Di Istana Pilatus
Pilatus bertanya tentang kebenaran, tetapi telinganya tak begitu siap untuk mendengarkan kebenaran itu sendiri.
SATUHARAPAN.COM – Di istana Pilatus kita bisa menyaksikan terjadinya perubahan status, Pilatuslah yang menjadi terdakwanya. Dan dalam percakapan tersebut jelaslah bahwa Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah raja. Namun, Kerajaan-Nya bukanlah dari dunia ini. Dengan jelas pula Yesus menyatakan misi-Nya sebagai memberi kesaksian tentang kebenaran.
Pada percakapan itu sebenarnya terkandung undangan kepada Pilatus untuk juga menjadi saksi kebenaran. Namun, Pilatus tak melanjutkan percakapan itu, tetapi malah berbicara dengan dirinya sendiri: Apakah kebenaran itu?
Di sinilah mungkin persoalan besar Pilatus. Dia bertanya tentang kebenaran, tetapi telinganya tak begitu siap untuk mendengarkan kebenaran itu sendiri. Sehingga pertanyaan yang baik itu lenyap di udara. Pertanyaan yang baik perlu diajukan kepada orang yang tepat agar mendapatkan jawaban yang baik pula. Tetapi, yang juga perlu dipersiapkan ialah orang yang bertanya perlu mempersiapkan dirinya untuk menerima jawaban dari pertanyaannya itu.
Sekali lagi, di sinilah persoalan Pilatus; dia punya pertanyaan yang baik, sayangnya dia menujukannya kepada dirinya sendiri. Atau, dia mencoba bertanya kepada orang yang tepat. Namun, masalahnya Pilatus meninggalkan Yesus tersebut. Sayang memang.
Tindakan Pilatus itu, pada hemat saya, membuatnya menjadi ragu dalam mengambil keputusan. Ketika Pilatus mendengar bahwa orang-orang Yahudi itu menuntut hukuman mati, Pilatus, orang yang begitu berkuasa, malah menjadi ketakutan.
Ketika Pilatus mendengar perkataan itu bertambah takutlah ia, lalu ia masuk pula ke dalam gedung pengadilan dan berkata kepada Yesus: "Dari manakah asal-Mu?" Tetapi Yesus tidak memberi jawab kepadanya. Maka kata Pilatus kepada-Nya: "Tidakkah Engkau mau bicara dengan aku? Tidakkah Engkau tahu, bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau, dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?" Yesus menjawab: "Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas. Sebab itu: dia, yang menyerahkan Aku kepadamu, lebih besar dosanya." (Yoh. 19:8-11).
Dan Yesus pun diam. Mengapa? Karena Pilatus memang lebih senang mendengarkan suaranya sendiri ketimbang lawan bicaranya, meski sang lawan bicara telah bertindak sebagai kawan bicara.
Pertanyataannya sekarang ialah siapa yang lebih kita dengarkan suara orang lain atau hati nurani kita sendiri? Mungkin tak terlalu sulit menjawabnya. Sebagai pribadi merdeka, tentu kita lebih ingin mengikuti kehendak pribadi ketimbang ikut-ikutan orang lain. Tetapi, di sini persoalannya, apakah yang akan kita ikuti: hati nurani atau suara Tuhan? Mungkin serentak kita berkomentar: bukankah hati nurani ialah suara Tuhan? Jawabannya, belum tentu! Bagaimanapun setulus-tulusnya hati nurani, itu tetap keluar dari keberdosaan manusia.
Bukankah itu juga yang ada di benak Pilatus. Dia sungguh ingin membebaskan Yesus. Bahkan membuat referendum—pilih Yesus atau Barabas? Nuraninya benar, tetapi ketika menggugu dengan nurani sendiri—ujung-ujungnya adalah diri sendiri, Pilatus malah membuat blunder dan akhirnya menyerah kepada kemauan orang banyak!
Ketika Pilatus mulai kesal dan mempersoalkan kuasa, Yesus menegaskan bahwa Allah lebih berkuasa dari diri Pilatus. Perhatikan bahwa Yesus berbicara soal kuasa. Kuasa dalam pandangan Yesus adalah amanat, tanggung jawab, untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Selanjutnya penulis Injil Yohanes tidak mencatat kata-kata Yesus lagi. Sebab, meskipun kata-kata Yesus terdengar, maka pastilah tenggelam dengan terikan massa yang menuntut penyaliban Sang Guru dari Nazaret.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor : Yoel M Indrasmoro
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...