Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 16:46 WIB | Jumat, 29 November 2013

Pergulatan Batin Seorang Istri Ditampilkan Biola Aceh

Pertunjukan Biola Aceh. (Foto dari piasanseni.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Biola Aceh adalah kesenian rakyat berbentuk teater dari Aceh. Pemberian nama ini konon karena penggunaan biola sebagai instrumen musik utama dalam setiap pertunjukan. Di kawasan Aceh Utara diberi nama Mop-Mop, sedangkan di Aceh Besar dan Kabupaten Pidie disebut Geunderang Kleng.

Tidak ada yang tahu persis kapan kesenian ini muncul dan dari mana asal mulanya. Tetapi diyakini sudah ada sejak zaman kolonial. Sejumlah kalangan menyebutkan Biola Aceh atau Mop-Mop justru orisinal karena di daerah luar Aceh tidak ditemukan kesenian serupa.

Sebagian ulama di Aceh sempat mengharamkan kesenian ini pada tahun ’60-an hingga ’70-an karena menampilkan laki-laki yang berperan sebagai perempuan. Akibatnya, para penggiat kesenian ini terpaksa beraktifitas dengan sembunyi-sembunyi.

Meski belakangan Biola Aceh mulai dilirik lagi tetapi tidak cukup banyak kelompok yang kini masih aktif. Salah satunya adalah Sanggar Meurak Jeumpa pimpinan Syeh Gani.

Sanggar Meurak Jeumpa berasal dari Gampong Paloh Raya, Kreung Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Sanggar ini dibentuk pada tahun 1974. Kelahirannya didorong rasa kepedulian atas kelestarian seni tradisi. Aktifitas sanggar ini sempat terhenti saat konflik melanda Aceh beberapa waktu lalu.

Setelah konflik usai, para pendukungnya mencoba menampilkannya lagi. Meski tidak lagi berusia muda, antara 50 hingga 80 tahun, mereka tetap memperlihatkan semangat. kehadiran kembali kesenian ini lumayan mendapat sambutan.

Sanggar Meurak Jeumpa tampil di even Piasan Seni, Pekan Kebudayaan Aceh VI pada 2013, dan Gelar Seni Budaya Aceh pada 2013.

Dalam pertunjukan di pergelaran ‘Cipta Budaya’ di Plaza Planetarium Taman Ismail Marzuki Jakarta pada Selasa (26/11), Sanggar Meurak Jeumpa membawakan lakon berjudul ‘Bue Drop Daruet’ atau ‘Monyet Tangkap Belalang’.

Lakon ini menceritakan tentang Lintoe Baroe, sebutan bagi pengantin laki-laki di Aceh, yang baru saja memulai bahtera keluarga. Tiba-tiba saja dia menyatakan keinginan untuk menjadi pejabat di daerahnya. Dara Baroe, pengantin perempuan, tidak setuju dengan keinginan suaminya. Hal ini memicu perdebatan antara suami isteri itu.

Dara Baroe takut kehilangan suaminya membawa pengaruh yang tidak sehat pada keluarganya. Kegelisahan Ayah Tuan, ayah mertua, juga mengalir dalam konflik rumah tangga anak perempuannya. Dara Baroe menjadi bimbang, antara menuruti bisikan nurani atau menghormati Linto Baroe.

Pertunjukan ini menampilkan bahwa keserakahan menyebabkan semua dirasa tidak pernah cukup. Persoalan besar disepelekan dan persoalan kecil dibesar-besarkan tersaji dalam aroma satir yang menghanyutkan imajinasi.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home