Israel Hancurkan Lebih 100 Ribu Rumah Palestina
YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM – Israel menghancurkan 590 bangunan di Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, pada 2014 dan menggusur 1.177 orang, menurut studi baru oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA). Di Gaza, Israel menghancurkan lebih dari 100.000 rumah.
Ini merupakan level tertinggi perpindahan di Tepi Barat sejak PBB mulai memantau masalah ini pada 2008.
Amira Hass merangkum temuan laporan OCHA ini di Haaretz, Senin (1/2). Dia menunjukkan pada 2014, Administrasi Sipil Angkatan Pertahanan Israel menghancurkan 493 bangunan di Tepi Barat; rumah 969 warga Palestina di Tepi Barat; 97 bangunan di Yerusalem Timur; rumah 208 warga Palestina di Yerusalem Timur; dan rata-rata 9 bangunan Palestina per minggu.
Dalam tiga hari, 20-22 Januari, 77 warga Palestina, lebih dari setengah dari mereka adalah anak-anak, kehilangan tempat tinggal karena penghancuran tersebut. Hanya dalam satu minggu, 19-26 Januari, Israel menghancurkan 41 bangunan Palestina dan menghentikan pembangunan 45 konstruksi dan dua pembongkaran. Semua struktur itu dimiliki oleh orang Bedouin (Badui) dan masyarakat pastoral lainnya. Beberapa bangunan yang hancur itu pembangunannya dahulu adalah sumbangan organisasi kemanusiaan Eropa. Dan, Israel mengeluarkan perintah untuk menghentikan pembangunan di lokasi yang didanai oleh negara-negara donor asing.
Penghancuran semena-mena itu berlanjut ke 2015. Pada Januari saja, Israel menghancurkan 77 bangunan milik warga Palestina di Tepi Barat. Ini membuat 110 orang, kira-kira setengah dari mereka adalah anak-anak, menjadi tunawisma dalam dingin musim salju.
Koordinator Badan PBB untuk Perumahan dan Kemanusiaan (UN Resident and Humanitarian) James W Rawley berpendapat penghancuran ini melanggar hukum internasional. “Penghancuran yang mengakibatkan pengusiran paksa dan pemindahan manusia bertentangan dengan kewajiban Israel berdasarkan hukum internasional. Dan, ini menciptakan penderitaan yang tidak perlu dan ketegangan,” katanya. “Mereka harus segera dihentikan.”
OCHA menulis, dalam sebuah pernyataan resmi,
Kebijakan perencanaan yang diterapkan oleh Israel di Area C dan Yerusalem Timur merupakan diskriminasi terhadap warga Palestina, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan izin bangunan. Akibatnya, banyak warga Palestina membangun tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan perumahan mereka dan risiko bangunan mereka dihancurkan. Palestina harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam sistem perencanaan yang adil dan merata yang menjamin kebutuhan mereka terpenuhi.
Hass juga menekankan kenyataan bahwa Israel tidak mengizinkan warga Palestina membuat bangunan tambahan sesuai dengan pertumbuhan penduduk alami. Israel juga tidak mengizinkan menghubungkan ratusan komunitas yang berpenduduk sekitar 300.000 warga Palestina dengan berbagai infrastruktur. Ini membuat warga Palestina hanya punya tiga pilihan, katanya, yakni hidup dalam kondisi perumahan padat, miskin, dan kumuh, atau pindah ke Daerah A dan B dari Tepi Barat yang sulit untuk dilakukan dan mahal, atau mendirikan bangunan tanpa izin.
Mengingat kurangnya kesempatan dan sumber daya, sebagian besar warga Palestina tidak punya pilihan lain selain berulang kali membangun kembali rumah mereka tanpa izin, Hass menjelaskan.
Berdasarkan Perjanjian Oslo II pada 1995 wilayah Tepi Barat diklasifikasikan dalam tiga daerah. Daerah A, meliputi 18 persen wilayah adalah dalam wewenang Pemerintah Palestina. Daerah B, meliputi 22 persen wilayah Tepi Barat, secara pemerintahan sipil dikuasai pemerintah Palestina, tetapi kontrol keamanan dilakukan oleh Israel. Daerah C, 61 persen wilayah, dikuasai sepenuhnya oleh Israel.
Area C tetap berada di bawah kendali militer Israel, setelah Israel secara ilegal menduduki dalam perang tahun 1967. Pada Oktober 1998, Wye River Memorandum memerintahkan Israel menarik diri dari 13 persen dari Area C, namun, setelah hanya menarik pasukannya dari 2 persen dari tanah, Israel menduduki kembali semua itu dalam Operasi tahun 2002 “Defensive Shield”.
