Silang Sengkarut Rumah Ibadah
SATUHARAPAN.COM – Jaminan konstitusi beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, pada dasarnya menyiratkan jaminan mendirikan rumah ibadah yang tidak boleh dibatasi oleh negara. Pembatasan pendirian rumah ibadah hanya dilakukan semata-mata untuk tujuan melindungi keselamatan publik, social order, kesehatan publik, moral publik dan HAM orang lain.
Dengan alasan tersebut agaknya Peraturan Bersama Menteri (PBM) dikeluarkan. Dalam PBM disebutkan: “Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.” Namun rumusan indah itu masih menyisakan banyak, bahkan seringkali memicu kekerasan dan pengerusakan/ pembakaran oleh sekelompok intoleran dengan alasan IMB. Apa yang salah di negeri multiwajah ini dalam kaitan pendirian rumah ibadah?
Lensa Persoalan
Meskipun di republik ini pemerintah melalui Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri telah dua kali mengeluarkan peraturan bersama tentang pendirian rumah ibadah, namun peraturan bersama tersebut tidak cukup efektif menjadi “guide line” bagi umat beragama mendirikan bangunan yang dianggap suci tersebut. Demikianpun, lahirnya kesepakatan dua menteri dimaksud selalu dilatar belakangi munculnya sengketa bahkan pengerusakan rumah ibadah, utamanya rumah ibadah kelompok non muslim.
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri bernomor 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh pemeluk-pemeluknya, lahir dalam rangka merespon kasus sengketa rumah ibadah dan kecurigaan lainnya yang berakhir pada pembakaran/pengerusakan rumah ibadah yang terus marak, khususnya terhadap gereja-gereja pada 1967.
Sebagaimana diketahui bersama setelah Mendagri mengeluarkan surat keputusan pelarangan pertunjukan kebudayan China, disusul kemudian surat edaran Mendagri tahun 1969 yang secara ekplisit menyebutkan agama-agama yang ada di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Ini dengan sendirinya menghapus Konghucu dari daftar agama resmi di Indonesia, ditambah dengan kuatnya efek peristiwa G.30 S, beragama yang “diakui” menjadi sangat mutlak untuk hidup di Indonesia. Para penganut Konghucu memilih pindah secara besar-besaran ke agama Kristen (Protestan dan Katolik).
Perpindahan pemeluk Konghucu dan lainnya ke agama Kristen telah mendongkrak jumlah umat Kristen dari semula hanya sekitar 2-3 % menjadi 6-7 %. Perubahan angka tersebut menimbulkan kecurigaan yang mendalam kelompok Muslim dengan isu utama “Kristenisasi” dan atau pemurtadan.
Respon negatif yang ditunjukkan adalah untuk pertama kalinya di era Orde Baru kelompok intoleran Muslim di Meulaboh Aceh membakar sebuah gereja, disusul kemudian 20 gereja (milik Protestan dan Katolik) di Makasar, disusul dengan tindakan sama di beberapa daerah (Mujibburahman 2008). Melissa Crouch menyebutkan pasca dikeluarkannya peraturan bersama menteri No.01/1969 dimaksud, setidaknya terdapat 450 gereja yang dibakar di zaman Soeharto. Hal ini menunjukkan bahwa SKB No 1/1969 tidaklah efektif untuk meredam sengketa rumah ibadah di Indonesia.
Setelah Presiden Soeharto lengser, era transisi yang mencekam selain terjadi berkali-kali insiden pembakaran gereja, juga terjadi pembakaran terhadap masjid antara lain disebabkan konflik di Ambon dan Poso juga pembakaran masjid milik kelompok Ahmadiyah dan kelompok Syi’ah di beberapa daerah. Dalam risetnya Crouch menulis, pada era presiden Habibi terdapat 156 buah gereja yang dibakar, era Presiden Gus Dur terdapat 232 buah gereja yang dibakar/dirusak. Era presiden Megawati terdapat 92 buah gereja dan pada era Presiden SBY terdapat tidak kurang 500 buah gereja dan masjid yang dibakar oleh kelompok-kelompok intoleran. Atas alasan itulah barangkali Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri merevisi SKB menjadi PBM dengan nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang salah satu isunya mengatur pendirian rumah ibadah.
Apa yang salah dengan SKB/PBM?
Sebagaimana telah disebutkan di atas, meskipun PBM secara eksplisit menyebutkan persyaratan teknis pendirian rumah ibadah dengan ketentuan (1) daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. (2) dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. (3) rekomendasi tertulis Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Dan (4) rekomendasi tertulis FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Kabupaten/Kota.
