George Saa: Masalah Masa Lalu Papua Harus Diselesaikan
BIRMINGHAM/JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Salah satu kunci untuk menyelesaikan masalah Papua, menurut Septinus George Saa, adalah menyelesaikan masalah-masalah di masa lalu. Sebagai akademisi, ia menilai ada yang 'cacat' dalam proses integrasi Papua ke dalam Indonesia. Menurut dia, Papua dimasukkan ke dalam Indonesia melalui skema pemaksaan integrasi dan yang di-justify dengan pembunuhan massal, penghilangan orang Papua hingga pembunuhan tokoh Papua terang-terangan, seperti Arnold Ap, Theys Eluay dan tokoh lainnya
George Saa, salah satu putra kebanggaan Papua itu, saat berhasil memenangilomba First Step to Nobel Prize in Physics (2004) mengatakannya dalam wawancara dengan satuharapan.com (18/02).
Koordinator Lingkar Studi Papua (LSP) Inggris itu kini tengah berada di Birmingham untuk menyelesaikan studi S2-nya di bidang Mechanical Engineering di University of Birmingham dan meluangkan waktu wawancara lewat Line.
Ini adalah bagian ketiga dari lima bagian wawancara dengannya. Bagian pertama berjudul Wawancara George Saa tentang Asmat, Papua dan Aspirasi Merdeka, bagian kedua berjudul George Saa: Orang Papua Didiskriminasi Dimana-mana, bagian keempat, George Saa: RI Sebaiknya Berunding dengan Semua Kelompok di Papua dan bagian kelima, George Saa: Orang Papua harus Ikut Bangun RI
Satuharapan.com Di Papua dewasa ini masih muncul gerakan yang memperjuangkan penentuan nasib sendiri Papua. Sejauh mana George melihat relevansinya untuk Papua?
Septinus George Saa: Masih relevan dan akan berlanjut.
Apa alasannya?
Pemerintah Indonesia ini pasti yakin kalau aspirasi perjuangan penentuan nasib sendiri Papua ini akan makin berlanjut dan akan masuk babak berikut yang jauh lebih menarik.
Bagi George sendiri apa alasan utama sehingga ada orang Papua ingin merdeka?
Saya akan coba jawab dari sisi akademis. Dari sisi akademis, sejarah integrasi Papua ini banyak cacat hukumnya. Banyak juga pembelokan fakta. Dan pembunuhan massal di atas tahun 65-70an hingga 80an, ini di Tanah Papua terjadi. Papua dimasukkan ke dalam Indonesia itu melalui skema pemaksaan integrasi dan yang di-justify dengan pembunuhan massal, penghilangan orang Papua hingga pembunuhan tokoh Papua terang-terangan, contoh Arnold Ap, Theys Eluay dan tokoh lainnya.
Jadi tuntutan untuk merdeka itu bukan hanya karena ketidakpuasan terhadap Jakarta, tetapi karena alasan sejarah?
Indonesia, Jakarta, Papua, semua ini kan kami dan tiap-tiap ini memiliki masalah sendiri. Masalah yang bangsa Indonesia kita sedang hadapi ini juga rumit yang berdampak juga terhadap Papua. Apa yang Papua alami saat ini juga merupakan cermin dari apa yang bangsa Indonesia alami saat ini dalam menghadapi tantangan global dunia. Yang tidak puas terhadap Jakarta, bukan Papua saja, saya pikir daerah lain juga banyak, namun ini kan hal biasa dalam suatu negara majemuk seperti RI ini.
Darimana selama ini George mengetahui sejarah ini, mengingat setahu kami hal itu tidak diajarkan di sekolah-sekolah RI?
Saya ini orang Indonesia dan saya suku bangsa Papua, etnik Papua-Melanesia. Apa yang banyak dari kami alami dan pahami dari sejarah ini, semua pengalaman kolektif yang kami alami secara alamiah saja, lewat tutur, lewat cerita di masyarakat, lewat cerita-cerita dapur rumah, di dapur keluarga sebelah, yang jelas tidak di sekolah.
Papua di tahun 1990-an, 2000an, ini tahun-tahun dimana momennya upaya pelurusan sejarah terjadi sehingga saya nilai ada terjadi proses edukasi yang tidak di tutup-tutupi karena saat itu masih sedikit longgar oleh mantan presiden Gus Dur.
Mungkin ini yang bisa saya pahami, mengapa saya paham sejarah. Namun lagi-lagi sejarah ini kan interpretasi, dan apapun yang ditulis, yang tidak ditulis, dan yang missing, ini yang justru membuat menarik untuk cermati, di cari tahu, di pelajari, disimak juga diperjuangkan agar kita hidup kedepan dengan suatu penggalan sejarah yang benar.
Jika keinginan untuk merdeka orang Papua hanya dipicu oleh ketidakpuasan, dengan pembangunan yang dilakukan pemerintah mungkin bisa menjawab. Tetapi kalau alasannya soal pelurusan sejarah, itu lebih berat lagi. Sampai kapanpun kemungkinan tidak selesai, kecuali ada dialog untuk meluruskannya. Bagaimana menurut George?
Saya tidak tahu dan saya tidak ikut dalam mengurus hal-hal politis karena di luar dari jalur bidang disiplin ilmu. Saya hanya bisa kasih masukan dan kritik, begini. Kata 'sampai kapanpun' ini adalah kata yang sudah sering muncul saat orang berdebat tentang sejarah Papua. Ini kan perkataan orang-orang pragmatis dan populis. Memang wajar menurut saya, karena alasannya cuma satu, negara, wakil negara, pemimpin negara, bangsa ini, pada dasarnya memang mau tutup mata, dan maunya pikir masa depan, masa depan Indonesia. Padahal syarat kita bisa jadi bangsa besar, bersatu, teguh, kalau masalah di masa lalu diselesaikan. Masalah sejarah ini adalah opsi terakhir untuk menyelesaikan masalah Papua di mata official government Indonesia, sedangkan orang Papua tahu persis ini opsi pertama inilah yang harus dibicarakan sebelum membicarakan pembangunan. We cannot justify development and unity by killing. Ada sesuatu yang salah pada sejarah masa silam Papua. Ini yang wrong! Di Papua itu ada sentilan begini, “sebenarnya kami orang Papua itu sudah tahu kalau kami ini sakit malaria, tetapi Jakarta merasa lebih tahu jadi mereka bilang, Ah itu cuman demam biasa jadi nanti minum paracetamol saja nanti sehat kembali.”
Editor : Eben E. Siadari
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...