Yesus dan Orangtuanya Adalah Pengungsi dari Timur Tengah
Menjelang Natal, mari kita mengingat tentang para pengungsi di seluruh dunia. Di Timur Tengah, Eropa, Sudan, Sudan Selatan, Afrika Tengah, Nepal, Rohingya. Juga di Indonesia: Sinabung, Singkil, Halmahera, Alor, Ahmadiyah, Syiah di Sampang, dan sebagainya. Sebab, Yesus dan orangtuanya, Yusuf dan Maria adalah pengungsi yang harus lari dari bencana politik akibat nafsu kekuasaan.
SATUHARAPAN.COM – Yesus dan orangtuanya, Yusuf dan Maria, adalah pengungsi dari Timur Tengah yang harus menghindari pembantaian di tanah kelahirannya. Sebuah kisah Natal yang banyak luput dari perhatian kita.
Ryan Gear, pendeta One Church menulis opininya di blog huffingtonpost.com tentang ironisme ini. Berikut adalah tulisannya.
Hanya dua bulan yang lalu, foto tubuh kecil Aylan Kurdi yang terdampar di sebuah pantai di Turki mengejutkan dunia. Menyusul penemuan tubuh pengungsi Suriah usia tiga tahun 'tertelungkup dengan posisi biasanya balita tidur, publik Amerika Serikat dengan penuh kasih menawarkan rumah untuk beberapa ribu anak lagi seperti Aylan. Namun, hal itu berubah cepat.
Baca juga: |
Setelah serangan teroris pekan lalu di Paris, 31 Gubernur AS telah mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak akan menyambut pengungsi Suriah untuk menetap di negara mereka. Walaupun para gubernur itu tidak punya otoritas untuk menutup perbatasan negara untuk siapa pun yang tinggal di negara ini, pernyataan mereka telah datang di bawah api dari banyak orang, termasuk evangelis yang biasanya mendukung pemimpin politik konservatif.
Mengapa? Pertama, mungkin itu karena krisis pengungsi Suriah sangat sedikit perincian yang mirip dengan kehidupan Yesus. Yesus dan orangtuanya yang pengungsi Timur Tengah. Padahal, adegan kelahiran Kristus menggambarkan sebuah keluarga Timur Tengah yang sedang mencari tempat tinggal hanya untuk di beri tahu bahwa tidak ada ruang bagi mereka. Kemudian, Matius mengatakan bahwa setelah kelahirannya, Maria dan Yusuf melarikan diri dengan bayi Yesus ke Mesir ... sebagai pengungsi yang melarikan diri dari kekerasan. Ironi orang Kristen yang menolak pengungsi tepat sebelum kita memasang dekorasi Natal sulit untuk dilewatkan, bahkan bagi mereka yang sering tak menyadari ironi iman mereka dan posisi politik.
Kedua, Yesus menawarkan deskripsi serius dari Pengadilan Terakhir dalam Matius 25 yang langsung berbicara kepada isu menyambut pengungsi. Dalam Matius 25:40, Yesus menyatakan, " Raja itu akan menjawab mereka: Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku."
Dalam penggambaran-Nya dari Pengadilan Terakhir, Yesus, sebagai Raja, jelas menyatakan bahwa bagaimana kita memperlakukan yang Dia menyebut " saudaraku yang paling hina" adalah bagaimana kita memperlakukan-Nya. Siapa "yang paling hina ini?" Walau kita bisa berdebat tentang definisi " saudara," Yesus dikenal karena memerintahkan kita untuk mengasihi sesama.
Dalam ayat 28, kita belajar bahwa salah satu kategori "yang paling hina ini" itu adalah "orang asing." Matius pada awalnya ditulis dalam bahasa Yunani, dan kata Yunani yang kita terjemahkan sebagai orang asing adalah xenos, yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "orang asing, imigran atau orang asing." Dengan kata lain, ketika kita tidak menyambut orang asing, Yesus akan mempermasalahkan itu secara pribadi.
Kita adalah orang bijaksana, tentu saja, untuk bertanya tentang keselamatan publik dan kemungkinan teroris menyusup dalam kelompok pengungsi. Ketakutan itu bisa dimengerti, tapi ada pandangan lain yang perlu kita pertimbangkan.
Selain peringatan Yesus tentang Penghakiman Terakhir, ada konsekuensi duniawi saat tidak menyambut orang asing itu. Mungkin, tidak menyambut pengungsi sebenarnya akan membuat lebih banyak teroris yang akan berusaha untuk mencelakai Amerika Serikat. Sebab, kita berpaling dari keluarga-keluarga itu di saat mereka membutuhkan. Ini terbukti bisa menjadi alat yang ampuh untuk ISIS merekrut.
Dalam ketakutan mereka terorisme, sebagian besar gubernur di AS bagian Tengah, dengan pernyataan murni politik mereka, memiliki kemungkinan besar sudah diperkuat persepsi anti-Muslim dari Amerika Serikat. Orang bisa dengan mudah membuat argumen bahwa pernyataan penolakan ini menjadi tanda teroris menang.
Jika gubernur ini bertindak sesuai dengan keinginan orang-orang mereka, maka hanya butuh satu serangan teroris di Eropa Barat untuk mengubah pendapat Amerika dalam menyambut pengungsi Suriah, banyak dari mereka adalah anak-anak kecil. Senjata paling ampuh teroris adalah teror. Dan, jika gubernur dan pendukung mereka yang takut serangan begitu intens menolak anak-anak pengungsi, apakah ada yang bisa membantah bahwa para teroris menang? Bukan hanya nyawa manusia yang mereka diambil, mereka kini berhasil menghilangkan kemanusiaan kita.
Bagi orang Kristen, termasuk banyak orang Kristen evangelikal konservatif, fakta bahwa Yesus sendiri adalah seorang pengungsi dan bahwa kita akan dihakimi sebagian pada keramahtamahan kita untuk orang asing, menolak pengungsi harus mengganggu. Tidak peduli berapa banyak gubernur mengklaim tidak ada ruang di penginapan, baik pengalaman hidup dan ajaran Yesus hanya terlalu relevan dengan krisis pengungsi saat ini bagi orang Kristen untuk mengabaikan.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...