Yasonna Laoly: Hukuman Mati Sudah Keputusan Pemerintah
JAKARTA,SATUHARAPAN.COM - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan Enam terpidana mati kasus narkotikan itu sudah keputusan pemerintahan Indonesia.
"Ini sudah keputusan, kita melihat dengan darurat narkoba di negara Indonesia karena sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Maka pemerintah berkeputusan, harus beri pelajaran kepada bandar narkoba. Kalau addict-nya, pecandunya, itu kita rehabilitasi, karena anggarannya cukup besar. Tapi bandarnya akan kita hukum mati. Kalau PK dan grasi ditolak, demi kepastian hukum itu harus kita lakukan untuk efek jera," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kompleks parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Senin (19/1).
Hukuman mati, kata Yasona ini sudah keputusan pemerintah. Bahwa pemerintah menghargai negara sahabat yang memperjuangkan hak warga negaranya untuk mencoba meminta pengampunan dari negara Indonesia.Tapi keputusan pemerintah adalah begitu (hukuman mati).
"Sekarang lihat, siapa yang berani di negara-negara tetangga seperti di Singapura, Malaysia, karena tegas," kata dia.
Untuk itu, kata Yasonna Belanda sudah tidak menganut hukuman mati. Tapi pemerintahan Indonesia hukuman positif masih menganut itu. Dan pada waktu diuji di Mahkamah Konstitusi, itu konstitusional.
Sebelumnya warga negara asing yaitu Brasil, Belanda Malawi, Nigeria dan satu Indonesia telah dieksekusi pada Minggu (18/01) dini hari di LP Nusa Kambangan. Sementara eksekusi terhadap warga Vietnam dilakukan di Boyolali Jawa Tengah pada waktu yang sama.
Eksekusi hukuman mati itu membuat Brasil dan Belanda menarik duta besarnya di Jakarta. Brasil menilai eksekusi hukuman mati terhadap salah satu warga negaranya di Indonesia karena kasus narkoba merupakan bentuk 'kekejaman'.
Warga Brasil Marco Archer Cardoso Moreira, 53 tahun, ditangkap pada 2003 lalu setelah polisi di bandara Cengkareng menenemukan 13,4 kg kokain yang disembunyikan di dalam peralatan olahraga.
Moreira merupakan warga Brasil pertama yang dieksekusi di luar negeri dan Brasil memperingatkan hukuman itu akan 'merusak' hubungan dengan Indonesia.
Warga Brasil lain Rodrigo Muxfeldt Gularte juga menghadapi hukuman mati di Indonesia, karena kasus perdagangan narkoba.
Presiden Brasil Dilma Rousseff mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa dia merasa kaget dan menilai hukuman itu kejam.
"Duta besar Brasil di Jakarta telah ditarik untuk melakukan konsultasi," kata presiden Rousseff.
Belanda juga menarik kembali duta besarnya, setelah Menteri Luar Negeri Bert Koenders menilai eksekusi terhadap warga negara Belanda Ang Kiem Soe, 52 tahun merupakan pengingkaran terhadap martabat dan integritas kemanusiaan.
Permohonan pengampunan (grasi) telah diajukan Rousseff tetapi ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Joko Widodo mengatakan dia memahami kepedulian presiden Brasil tetapi dia tidak dapat mengubah hukuman karena seluruh proses hukum telah dijalani.
Dilma Rousseff mengatakan kepada Joko Widodo bahwa dia menghormati kedaulatan dan sistem hukum di Indonesia, tetapi sebagai seorang ibu dan kepala negara dia mengajukan permohonan itu dengan alasan kemanusiaan. Brasil menghapus hukuman mati ketika perdamaian dan menjadi sebuah negara republik pada 1889.
Kritik terhadap eksekusi hukuman mati juga disampaikan sejumlah organisasi Amnesty International dan pegiat HAM di Indonesia.
Editor : Bayu Probo
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...