Asap dan Teologi Lingkungan
SATUHARAPAN.COM - Merevitalisasi teologi di bidang lingkungan menjadi pemikiran dan tindakan yang amat penting untuk menghadapi serangan massif kabut asap. Kepulan asap yang tak kunjung tertangani sudah bermetamorfosa menjadi bencana kemanusian. Korbannya, ratusan ribu penderita ISPA dan menelan korban meninggal dunia. Bahkan, beberapa hari terakhir, saat tulisan ini dibuat, udara kota Medan semakin tidak sehat dan jarak pandang hanya 100 meter.
Seiring dengan itu, pimpinan gereja-gereja Kristen Protestan di Sumatera Utara, yang tergabung dalam United Evangelical Mission (UEM), pada hari Jumat (2/10/2015) sudah meminta pemerintah menetapkan bencana asap sebagai bencana nasional. Seruan profetik ini disampaikan tujuh pimpinan gereja yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Banua Niha Keriso Protestan (BNKP), Huria Kristen Indonesia (HKI), Gereja Kristen Pakpak Angkola (GKPA), Gereja Batak Karo Protetan (GBKP) dan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Dalam pernyataan sikap yang mengambil tajuk “Melawan Asap, Melawan Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan,” para pimpinan gereja yang diwakili Ephorus HKBP Pdt Willem TP Simarmata menyerukan kebakaran hutan sudah terjadi di 12 provinsi. Kerugian mencapai ratusan triliunan rupiah dan hilangnya kehidupan yang tercipta ratusan tahun dalam ekosistem hutan. Kebakaran hutan juga menghancurkan sumber pangan utama masyarakat di sekitar hutan.
Empat alasan
Ada empat alasan mengapa bangsa ini membutuhkan teologi lingkungan untuk mencegah berulangnya bencana kabut asap. Yakni pertama, sadar lingkungan. Keikutsertaan para pimpinan gereja sangat diharapkan dalam gerakan sadar lingkungan. Sumbangan pikiran dan dukungan mereka sangat dibutuhkan untuk membuat gerakan go green menjadi lebih luas dan mengakar di masyarakat. Keterlibatan para tokoh gereja dan rohaniwan lainnya akan turut memberi corak dan warna bagi perjuangan dan pengawalan pelestarian lingkungan hidup. Pengaruh pemikiran yang diberikan kepada jemaat akan dimaknai sebagai support bagi gerakan-gerakan lingkungan, yang selama ini masih digerbongi oleh kalangan LSM. Para enviromentalis ini perlu dukungan teologis dari perspeksif agama.
Kedua, posisi tanpa beban. Saatnya Gereja membuat sikap yang kritis dan hadir atas kondisi yang terjadi belakangan ini untuk memaknai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) setelah 15 tahun mendatang. Dengan kekuatan moral yang dimiliki pimpinan Gereja, mereka mampu berlayar di atas kepentingan politik penguasa dan pengusaha “hitam” yang tengah merusak lingkungan. Mereka pada posisi dengan tanpa beban berdiri di seberang sebagai tiang api moralitas, untuk memperdengarkan suara kenabiannya.
Keberpihakan Gereja kepada kaum miskin, para korban akibat perusakan lingkungan dan pembakaran hutan yang menetaskan kabut asap berkelanjutan, akan selalu mengingatkan bahwa ”jeritan ketidakadilan sebagai dosa sosial sulit diampuni di surga”. Gereja harus selalu peduli terhadap mereka yang ”kecil”, yang disingkirkan, baik melalui contoh kehidupan konkret maupun ajaran sosial, misalnya soal perubahan iklim yang sudah memantik krisis pangan, air dan energi.
Ketiga, bersifat eksploitatif. Dibutuhkan pandangan yang mendasar menganai hubungan sumberdaya alam dan makhluk hidup. Selama ini sebagian manusia tidak peka terhadap terjadinya kerusakan lingkungan di sekitar kita. Meski berbagai konferensi tingkat dunia sudah digelar untuk meningkatkan kesadaran kita memelihara bumi sebagai rumah bersama, pengalaman menunjukkan lingkungan hidup dan planet bumi semakin meradang menderita sakit. Sakitnya planet bumi itu disebabkan oleh ulah manusia sendiri yaitu dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alam. Cara memanfaatkan dan mengelola lingkungan cenderung bersifat eksploitatif dan destruktif. Maka proses pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan mengandung aspek pengrusakan lingkungan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Keempat, krisis pangan. Kecenderungan aliran sebagian pemikiran teologi yang membenarkan hubungan eksploitasi sumberdaya alam dengan keberlanjutan kehidupan manusia. Pemikiran teologi seperti ini kurang melakukan peran kritis dalam menyikapi menurunnya fungsi hutan sebagai sumber kehidupan. Terlebih saat ini ketika di seluruh dunia masih dibayangi ancaman krisis finansial global. Krisis ini bertambah berat karena diikuti persoalan serius terkait dengan degradasi sumber daya alam, krisis pangan, energi dan air.
