YPKP Laporkan 346 Lokasi Kuburan Korban 1965 ke Komnas HAM
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebanyak 346 lokasi kuburan massal korban peristiwa 1965 di berbagai daerah di Indonesia yang ditemukan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 dilaporkan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
"Saya akan menyerahkan temuan hasil dari investigasi YPKP 65 secara khusus masalah kuburan massal. Ada 346 titik kuburan massal yang ditemukan tim kami, dari Sumut, Sumbar, Palembang, Lampung, Jawa, Sukabumi, Tangerang, kemudian Bandung ada juga," tutur Ketua YPKP 65 Bedjo Untung di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (3/10).
Jumlah temuan hingga Oktober 2019 itu termasuk temuan sebelumnya pada 2015 sebanyak 112 kuburan massal, yang juga telah dilaporkan ke Komnas HAM, tetapi Bedjo Untung menyebut hingga kini belum ditindaklanjuti Komnas HAM.
YPKP 65 memperoleh informasi lokasi ratusan kuburan massal tersebut dari saksi mata peristiwa pembunuhan 1965 yang masih hidup.
Bedjo Untung mengaku prihatin terdapat indikasi kuburan massal dirusak maupun dihilangkan dengan pembangunan di atasnya, seperti yang terjadi di sejumlah daerah.
Untuk itu, pihaknya meminta Komnas HAM menindaklanjuti laporan tersebut serta melakukan investigasi khusus kuburan massal.
"Ini baru dari yayasan yang melaporkan, Komnas HAM harus punya data sendiri untuk melakukan asessment dan verifikasi. Kami siap bekerja sama untuk menunjukkan lokasi," ujar Bedjo Untung.
Ia berharap temuan ratusan kuburan massal itu dapat menjadi tambahan alat bukti agar Jaksa Agung tidak lagi menolak menaikkan ke tahap penyidikan karena kurangnya alat bukti.
"Kami cukup banyak alat bukti, kuburan massal, dan beberapa kesaksian," tutur Bedjo Untung.
Bukti yang dibawa oleh YPKP 65 adalah data lokasi kuburan massal, jumlah korban yang dikuburkan serta nama-nama korban peristiwa 1965.
Saat menyerahkan temuan itu, YPKP 65 tidak ditemui komisioner Komnas HAM, melainkan Kepala Bagian Dukungan Pelayanan Pengaduan Komnas HAM Imelda Saragih.
"Meski tidak ada komisioner tolong pesan saya dicatat dan disampaikan sesuai surat yang saya ajukan Senin lalu," kata Bedjo U ntung.
Masyarakat Belum Siap Rekonsiliasi
Pada tahun 2018, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Agus Widjojo mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia tidak dapat dilakukan melalui rekonsiliasi karena masyarakat belum siap.
"Kedua belah pihak antara korban dan pelaku harus mau bertemu. Kalau tidak, jangan bermimpi ada rekonsiliasi," kata Agus Widjojo dalam peringatan Hari HAM Internasional 2018 di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Selain kesiapan masyarakat, ia menuturkan hal yang menjadi tantangan penyelesaian pelanggan HAM berat adalah harus ada kemauan politis pemerintah serta kesediaan pihak korban dan pelaku untuk bertemu.
Rekonsiliasi, kata dia, mencakup seluruh lapisan masyarakat untuk membentuk budaya baru serta memerlukan kesediaan korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif.
Apalagi menurut dia sebuah tindakan kekerasan tidak dapat diserahkan hanya kepada salah satu pihak saja. Ia mencontohkan pelanggaran dalam HAM berat peristiwa 1965, jarang disebutkan tindakan kekerasan yang dilakukan PKI sebelum 2 Oktober 1965.
"Jadi catatan sejarah PKI sampai 1 Oktober, ingat 1948, Gubernur Suryo, Gubernur Jatim, caranya dibunuh dan kekerasan pada golongan ulama," tutur Agus Widjojo.
Semua pihak yang terlibat sampai tingkat tertentu dikatakannya mempunyai tanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan pada 1965.
Ada pun sebanyak 10 penyelidikan pelanggaraan HAM berat yang telah diserahkan Komnas HAM hingga 2018 kepada Jaksa Agung belum ditindaklanjuti.
Pelanggaran HAM berat tersebut adalah penembakan mahasiswa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, peristiwa Mei 1998, peristiwa Talangsari, kasus Wamena, peristiwa Wasior, peristiwa Jambu Keupok, peristiwa Simpang KKA dan Rumoh Geudong. (ANTARA)
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...