Kewarasan Pemilih
Proses pemilu, baik nasional maupun daerah, merupakan ajang untuk pembaruan politik secara damai. Dan itu sangat ditentukan oleh kewarasan pemilih.
SATUHARAPAN.COM - Proses Pilkada serentak gelombang kedua di beberapa daerah sebentar lagi berkulminasi pada pemberian suara. Demokrasi mengayomi hak pilih dan keputusan setiap warga berdasarkan piranti bebas, rahasia, jujur dan adil. Pertanyaan refleksif berikut mengusik nurani dan budi setiap insan demokrasi yang akan menggunakan hak pilihnya: Mengapa saya memilih kandidat atau partai ini, dan bukannya kandidat atau partai lain?
Manusia bukanlah mesin yang eksak. Proses pengambilan keputusan tidak selamanya variabel independen, bebas nilai dan nir-bias. Prinsip netralitas secara prinsipiil tidak beroperasi dalam zona ini.
Keputusan setiap pemilih lazimnya dipengaruhi dua motif dasariah yakni motif psikologis-emosional dan rasional (ekonomi-politik). Perasaaan, intuisi, rasio dan pengalaman serta iklim sekitar turut menentukan dan mengontrol banyak tindakan kita. Budi dan perasaan tak bisa diceraikan.
Acapkali ditakar secara simpel dan tidak akurat bahwa pertimbangan rasiolah yang terpenting untuk manusia demi tercapainya keputusan yang benar dan baik. Diktum ini hendak dinegasi pernyataan filsuf Perancis Blaise Pascal: “Hati (baca: Perasaan) mempunyai alasan-alasan yang tak dikenal oleh akal budi.”Tak mengherankan jika Panglima Perang Kerajaan Prusia, Carl von Clausewitz bersikukuh bahwa perasaan mendominasi setiap keputusan manusia.
Banyak pemilih sudah atau akan menjatuhkan pilihan berdasarkan gejolak hati dan perasaan. Model pilihan psikologis ini terlahir dari ikatan emosional dengan kandidat atau partai. Partai-partai besar baik di negara-negara demokrasi Barat maupun Indonesia memiliki basis massa tradisional lantaran telah sekian lama terjalin kerekatan historis dan emosional. Fenomen ini mengonstruksi kekorpsan, patriotisme partai dan identifikasi dengan partai berdasarkan pekik: „My party, right or wrong, my party!“ (Partaiku, benar atau salah, partaiku!). Benar atau salah, baik atau buruk, kandidat partai saya, orang seasal saya, seras dan seagama denganku, kenalan saya, dan sebagainya! Semboyan primordial, etnosentris dan kadang populistis tersebut berbau egoistis, sektaris, tidak fair dan acapkali kurang etis dengan memenjarakan kebenaran dan tujuan hidup bersama.
Semasa kampanye setiap kontestan pilkada getol memobilisasi pencitraan dan marketing politik serta pelbagai manuver demi menjaring ikatan emosional simpatisan. Secara tentatif lahan gambut utama pemasok suara disimpulkan berdasarkan asal-muasal, ras, golongan, kekeluargaan, pertemanan dan kekerabatan. Dengan dalih ini para pemilih dimobilisasi (going deep principle). Tim sukses dengan baik topangan basis finansial yang kuat maupun relawan bermodal kepercayaan tulen bergiat untuk memperluas cakupan lingkaran inti ini (going wide principle) dalam pendulangan suara
Seandainya sebelumnya telah terjadi praksis money-politic (termasuk janji kucuran dana), amal atau donasi serta obsesi secuil efori kehura-huraan, maka kiat pilihan emosional bersenggama dengan beban moril atau kewajiban balas budi. Andaikata para pemilih terpersuasi untuk memilih pada tataran ini, maka tidak perlu heran, jika kelak ditetas pemimpin yang korup. Gemuruh politik kandidat yang telah bersaldo minus kelak semasa pemerintahannya pasti akan digiatkan upaya permanen menutup lubang dan melunasi kredit baik pada lajur legal maupun ilegal.
Motif psikologis-emosional segera berunifikasi dengan pilihan rasional (ekonomi-politik) ketika para pemilih mengadopsi kepentingan pragmatis dan kalkulasi keuntungan di masa depan. Sebagai insan ekonomis (homo oeconomicus) setiap tindakan manusia selalu dilandasi pertimbangan budi seputar biaya, efisiensi dan manfaat atau konsekuensi logisnya yakni maksimalisasi keuntungan (profit). Pilihan yang bersifat subyektif dan didorong oleh mental dagang (marginal utility) demikian dalam skala Max Weber dipahat sebagai „Zweckrationalitaet“ (rasionalitas tujuan atau instrumental).
Pilihan rasional atau waras dalam neraca demokrasi juga menyandang corak evaluasi. Partai politik dan kandidat usungannya dipilih karena partai atau kandidat dimaksud prospektif dinilai lebih mampu menjawab masalah-masalah mendesak dalam masyarakat. Rasionalitas ini tentu tak terlepas dari pantauan seputar partai atau pemimpin yang berkuasa versus oposisi. Yang sedang bertengger di pucuk pemerintahan akan didukung jika terpantul kinerja dan prestasi yang baik. Sebaliknya jika figur tersebut gagal dan morat-marit, maka kredibilitas dan legitimasinya akan dicopot. Ia didepak dan posisinya diisi oleh oposan yang diharapkan membawa angin segar.
Motif kewarasan pemilih berpuncak pada pertimbangan obyektif kepentingan keadilan dan kesejahteraan umum (bonum commune). Bagi Weber pilihan ini berorientasi pada „Wertrationalitaet“ (rasionalitas nilai). Acuan penilaian ini tak lain dari pertautan antara kecerdasan emosional dan kekritisan rasional. Tentu fundamen pilihan ini tidak goyah di tengah janji-janji politik yang ekstasif dan tidak terkontaminasi oleh trik kampanye hitam yang hendak meminimalisasi elektabilitas kandidat yang kredibel, integral, kompeten dan memiliki program kerja yang realistis dan meyakinkan. Preferensi domain pilihan warga yang obyektif berdasarkan rasio-kognitif dan kebajikan emosional merupakan tolok ukur penting image etis-humanis, sensibilitas sosio-ekologis, akuntabilitas publik dan indikator kualitas kematangan berdemokrasi.
Penulis adalah Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat-Teologi Katolik SVD Sankt Augustin, Jerman
Editor : Trisno S Sutanto
Festival Film Berlin Tinggalkan Medsos X
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Festival Film Berlin menjadi festival film papan atas Eropa terbaru yang ...