Yewangoe: Demokrasi adalah Alat dari Gereja
TANGERANG SELATAN, SATUHARAPAN.COM - Menghadirkan Shalom Allah di Tengah Proses Demokrasi Bangsa menjadi tema peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ke 64. Tema yang juga dijadikan pesan Bulan Oikumene PGI pada Mei 2014 ini dilatarbelakangi oleh dinamika tahun politik di Indonesia.
Melalui pesan Bulan Oikumene yang berjiwa pada Firman Tuhan dari 1 Petrus 3:8-12 ini, PGI memiliki tiga ajakan bagi gereja-gereja di Indonesia, yakni:
Pertama, terus menerus tanpa mengenal lelah semakin memperkuat persekutuan antara lain melalui wadah PGI dan juga mitra-mitra gereja interdenominasi agar secara bersma-sama dengan tidak jemi-jemu mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa (GKYE) di Indonesia.
Kedua, terus berkomitmen, bertekad dan melakukan proses pendidikan politik bagi warga gereja agar pondasi moral dan etis dapat terus ditegakkan dalam kehidupan umat, sehingga dalam konstelasi bangsa di tahun politik ini, gereja menjadi agen penegakan perdamaian, keadilan, kejujuran, dan kebenaran.
Ketiga memantapkan langkah bersama dalam proses revitalisasi visi dan misi gerakan Oikumenis dengan cara terus bersemangat dan antusias menyongsong serta menyukseskan Sidang Raya PGI XVI yang akan datang dalam semangat menghadirkan Shalom Allah di negeri kita.
Peringatan HUT PGI ke 64 (25 Mei 1950-25 Mei 2014) ini terselenggara di Gereja Kristen Oikumene (GKO) Bintaro Jaya, dengan menggunakan tata ibadah Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM).
Pendidikan Politik Moral
Menurut Ketua Umum PGI, Dr. Andreas Yewangoe, tema tersebut adalah bagian dari politik moral, dengan tujuan mendidik masyarakat pada pengertian demokrasi sesungguhnya.
"Demokrasi adalah alat dari gereja, dan telah melaluii perkembangan dan proses yang luar biasa. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa dengan mengangkat tema demokrasi, PGI telah terlibat dalam politik praktis," ucap Yewangoe.
Ketua Umum PGI itu melihat bahwa proses demokrasi yang terjadi saat ini bagai sebuah penyakit transaksional luar biasa
"Demokrasi substansial, bukan hanya sekedar demokrasi transaksi. Tapi yang sekarang terjadi ialah demokrasi penyakit transaksional luar biasa," Yewangoe menambahkan.
Menurutnya, jelang Pemilu Presiden 2014, proses demokrasi sejati tidak berlangsung seperti yang sedang terjadi.
"Demokrasi sejati harus menyatukan seluruh platform, mereka harus mampu berkata ini cita-cita dan visi kita bersama, mari berjuang bersama. Setelah menang lanjut membicarakan hal-hal yang didapatkan, namun tetap secara profesional," kata Ketua Umum PGI itu.
Demokrasi Menuju Perpecahan
Sementara itu, sebagai pelayan firman pada HUT PGI ke 64 hari ini, Pendeta. Irene M. Tetelepta, S.Si., mengatakan tidak mengerti dengan demokrasi yang sedang dipertunjukkan oleh para pemimpin bangsa.
"Dari masa ke masa tidak pernah memiliki tujuan memikirkan masa depan bangsa. Seharusnya, nilai luhur bangsa dikembangkan dan dipupuk," ucapnya.
Pendeta Irene pun melihat bahwa perbedaan agama saat ini telah meruncing pada arah perpecahan.
"Kemajemukan semakin meruncing, salah satunya perbedaan agama yang semakin mengarah pada perpecahan. Seharusnya demokrasi mampu menjadi jembatan hal ini," kata Pendeta Irene.
Ia pun mengharapkan gereja mengalami lawatan Shalom Allah terlebih dulu, sebelum bangsanya.
"Kini, tugas kita adalah menghadirkan Shalom Allah. Namun sebelum bangsa ini, gereja secara lokal korporat harus lebih dulu mengalami lawatan Shalom Allah itu," tutup Irene.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...