Depok Harus Miliki “Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas”
DEPOK, SATUHARAPAN.COM – Para pembedah buku yang menganalisis isi buku “Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas” mengapresiasi para penulis yang telah mencurahkan waktu karena buku ini penting sebagai referensi tidak hanya bagi gereja.
Salah satu analis yang membedah buku “Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas”, Dr. Lilie Suratminto, S.S., M.A. mengatakan demikian pada Sabtu (28/6) di Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Depok, Jawa Barat. “Buku ini patut juga dimiliki Pemerintah Kota Depok, karena demi kelestarian sosial humanisme . Karena pemerintah kota harus juga memiliki referensi sebelum mengambil kebijakan di bidang kebudayaan dan kearifan lokal,” kata Lilie Suratminto.
Saat ini penting karena beberapa waktu lalu sempat muncul beberapa peraturan daerah yang bernuansa diskriminatif di lingkungan kota Depok.
“Buku yang sarat dengan informasi tidak ternilai ini wajib dimiliki setiap warga Depok, baik yang asli maupun pendatang agar mereka mengapresiasi sejarah perkembangan kota Depok secara historis dan dinamis,” lanjut pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini (FIB UI).
Lilie berharap agar dengan adanya buku terbitan Badan Penerbit Kristen (BPK) Gunung Mulia ini maka akan mempertebal rasa toleransi dan memiliki bagi warga kota Depok.
“Karena dengan membaca buku ini diharapkan warga depok tidak melupakan budaya baik materiil maupun non materiil,” lanjut Lilie.
Buku Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas disusun bersama oleh Pendeta (Pdt) Hendrik Ongirwalu, M.Th, Pdt.Hallie Jonathans, dan Yano Jonathans. Buku ini merupakan salah satu buku yang dipersembahkan dalam rangka Hari Ulang Tahun ke-300 GPIB Immanuel, Depok sebagai upaya kecil memberikan penggambaran tentang pelayanan seorang Cornelis Chastelein di Depok, Jawa Barat, tetapi buku ini merupakan wujud nyata peran jemaat dalam masyarakat Depok yang terus-menerus membangun masa depannya.
Saat ini, menurut John Leirissa selaku Koordinator penyusunan dua buku, kedua buku tersebut masih dalam versi dummy atau belum dicetak secara massal, nantinya masih akan mendapat penambahan dan revisi.
Apresiasi serupa diberikan Pdt. Nancy Thelma Nisahpih Rehatta, M.Th. yang mengatakan buku ini mengajarkan nilai-nilai universal yang dapat diterima masyarakat luas. “Dia (Cornelis Chastelens) mengajarkan hidup damai kalau ada masalah selesiakan secara internal, jauhkan diri dari perbuatan amoral,” kata Nancy.
“Menjaga relasi penting terutama menjaga relasi ekosistem lingkungan, sesama, dan memperlakukan orang lain sebagai subyek, ini yang diambil dari nilai-nilai alkitab, namun Chastelaine tidak mengungkapkannya langsung bahwa ini datang dari Firman Tuhan,” lanjut Nancy.
Nancy memungkasi analisisnya dengan mengatakan saat ini tidak hanya kota Depok, akan tetapi bangsa Indonesia kekurangan nilai-nilai kearifan lokal dan budaya, sehingga jawabannya ada di buku “Melacak Jejak-Jejak Sang Pembebas” ini karena, menurut Nancy banyak nilai-nilai yang dapat diterapkan untuk masyarakat secara umum tanpa memandang latar belakang etnis, suku dan agama, seperti nilai-nilai ekologis, ekonomis, ketahanan sosial, pangan, dan lain sebagainya.
Cornelis Chastelein merupakan warga negara Belanda pendiri dan pembentuk masyarakat Depok. Dia mempunyai suatu obsesi sehingga menyusun surat wasiat atau testament untuk membentuk suatu masyarakat Kristen Depok, yang konon berasal dari budak yang dia bebaskan. Konon, Chastelein dikenal anti-perbudakan, karena menurut dewan gereja perbudakan bertentangan dengan ajaran Injil, khususnya bila budaknya beragama Kristen. Karena itu, hingga kematiannya pada 1714 tercatat sekitar 200 orang dibebaskan Chastelain atnara lain budak tersebut berasal dari berbagai suku di Indonesia: Bali, Ambon, Bugis, dan Sunda.
Dari perbudakan setelah memeluk Kristen Protestan. Terdapat 12 keluarga (marga) yang dibebaskan olehnya. Mereka inilah yang kelak populer dengan sebutan "Belanda Depok". Kelompok ini juga diklaim sebagai kelompok protestan pertama di timur.
Marga-marga keluarga yang dibawa Chastelein diukir di pintu-pintu gereja GPIB Immanuel Depok, rumah ibadah yang diresmikan sendiri oleh Chastelein. Kedua belas marga tersebut adalah: Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob, Zadokh.
Pada 1704 Chastelein kembali bekerja di VOC sebagai anggota dewan luar biasa. Baru pada 1708 ia diangkat sebagai anggota biasa hingga akhir hayatnya pada tahun 1714.
Chastelein menikah dengan Catharina van Quaelborg dan memiliki seorang putra, Anthony. Dia diketahui juga memiliki putri angkat berdarah campuran (Indo) bernama Maria.
Usaha penyusunan wasiat telah dibuat beberapa kali dan setiap kali diperbaiki, yaitu 4 Juli 1696, 11 Mei 1701, 17 Juli 1708, 21 Maret 1711 dan akhirnya yang terakhir selesai pada 13 Maret 1714.
Surat wasiat tersebut kemudian disahkan dengan resolutie "Van de Edele Hooge Regeringe van Nederlands Indie" pada 24 Juli 1714. Sesuai dengan hukum yang berlaku surat wasiat ini mulai berlaku sejak wafatnya Coernelis Chastelein pada 28 Juni 1714, tanggal yang kemudian menjadi Hari Ulang Tahun Jemaat Masehi Depok.
Cornelis Chastelein dilahirkan pada 10 Agustus 1657 di Amsterdam. Beliau adalah anak ke-8 dan anak bungsu dari Anthony Chastelein, yang menjabat sebagai bewindhebber atau pimpinan dari Oost Indische Cpmpagnie di Amsterdam. Pada 24 Januari 1674 Cornelis Chastelein mengawali ke Oost Indie (Indonesia sekarang) dengan kapal "Huys Te Cleef" dan tiba di Batavia pada 16 Agustus 1674.
Editor : Bayu Probo
Uskup Suharyo: Semua Agama Ajarkan Kemanusiaan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan ap...