kuat itu bisa lebih cepat, tapi kalau bagi yang belum kita harus memberikan pemahaman lebih.
"Approach-nya harus tepat dan dosen harus paham psikologi," katanya.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...