Internet, Hoax dan Demokratisasi Pengetahuan
Ribut-ribut berita HOAX akhir-akhir ini makin memperlihatkan betapa hebatnya pengaruh media sosial. Memang butuh aturan yang jelas, tanpa harus mengorbankan semangat awalnya, yakni upaya demokratisasi pengetahuan.
SATUHARAPAN.COM - Sebuah video yang diunggah di situs jejaring sosial Facebok berhasil memicu gelombang demonstrasi dari beberapa kelompok yang menggunakan simbol-simbol agama. Video itu berisi cuplikan sambutan Ahok di Kepulauan Seribu. Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab dilaporkan Soekmawati Soekarnoputri ke Bareskrim Polri atas tuduhan telah menghina Pancasila melalui sebuah video yang beredar di situs youtube. Sejumlah aktivis dan tokoh nasional pada 2 Desember 2016 lalu ditangkap Polisi dengan dugaan upaya makar dan pelanggaran Undang-Undang ITE.
Itulah beberapa fakta bagaimana internet dengan situs-situs media sosialnya telah menjadi bagian dari masyarakat kita. Saya tidak akan mengulas proses hukum terhadap kasus-kasus yang sekarang sedang menjadi viral di medsos itu. Perhatian saya pada hal lain, yaitu kekuatan internet dan perangkat-perangkat teknologi digital dalam mempengaruhi kebudayaan masyarakat, terutama dalam hal demokratisasi pengetahuan.
Negara dan Internet
Negara atau lebih tepatnya pemerintah Indonesia tidak dapat menghindar dari dampak revolusi informasi yang berkembang cepat pada abad 21 ini. Inilah bukti kekuatan internet. Ia mempengaruhi pemerintah dalam banyak hal. Pemerintah Indonesia melalui perangkat-perangkanya harus dibuat sibuk dengan apa yang disebut Menteri Koordinator (Menko) bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto, “serangan-serangan siber”. Untuk menangkal itu, maka menurut Wiranto dalam waktu dekat akan dibentuk Badan Cyber Nasional (BCN) (beritasatu.com, 17 Januari 2017).
Semua itu adalah bagian dari gejala perubahan besar dalam hal berkomunikasi masyarakat dunia. Inilah era serba elektronik, era kebudayaan digital. Kita lihat kode-kode yang semakin umum digunakan orang untuk menunjuk pada praktek berkomunikasi dan berelasi secara elektronik atau online. Awalan ‘e’ (electronic) menjadi fenomena masyarakat di dunia komunikasi, misalnya ‘e-mail’, ‘e-commerce’, ‘e-learning’, ‘e-book’, ‘e-banking’, dll. Sebuah praktek yang relatif baru yang menunjuk pada kegiatan manusia dengan menggunakan perangkat yang dapat diakses melalui komputer atau perangkat elektronik lainnya yang saling terhubung melalui jaringan internet.
Kasus-kasus yang disebutkan pada bagian awal tulisan ini hanyalah beberapa dari begitu banyak kasus yang diproses secara hukum yang TKP-nya (tempat kejadian perkara) adalah ‘laptop’, ‘smartphone’ atau ‘tablet’. Penyebaran kebencian dan kebohongan dilakukan dengan menggunakan perangkat-perangkat komunikasi yang terhubung jaringan internet.
Masyarakat mengkonsumsi informasi hoax yang memicu prasangka negatif dan kebencian. Pemerintah dibuat resah dengan sistem keamanan data perbankan, bea cukai, pajak dan lain sebagainya. Pertarungan antar kelompok politik, semisal dalam Pilkada dan Pilpres menemukan konteks yang baru: medsos digunakan untuk menggoganisir massa pendukung, menjadi sarana kampanye, juga perangkat yang jitu untuk saling melancarkan kampanye hitam. Pemerintah menjadi resah dengan gejala-gejala itu. Lalu, apakah solusinya adalah kontrol dan pengawasan ketat yang dapat membatasi kebebasan orang mengakses informasi?
Internet dan Demokratisasi Pengetahuan
Pemerintah, masyarakat bahkan agama-agama, apalagi media di negara ini tentu tidak dapat menolak dampak positif dari revolusi informasi ini. Perkembangan mutakhir ini bagaimanapun adalah bagian dari perkembangan kebudayaan dan peradaban masyarakat dunia. Pakar media Amerika, Bill Kovach dan Tom Rosentiel, dalam buku mereka Blur (2010/2012), selain membahas dampak-dampak mengkhawatirkan revolusi informasi ini, mereka juga menemukan harapan demokrasi yang lebih baik bagi masyarakat.
“Dampak bagus dari langkah-langkah tersebut ke depan adalah adanya lebih banyak informasi di tangan warga,” tulis Kovach dan Rosentiel.
Di era orde baru masyarakat mengkonsumsi informasi dari media terbatas, TVRI, RRI beberapa koran dan majalah yang semuanya di bawah kontrol ketat pemerintah. Tidak ada pilihan informasi yang beragam. Tidak ada arus lalulintas informasi yang sibuk. Karena sumber informasi terbatas, maka orang-orang tidak mengenal istilah berita atau informasi hoax, tidak ada diskursus kebenaran informasi dan pengetahuan. Jadinya, kesadaran kritis masyarakat tidak terbangun karena hidup di alam dunia komunikasi yang seolah-olah semua adalah benar adanya, padahal yang dikonsumsi adalah kebenaran satu versi, yaitu menurut rezim penguasa.
Benar, masyarakat kita sedang diperhadapkan dengan informasi-informasi bohong yang menyebar secara massif melalui medsos. Ini persoalan. Namun, kekuatan transformatif internet atau medsos saya kira lebih besar manfaatnya bagi masyarakat kita. Internet memungkinkan, seperti kata Kovach dan Rosentiel, lebih banyak informasi di tangan masyarakat.
Kita hampir tidak dapat menemukan di masa sebelum internet menjadi bagian kehidupan masyarakat, orang-orang di pelosok ikut terlibat mendiskusikan dengan kadar tertentu masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi. Namun di era digital ini, orang-orang dilibatkan dalam memikirkan masalah-masalah serius sejauh yang bisa dia jangkau. Artinya, pengetahuan semakin terbuka. Itu terjadi karena internet membuka ruang diskursus, semacam ruang publik.
Perkembangan peradaban ditentukan oleh perkembangan pengetahuan. Pengetahuan yang yang berkembang baik ditentukan oleh kemampuan dan jaminan kesempatan bagi masyarakat mengakses sumber-sumber informasi. Jika sekarang ini pemerintah atau masyarakat diperhadapkan dengan fenomena berita atau informasi hoax, maka menurut hemat saya ini adalah bagian dari masa transisi dalam proses adaptasi dengan kultur baru dalam hal berkomunikasi.
Pemerintah, agama-agama, institusi pendidikan, media dan institusi-institusi sosial lainnya memiliki tanggung jawab penting untuk melewat masa transisi ini, yaitu melalui edukasi dan pencerahan bagi masyarakat. Inilah cara cerdas untuk melawan hoax. Selain perlu terus dikembangkan ruang-ruang publik yang kondusif untuk diskursus pengetahuan. Demokratisasi pengetahuan akan memberi sumbangan penting bagi terciptanya masyarakat yang ramah dan toleran.
Penulis adalah Dosen di Fakultas Teologi UKIT dan pegiat di Jaringan Antar Iman Sulawesi Damai
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...