Apa yang Terjadi Jika Timur Tengah Tanpa Orang Kristen? (1)
SATUHARAPAN.COM – Kekristenan lahir di kawasan Timur Tengah, tapi komunitas-komunitas Kristen di daerah itu terus menyusut. Dari Irak ke Suriah hingga Mesir, mereka Kristen berada di bawah ancaman. Termasuk genosida. Bagaimana iman mereka—termasuk di jemaat gereja Bethlehem—menopang mereka dan bagaimana penurunan jumlah mereka mengubah wilayah tersebut? Artikel bersambung ini mengungkapkannya.
Bangku-bangku di Gereja First Baptist Bethlehem terisi cepat oleh aliran jemaat pada Minggu (22/12) malam, beberapa dengan dompet mewah, orang lain dengan sepatu usang dan tas KFC. Mereka yang terlambat harus puas dengan kursi plastik di belakang.
Saat ibadah berlangsung, tangan-tangan terangkat di udara bersama dengan jemaat menyanyikan lagu pujian dan syukur kepada Tuhan. Ibadah dihadiri lebih dari 1.300 orang yang mendengar pesan Alkitab. Mereka menanggapi undangan Kristus.
Di kota yang dipercaya sebagai tempat Yesus Kristus dilahirkan dari Maria, gereja ini adalah sesuatu yang disebut keajaiban modern. Didirikan di sebuah apartemen dua kamar tidur tiga dekade yang lalu oleh Pendeta Naim Khoury, Gereja First Baptist dibom 14 kali selama intifada pertama, berjuang dengan kesulitan keuangan, dan kini menghadapi kasus hukum dengan Otoritas Palestina, yang tidak mengakui mereka sebagai gereja.
Ribuan orang Kristen di Bethlehem menghadapi perselisihan politik dan ekonomi serupa selama beberapa dekade terakhir. Ini menyebabkan banyak dari mereka melarikan diri dari kota tempat tokoh sentral kekristenan lahir di palungan. Orang Kristen di Bethlehem sempat mencapai 80 persen dari populasi, kini tinggal 20 sampai 25 persen. Namun, Gereja First Baptist menentang tren. Jemaatnya 300 anggota yang kuat dan berkembang.
“Kami berjuang dan berjuang untuk tetap dan tidak menyembunyikan apa yang kita yakini,” kata Khoury, yang selamat dari terjangan peluru di bahunya dari penembak jitu tak dikenal saat di tempat parkir gereja lima tahun lalu. “Sudah waktunya bagi mereka untuk menyadari bahwa kita di sini. Tidak ada cara bagi kita untuk menutup gereja dan pergi ke tempat lain ... Kami membuktikan diri di sini dengan bantuan Tuhan bahwa kita di sini untuk tinggal sampai Tuhan datang kembali.”
Iman gigih Khoury adalah sesuatu yang lebih banyak dimiliki orang Kristen—tidak hanya di sini di Tanah Suci, tetapi di seluruh Timur Tengah. Dua ribu tahun setelah kelahiran Yesus, orang Kristen berada di bawah serangan lebih daripada setiap masa dalam abad yang lalu. Ini mendorong beberapa orang untuk berspekulasi bahwa salah satu dari tiga agama besar dunia ini bisa lenyap seluruhnya dari wilayah tersebut dalam satu atau dua generasi mendatang.
Dari Irak, yang telah kehilangan setidaknya setengah dari orang-orang Kristen yang selama satu dekade terakhir, kita ke Mesir dan melihat serentetan kekerasan anti-Kristen terburuk selama 700 tahun pada musim panas ini. Lalu, di Suriah, tempat para jihadis membunuh orang-orang Kristen dan mengubur mereka di kuburan massal. Para pengikut Yesus selain menghadapi kekerasan, juga menghadapi jumlah gereja yang menurun dan terpecah-pecah. Orang Kristen kini hanya mencapai lima persen dari populasi Timur Tengah, turun dari 20 persen pada abad lalu. Banyak orang Kristen Arab marah bahwa Barat tidak berbuat lebih banyak untuk membantu.
Meskipun banyak orang Muslim dibesarkan dengan teman-teman Kristen, kekuatan politik dan sosial yang kuat telah membuat koeksistensi tersebut lebih sulit. Saat politik Islam mendapat dukungan, orang-orang Kristen tidak dapat lagi menemukan perlindungan dalam identitas Arab bersama dengan tetangga Muslim mereka. Mereka malahan makin terdampar oleh penekanan pada identitas keagamaan. Seruan agar mereka mendapat hak kewarganegaraan yang sama diselingi dengan cerita-cerita dari ekstremis Islam yang memaksa orang Kristen masuk Islam atau membayar pajak selangit. Dan, banyak orang Muslim sendiri juga menghadapi penganiayaan saat pergolakan Arab pada 2011 terus berlangsung di seluruh wilayah dan negara-negara yang berusaha menemukan keseimbangan antara kebebasan dan stabilitas.
“Apa pun yang terjadi, sangat sulit untuk mengembalikan kondisi seperti dahulu,” kata Fiona McCallum, pakar Kristen Timur Tengah di University of St Andrews di Skotlandia.
Sejak Abad Pertama
Yang pasti, orang Kristen telah dihadapkan masa sulit sebelumnya, dari pembunuhan pengikut langsung Yesus pada abad pertama hingga penindasan kaum Mamluk terhadap orang Kristen sejak abad ke-13, juga munculnya aktivitas militan Islam di Mesir pada 1970-an. Prajurit dari Eropa yang membawa nama Kristus juga harus bertanggung jawab atas kekerasan antaragama mengerikan selama Perang Salib Pertama pada tahun 1099, ketika orang-orang Kristen mengambil alih Yerusalem dan membantai hampir semua warga kota.
Apakah peristiwa-peristiwa ini adalah bukti lain surutnya aliran sejarah Kristen atau sesuatu yang lebih mendasar kita belum pasti. Tapi, yang jelas orang Muslim dan Kristen, saat mereka dalam posisi minoritas, cenderung akan terpengaruh oleh penurunan lanjutan.
Orang Kristen secara tradisional menjalankan beberapa sekolah terbaik di kawasan itu, menjadi pedagang, dan membawa pengaruh moderat kepada masyarakat dan politik. Yang telah menyebabkan tidak hanya orang Kristen dan aktivis hak asasi manusia untuk melobi untuk pelestarian komunitas ini, tetapi beberapa pemimpin Muslim juga.
“Perlindungan terhadap hak-hak orang Kristen adalah kewajiban, bukan sekadar kerelaan,” kata Raja Yordania, Abdullah pada September 2013, saat ia berbicara kepada para delegasi pada konferensi yang disponsori istana tentang “Penganiayaan Kristen Arab”. “Orang Kristen selalu memainkan peran kunci dalam membangun masyarakat kita dan membela bangsa kita.” (bersambung) (csmonitor.com)
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...