Hari ini, warga Palestina tidak memiliki kontrol atas 99 persen dari Area C-61 persen dari seluruh Tepi Barat. Ini adalah wilayah di mana sumber daya alami di Tepi Barat yang paling penting dan menguntungkan terkonsentrasi. Dalam laporan 2013, Bank Dunia mengatakan bahwa tanpa “kemampuan untuk melakukan kegiatan ekonomi tujuan di Area C, ruang ekonomi Tepi Barat akan tetap kacau dan kerdil, dihuni oleh orang-orang yang interaksi sehari-hari dengan negara Israel yang ditandai dengan ketidaknyamanan, biaya, dan frustrasi.”
Hampir 300.000 warga Palestina tinggal di Area C, di bawah kendali penuh dari militer Israel. Dalam sebuah laporan 2014 tambahan dalam Haaretz, Hass mencatat bahwa:
Penduduk Palestina di Area C dianggap sangat rentan dan membutuhkan bantuan internasional karena terbatasnya akses kepada lembaga pendidikan dan kesehatan, pelecehan oleh pemukim Israel, kedekatan dengan zona tembak dan kekurangan infrastruktur air dan listrik.
Antara 300.000 dan 400.000 pemukim Israel juga secara ilegal tinggal di area C. Mereka membanjiri daerah ini seiring meningkatnya kolonisasi. Pada Mei 2014, Menteri Konstruksi dan Perumahan Uri Ariel—berasal dari partai ultranasionalis—mengatakan kemungkinan negara Palestina adalah dalam “sekarat pergolakan” dan menyatakan bahwa populasi pemukim Israel akan 550.000 atau 600.000 pada 2019.
100.000 Rumah Hancur di Gaza
Palestina di Tepi Barat bukan satu-satunya korban Israel. Pada 2014, dalam 51 hari serangan selama musim panas di Gaza, dalam operasi dengan kode “Protective Edge”, Israel menghancurkan atau merusak 100.000 rumah, yang memengaruhi lebih dari 600.000 orang, menurut perkiraan PBB.
Juga 26 sekolah hancur; 232 sekolah rusak; 73 masjid hancur; 205 masjid rusak, 13 rumah sakit umum hancur atau rusak, 17 rumah sakit swasta dan nonpemerintah hancur atau rusak, 23 pusat kesehatan milik pemerintah hancur atau rusak, 4 pusat kesehatan swasta dan nonpemerintah hancur atau rusak, 50 persen dari lahan pertanian hancur; 419 bisnis dan pabrik rusak, dan satu-satunya pembangkit listrik Gaza hancur.
Lebih dari 100.000 warga Gaza kehilangan tempat tinggal setelah terjadinya serangan. PBB memperkirakan akan mengambil US$ 7,8 miliar (Rp 98 triliun) dan lebih dari 20 tahun untuk membangun kembali Gaza. Meskipun sudah dijanjikan bantuan sebesar US$ 5,4 miliar (Rp 68 triliun) dalam konferensi internasional di Mesir pada Oktober 2014, “hampir tidak ada” uang yang telah mencapai Gaza, menurut UNRWA. Ribuan warga Palestina telah kehilangan tempat tinggal selama musim dingin. Beberapa orang, termasuk bayi, telah meninggal karena kedinginan.
Direktur UNRWA di Gaza Robert Turner berkomentar:
Sangat mudah untuk melihat angka-angka ini dan melupakan fakta bahwa kita sedang berbicara tentang ribuan keluarga yang terus menderita melalui musim dingin dengan tempat tinggal yang tidak memadai. Orang-orang benar-benar tidur di antara puing-puing; anak-anak meninggal karena hipotermia. US$ 5,4 miliar yang dijanjikan pada Konferensi Kairo Oktober lalu hampir tidak ada yang telah mencapai Gaza. Ini menyedihkan dan tidak dapat diterima. (mondoweiss.net)
Baca juga:
- Akademisi: Dukungan Indonesia untuk Palestina Masih Nanggung
- Ingin Mediasi Israel-Palestina, Indonesia Perlu Dewasa
- Pasca-Bentrokan, Israel Janji Perbaiki Yerusalem Timur
- Pemerataan Suplai Air, Isu Utama di Tepi Barat dan Gaza
- Israel Modern Tidak Sama dengan di Alkitab
- Akademisi: Dukungan Indonesia untuk Palestina Masih Nanggung
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...