Kamis Putih: Kisah Manusia Merdeka
Orang yang senantiasa ingin dilayani sesungguhnya bukan manusia merdeka.
SATUHARAPAN.COM – Peristiwa Kamis Putih yang kita rayakan hari ini berada dalam konteks perayaan Paskah Yahudi. Peristiswa pembasuhan kaki, yang ditampilkan penulis Injil Yohanes, berada dalam konteks ketika Yesus sedang makan Paskah bersama para murid-Nya.
Perayaan Paskah merupakan perayaan kemerdekaan Israel sebagai suatu bangsa. Mereka biasa memperingatinya dengan cara menyembelih anak domba jantan, tidak bercela, dan berumur setahun. Darah anak domba jantan itu diambil sedikit dan dibubuhkannya pada kedua tiang pintu dan ambang atas. Dagingnya dimakan bersama roti tidak beragi dan sayur pahit. Memang bukan suatu yang lazim bagi kebanyakan bangsa.
Namun, makna dari makan Paskah ini ialah bahwa kemerdekaan Israel bukanlah direbut dengan perjuangan angkata bersenjata. Tapi, Allahlah yang turun tangan dalam mengupayakan kemerdekaan Israel. Bagian umat Israel ialah percaya kepada Allah.
Pada peristiwa makan Paskah itu, Yesus memperlihatkan pikiran, sikap, dan tindakan sebagai manusia yang telah dimerdekakan Allah. Bagi Yesus, kemerdekaan bukanlah melulu berorientasi pada hak, tapi lebih berorientasi pada kewajiban. Dan kewajiban manusia merdeka ialah melayani sesama. Melayani adalah ciri kemerdekaan manusia. Dan memang itulah yang dilakukan Yesus dari Nazaret.
Kemerdekaan-Nya terlihat dalam kata kerja yang dicatat penulis Injil Yohanes. Kemerdekaan-Nya tampak ketika Dia bangun, menanggalkan jubah-Nya, mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.
Bangun, menanggalkan, mengambil, menuangkan, membasuh, dan menyeka—semua kata kerja ini menandakan kemerdekaan Orang Nazaret itu. Yesus melakukannya sendirian. Dia tidak perlu memaksa orang lain untuk melakukannya. Tindakan-Nya tidak tergantung adakah orang lain melakukannya atau tidak? Orang lain boleh saja tidak melakukannya, tetapi Yesus melakukannya.
Yesus merdeka. Dia tidak berpikir apa kata orang dengan tindakan-Nya itu. Bahkan Dia menjungkirbalikkan pemahaman bahwa di pundak orang-orang kecillah terletak tanggung jawab dalam membasuh kaki. Pada masa itu, yang biasa terjadi, pelayanlah yang membasuh kaki tuannya atau muridlah yang membasuh kaki gurunya. Namun, Yesus membongkar pemahaman itu dan membangun pemahaman baru: Tuhan pun boleh, bahkan harus, membasuh kaki hamba-Nya; guru pun boleh, bahkan mesti, membasuh kaki para muridnya.
Salah satu teladan dalam peristiwa pembasuhan kaki ini bukanlah pada pembasuhan kaki itu sendiri, tapi dalam pikiran, sikap, dan tindakan Yesus sebagai manusia merdeka. Orang yang senantiasa masih ingin dilayani sesungguhnya bukan manusia merdeka. Sebab, hal itu berarti dia masih menggantungkan diri kepada orang lain. Di mana kemerdekaannya, jikalau orang selalu ingin dilayani?
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...