Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 16:29 WIB | Jumat, 29 November 2013

Kembang Bale Bi Pejoh

(Foto dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ronggeng Gunung sebuah kesenian tradisi berbentuk tarian dari Ciamis Selatan, Jawa Barat. Berpusat di daerah pegunungan di sekitar Banjarsari.

Kesenian ini sekarang lebih dikenal sebagai tari pergaulan rakyat itu pada awalnya sebenarnya lebih merupakan tarian ritual yang biasa digelar usai panen, sebelum padi masuk lumbung, atau pada perhelatan-perhelatan inisiasi seperti sunatan, gusaran, dan sebagainya.

Pergelaran Ronggeng Gunung berpusat pada seorang Ronggeng yang menari dan bernyanyi di tengah lingkaran. Sementara para penari laki-laki mengelilingi Ronggeng. Tidak berpasang-pasangan seperti dalam ronggeng tayuban.

Bi Raspi merupakan Ronggeng Gunung yang cukup dikenal di tanah Sunda. Dia masih aktif diundang untuk perhelatan-perhelatan budaya di kota-kota. Sementara di kampung Balater, desa Panyutran,  kecamatan Padaherang, Ciamis, ada seorang tokoh Ronggeng Gunung yang telah lama mengundurkan diri, yaitu Bi Pejoh yang berusia sekitar 60 tahun. Sebelum Bi Raspi terkenal, Bi Pejoh yang mendominasi pentas-pentas di Ciamis. 

Bi Pejoh lebih hapal daripada Bi Raspi tentang seluk beluk Ronggeng. Dari mulai tata cara pergelaran sampai dengan mantra-mantranya. Bi Pejoh memiliki suara yang lebih mistis dengan perbendaharaan lagu yang lebih kaya, lebih asli, dan bervariasi. Hal ini bisa dipahami karena Bi Pejoh berguru kebatinan kepada Ronggeng kahot yaitu Indung Dawis, sementara untuk urusan menyanyi Bi Pejoh berguru pada Ma Carpi.

Bi Pejoh melontarkan bahwa istilah Ronggeng merupakan istilah yang salah. Ronggeng menurutnya dirongrong lantas ditonggengan atau dipunggungi. Sementara istilah yang benar menurutnya Kembang Bale yang berarti Bunga di Ruangan, sebuah kiasan yang kurang lebih sama dengan primadona.

Bi Pejoh mengalami kecelakaan mobil ketika akan mentas di suatu tempat pada pertengahan tahun 1980-an. Mobilnya terbalik dan dia di bawah kendaraan selama tiga jam sebelum akhirnya dievakuasi. Sejak itu dia mengundurkan diri dari panggung Ronggeng Gunung.

Kini dia lebih dikenal sebagai paranormal. Pasien-pasiennya tersebar jauh hingga ke Cilacap. Namun, akhir-akhir ini dia seperti memberi isyarat untuk turun gunung kepada Rachmayati Nilakusumah, seorang koereografer di Ciamis. Bila ini terjadi maka seni tradisi Ronggeng Gunung akan semakin hidup dengan kemunculan kembali seorang Ronggeng mumpuni dengan suaranya yang khas dan olah batin tinggi.

Pada kesempatan dan di acara pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Senin (25/11), Bi Pejoh untuk pertama kali tampil kembali setelah sekian lama meninggalkan profesinya. Tidak heran dia mempersiapkan acara ini dengan seksama, melakoni ritual khusus ngisat diri. Selain itu, para penari laki-laki yang ikut serta terdiri dari para tetua Ronggeng Gunung yang puluhan tahun menggeluti keseniannya.   

Pergelaran Ronggeng Gunung memiliki semacam bentuk baku yang tersusun dalam suatu urut-urutan. Awalnya para wiyaga beriringan mengikuti Sang Tetua masuk pentas. Setelah duduk, Sang Tetua membakar dupa untuk sasadu papalaku sebelum pentas dimulai agar pergelaran berlangsung.

Ronggeng merapikan sesajen lantas dibawa keliling pentas. Usai sasadu papalaku dilanjutkan lagu pembuka yang disebut Lulugu. Setelah itu dilanjutkan dengan lagu kedua, yaitu Golewang. Para penari muai masuk pentas dengan berkerudung kain sarung atau seluruh badan tertutupi sarung. Lagu ini diakhiri dengan anjog. Para penari keluar pentas.

Selanjutnya pada tiga lagu berturut-turut, yaitu lagu Golewang, Kawungan, Raja Pulang, para penari harus menggunakan kain sarung untuk menutupi tubuh. Para penari baru bisa membuka kerudung kain sarung ketika diiringi lagu Cangkring, Dengdet, Parut, Manangis, Liring, Tunggul Kawung, maupun Kulonan.

Saat urutan sampai lagu Sasagaran, para penari bersiap-siap untuk unjuk kekuatan, bergulat ala ronggeng gunung. Lantas, para penari bertarung dalam lagu Ered. Pergelaran diakhiri dengan lagu Torondol yang menggambarkan kegembiraan dan kedamaian setelah bergulat.   

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home