Di Indonesia tantangannya lebih berat lagi di tengah model pembangunan ekonomi yang dikembangkan cenderung bersifat ekstraktif terhadap sumber daya alam dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari terasa semakin jauh dari yang diharapkan. Eksploitasi sumber daya alam yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat namun tidak diimbangi oleh upaya konservasi tampak mulai menampilkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup.
Pembakaran lahan dan hutan yang menetaskan bencana asap hanyalah sebagian dari sekian banyak isu lingkungan yang demikian pelik untuk diperhatikan yang tidak hanya bersifat lokal tetapi global. Pemanasan global misalnya tidak hanya mengancam pembangunan berkelanjutan, tetapi juga menjadi monster yang setiap saat dapat mendatangkan bencana bagi hidup dan kehidupan manusia.
Babak baru
Kajian tentang peran lingkungan hidup untuk kehidupan manusia sudah dimulai sejak tahun 1960-an dan tahun 1972, ketika PBB menyelenggarakan konferensi tentang lingkungan hidup (United Nation Conference on the Human Environment) di Stokholm, yang mengangkat isu tentang kerusakan lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan semakin kuat diperdengarkan pasca konferensi Stokholm, yang mendorong diadakan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg dan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim 2007 di Bali. Sayangnya, pasca KTT, kerusakan lingkungan hidup bukan berkurang namun bertambah-tambah. Dampak negatifnya sudah dapat dirasakan masyarakat.
Para petani di sejumlah daerah misalnya sudah sering mengalami gagal panen karena musim kemarau lebih lama dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Berbagai bencana lingkungan semacam ini kian kerap terjadi dan seolah-olah menjadi sebuah siklus yang harus dihadapi petani. Perubahan iklim sudah terjadi karena suhu permukaan laut naik secara bermakna. Secara hipotetik semakin tinggi suhu permukaan laut – yang diakibatkan tingginya kadar CO2 di selubung atmosfer – akan diikuti semakin sering terjadi angin topan dan musim kemarau yang amat panjang.
Perubahan iklim yang terjadi tidak bisa dipungkiri disebabkan oleh aktivitas manusia. Perusakan alam (baca:hutan) bukan sekedar nafsu keserakahan manusia modern untuk meningkatkan konsumsi, melainkan anehnya juga berdasarkan suatu legitimasi religious. Meski manusia penerima mandat yang diberi kuasa untuk mengatur alam (Kejadian 1: 28), ia bukan pemilik yang semena-mena memeras madu sumberdaya alam untuk pemuas dahaga kerakusannya. Sesungguhnya kitab Kejadian menggambarkan suatu suasana damai kehidupan manusia bersama alam sekitarnya. Dominasi manusia atas alam merupakan dominasi pengawasan, bak seorang gembala terhadap domba-dombanya.
Pandangan agama Kristen bahwa Allah telah menciptakan alam semesta dalam waktu enam hari lamanya dengan tujuan untuk menunjukkan kepada manusia bahwa segala sesuatunya telah dipersiapkan bagi kehidupannya adalah benar adanya. Sayangnya, manusia tidak punya rasa terimakasih sehingga mereka merusak rumah bersama yang telah diciptakan-Nya. Sekedar menyebut contoh, korporasi pemilik modal meraup untung besar dari hasil hutan dan perkebunan kelapa sawit. Tetapi masyarakat sekitar mengalami ancaman bencana kabut asap yang menyesakkan nafas.
Seiring dengan itu, pemikiran teologi harus menghadirkan babak baru. Teologi yang ada kerap tidak mendukung kepedulian dan kesadaran mengenai penyelamatan lingkungan secara berkelanjutan. Untuk itu diharapkan lahir sebuah gerakan teologi lingkungan yang memberi orientasi pandangan baru untuk menetaskan ekonomi hijau (green economy) yang memberi tempat lebih baik dan terhormat kepada sumberdaya alam yang sifatnya terbatas itu.
Pemikiran ulang tentang teologi ini dapat menjadi ujung tombak bagi munculnya sebuah etika lingkungan yang dibutuhkan saat ini. Hutan tidak lagi dijadikan semata objek ekploitasi untuk pembukaan lahan baru perkebunan sawit dan pertambangan batu bara. Alam yang semula menjadi objek semata, kini harus diposisikan sebagai mitra kerja yang harus dihormati dan dijaga keutuhannya.
Pemerintah Indonesia patut belajar dari sejumlah negara maju yang telah menerapkan ekonomi hijau, sumberdaya alam tidak disubordinasikan dalam kepentingan bisnis – tidak ada lagi ruang bagi pengusaha bergaya kapitalisme yang merusak lingkungan – tetapi disejajarkan dengan kehidupan manusia itu sendiri. Babak baru ini harus disambut sebagai upaya mencerahi tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030 dalam rangka pembangunan yang pro-poor tanpa merusak lingkungan.
Penulis adalah Guru Besar Tetap di Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Anggota Majelis Gereja HKBP di Medan.
Israel dan Hamas Hampir Mencapai Kesepakatan Gencatan Senjat...
KAIRO, SATUHARAPAN.COM-Israel dan Hamas tampaknya hampir mencapai kesepakatan gencatan senjata yang ...