Youth for Peace: Pemuda Jerman dan Asia Berbagi untuk Perdamaian
SALATIGA, SATUHARAPAN.COM – Sejumlah pemuda dari beberapa negara di Eropa dan Asia berkumpul untuk belajar bersama dan berbagi pengalaman dalam pengembangan budaya damai, khususnya di kalangan pemuda. Mereka bergabung dalam acara ‘’Youth for Peace’’ di Salatiga, Jawa Tengah, yang diselenggarakan Departemen Asia, United Evangelical Mission (UEM), dan Lembaga Pengembangan Pekerti Luhur (LPPL) GKJTU.
Sebanyak 25 pemuda datang dari Jerman, Sri Langka, Filipine, dan Indonesia bergabung dalam kegiatan yang dimulai 17 November dan akan berakhir pada 28 November. Para peserta adalah pemuda Kristen yang aktif di gereja dan relawan dalam kegiatan sosial, serta Mulsim yang aktif dalam aktivitas di komunitasnya.
Mereka berbagai tentang pengalaman menghadapi konflik di negara masing-masing, dan berbagai tentang upaya-upaya untuk membangun perdamaian dengan mengembangkan karakter dan budaya damai untuk kehidupan yang sejahtera di tengah relatitas pluralitas di masyarakat.
Selain itu, mereka mengunjungi dan tinggal sementara pada sejumlah komunitas. Mereka mengikuti “live in” pada beberapa desa di sekitar Salatiga untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan dengan penganut dan pemimpin Budda, dengan pendeta dan komunitas Kristen, dengan Kyai dan komunitas Muslim di pesantren.
Dinamika Pemuda
Aktivitas dikemas dalam semangat kaum muda yang lebih terbuka, energik dan dinamis, termasuk dengan berbagai permainan sebagai simulai perilaku dan sikap dalam merespons realitas pluralitas, menghadapi konflik, dan bekerja sama untuk mengatasi konflik secara damai.
Para peserta juga menandai kegiatan dan kebersamaan mereka dengan membuat taman kecil pada fasilitas LPPL di Kopeng yang mereka sebut sebagai “Taman Perdamaian’’ (Peace Park). Dan mereka berkomitmen untuk membangun jaringan kaum muda yang mempromosikan perdamaian dan menghadapi konflik secara damai.
Para peserta mengungkapkan bahwa hal-hal yang menjadi penyebab konflik antara lain terjadinya penolakan pada pihak lain, termasuk sikap rasis dan diskriminatif, represi terhadap pihak lain dengan kekuatan dalam situasi minoritas dan mayoritas, pemisahan, prasangka buruk dan stigmatisasi, perebutan sumber daya, fanatisme, ketidak-setaraan dan gap dalam kesejahteraan.
Sementara tentang hal-hal yang mendukung perdamaian dalam suatu komunitas, menurut mereka adalah terwujudnya keadilan, kepercayaan yang kejujuran dalam masyarakat, kesetaraan sikap saling menghargai, saling menerima dan toleran terhadap perbedaan, terjadinya dialog dan komunikasi yang baik, peduli pada sesama, terutama kaum lemah melalui sikap empati, membangun integrasi dengan kebersamaan dalam perbedaan, serta membangun tujuan bersama dalam komunitas.
Refleksi Peserta
Surendar Gunam, peserta dari Sri Langka mengatakan bahwa dia sangat menikmati kegiatan ini dan belajar banyak tentang budaya dan keyakinan dari negara lain dan penganut agama lain. Dia mengatakan banyak belajar tentang bagaimana merespons konflik secara damai.
Sementara Purjatian Azhar dari UIN Sunan Kali Jaga, Yogyakarta, dalam sebuah refleksinya mengatakan bahwa perbedaan dalam budaya dan agama akan menjadi masalah atau justru kekuatan dalam suatu bangsa bergantung pada cara kita memandangnya. Jika kita melihatnya secara positif, maka hal itu akan menjadi kekuatan untuk kesejahteraan dan perdamaian. Namun jika hal itu dilihat secara negatif, maka akan menjadi konflik.
“Kita perlu melihat realitas ini secara positif agar bisa membangun perdamaian,” kata dia dan ditambahi oleh rekan Muslimnya, Resta Tri Widyadara yang mengatakan bahwa saling menerima dan menghargai tentang perbedaan merupakan salah satu sikap yang dibutuhkan untuk perdamaian. “Saya berharap kegiatan ini tidak berakhir di sini,” kata dia.
Remwelette Marie Lumayang Jaim, peserta dari Filipine mengungkapkan bahwa setiap orang membutuhkan untuk didengar dan dipahami. Untuk membangun perdamaian kita harus mengembangkan dialog sehingga setiap orang dan pihak bisa didengar dan secara bersama-sama bisa menemukan solusi ketika terjadi konflik.
Sementara itu, Johanna Bondeieck dari Jerman dan tengah menjadi relawan di Jayapura, Papua, dalam diskusi di kelompok menyebutkan bahwa hal-hal yang menimbulkan konflik adalah adanya ketidak-adilan dalam masyarakat seperti adanya gap dalam kesejahteraan, sikap yang mendiskriminasi orang lain.
Homar Rubert Distajo, pelaksana program dari Departemen Asia UEM mengatakan bahwa dalam kegiatan tersebut para peserta cukup aktif dan antusias. Mereka banyak memperoleh gagasan dan inpsitasi tentang perdamaian, relasi yang damai, sharing pegalaman dan saling memahami tentang budaya dan keyakinan masing-masing. Menurut Homar, kegiatan ini adalah yang pertama kali diselenggarakan di Asia, dan berharap bisa dilakukan lebih rutin di tempat lain.
Para peserta dari Indonesia datang dari Salatiga, Yogyakarta, Bandung, jayapura, Medan, Nias, Padang, Pematang Siantar, Semarang, Malang dan Wamena.
Hicca Maria Gandhi P Aruan dari Bandung, dalam satu refleksi mengatakan bahwa melalui permainan peserta bisa bejajar tentang kepemimpinan, komunikasi dan kerja sama untuk sebuah tujuan bersama. Dan diaerharap apa yang dipelajari bisa diterapkan dalam komunitas masing-masing.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...