Juklak dan juknis yang demikian gamblang tidak cukup mampu memberikan petunjuk bagi umat beragama dalam pendirian rumah ibadah. Tidak cukup sampai disitu, terkait dengan 90 daftar nama, ketentuan menjelaskan jika tidak terpenuhi dalam satu kelurahan atau desa, bisa menggabungkan dua desa atau lebih sesuai batas wilayah. Namun lagi-lagi peraturan tersebut tidak cukup ampuh untuk memberikan kemudahan kelompok “minoritas” dalam mendirikan rumah ibadah.
Pengalaman advokasi menunjukkan setelah kelompok beragama, utamanya non Muslim mau mendirikan rumah ibadah, setelah mereka memenuhi persyaratan poin (1 & 2) dan hendak mengurus syarat poin (3 & 4). Pejabat berwenang tidak serta merta mudah mengeluarkan rekomendasi tersebut. Dan entah darimana tiba-tiba muncul kelompok intoleran yang mengatasnamakan peduli ini dan itu memprotes. Setelah dengan menunggu lama akhirnya rekomendasi keluar. Kelompok-kelompok intoleran mulai menggelar aksi penolakan, dengan alasan umatnya tidak mencukupi dan mendatangkannya dari daerah lain.
Bergulirlah isu umum tanda tangan palsu, umat fiktif dan utamanya isu pemurtadan kembali menguat. Mengingat sulitnya mendapatkan IMB, kelompok “minoritas” karena kebutuhan kebaktian, mereka memakai gedung bukan rumah ibadah untuk ibadah. Tidak lama kemudian muncul tuduhan non muslim melakukan kebaktian tidak sesuai aturan. Tidak jarang kemudian akademisi atau mungkin pakar hukum intoleran akan menyatakan: mereka menggunakan bangunan tidak sesuai peruntukkan.
Jika kemudian karena kebutuhan mendesak non muslim dimaksud terpaksa membangun rumah ibadah tanpa IMB, kelompok intoleran kembali bereaksi dengan mengultimatum, harus menghentikan ibadah atau harus membongkar gereja dengan alasan IMB. Padahal sudah menjadi rahasia umum rumah ibadah di Indonesia utamanya masjid lebih 85% tidak memiliki IMB sebagaimana dilansir oleh Komnas HAM RI.
Merespon ketegangan tersebut, gubernur, atau bupati dan walikota dengan melibatkan FKUB dan tokoh-tokoh dari berbagai agama kemudian menggelar musyawarah. Beberapa keputusan yang muncul umumnya: Pertama, memberi tenggat waktu kepada pemilik rumah ibadah untuk membongkar sendiri. Kedua, jika keputusan ternyata menguatkan kelompok non-muslim dan mensyaratkan agar rumah ibadah bersangkutan tetap berdidi, hasil keputusan musyawarah diserahkan kembali kepada masyarakat. Sehingga kasus penyelesaian pendirian rumah ibadah akan selalu dalam lingkaran setan yang terus berbelit.
Membangun habitus
Awal pemerintahah Jokowi pernah ada wacana hendak mencabut peraturan bersama menteri tentang pendirian rumah ibadah. Sependapat dengan usulan tersebut, bagi saya yang terpenting bukanlah pada aturan teknis bagaimana rumah ibadah dibangun sepanjang tidak bertentangan dengan tata ruang. Namun yang perlu dan mendesak dilakukan adalah membangun habitus bertoleransi. Secanggih apapun peraturan dibuat, jika masyarakatnya memang intoleran, akan selalu ada alasan untuk menolak pendirian rumah ibadah meskipun berdasarkan kebutuhan nyata.
Yang harus dilakukan pertama, membangun habitus bertoleransi diperlukan persiapan pendidikan berkarakter. Karakter apa yang dibutuhkan untuk membetuk etos bangsa plural? Ia ditandai dengan integritas, komitmen, kompeten di bidangnya, tanggungjawab, terbuka, toleran peduli sesama dan terampil dalam resolusi konflik.
Pendidikan sangat berperan membangun generasi berkarakter toleran, persoalannya sudahkah pendidikan kita berkarakter? Atau jangan-jangan pendidikan dan guru-guru agama kita selama ini hanya memupuk doktrin kebencian atas yang berbeda dengan dalih melindungi agamanya.
Kedua, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah bersikap tegas terhadap penegakkan hukum pada pelaku pengerusakan, dan tidak sekedar mengedepankan politik perukunan. Tanpa itu, sengketa rumah ibadah akan terus menghantui kita.
Penulis adalah Ketua Divisi Riset dan Substansi Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Jakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...