Kunjungan Paus Fransiskus dan Kekristenan di Turki
Identitas nasionalisme Turki menakutkan penduduk Kristen Turki
ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Tabrakan kerajaan, budaya, dan agama jadi hal khas di Turki. Jumat (28/11) ini Paus Fransiskus melakukan kunjungan bersejarah negeri Kebab ini untuk membangun jembatan iman dengan Islam dan sekaligus dengan kekristenan Yunani Ortodoks setelah perpisahan besar 1.000 tahun lalu.
Di Istanbul, ada bangunan yang di dalamnya terdapat mosaik Yesus dan Perawan Maria di samping kaligrafi “Allah” dan “Nabi Muhammad”. Tidak ada simbol yang lebih besar benturan peradaban di sini daripada Hagia Sophia.
Selama hampir 1.000 tahun, Hagia Sophia berdiri sebagai katedral Yunani Ortodoks yang paling penting di dunia. Jantung agama kekaisaran Kristen Byzantium yang beribu kota Konstantinopel.
Namun, pada 1453 kota ini jatuh ke tangan kekaisaran Ottoman—disebut juga kekhalifahan Ustmaniyah. Sejak itu, Hagia Sophia menjadi masjid dan kekristenan mengalami kematian pelan-pelan.
Saat Turki tumbuh dari reruntuhan Kekaisaran Ottoman, penurunan kekristenan di Turki makin cepat. Ketika Paus Fransiskus tiba di sini minggu ini, ia akan mengunjungi negara yang penduduknya telah jatuh dari 20 persen Kristen 100 tahun lalu menjadi sekitar 0,2 persen hari ini.
Emigrasi Para Cendekiawan
“Tidak ada negara di wilayah ini—termasuk Iran—lebih homogen dari segi Islam daripada Turki,” kata penulis Cengiz Aktar. “Ini adalah negara warna tunggal. Ini adalah negara Muslim.”
Setelah Republik Turki lahir pada 1923, terjadi “pertukaran populasi” dengan Yunani untuk menciptakan konsistensi etnis dan agama. Lebih dari satu juta orang Yunani dipaksa keluar dari Turki ke Yunani, sementara sekitar 300.000 Muslim dari Yunani pindah ke sini.
Orang-orang Yunani dari Istanbul awal selamat. Tapi, setelah pajak kekayaan yang sangat besar, pogrom anti-Yunani pada 1955, dan pengusiran massal pada 1964, masyarakat Yunani yang tersisa kehidupannya sangat memprihatinkan. Dan, begitu juga kekristenan Ortodoks yang mereka praktikkan.
“Pembersihan etnis minoritas non-Muslim memicu emigrasi para cendekiawan,” kata Aktar, yang telah menciptakan sebuah pameran baru tentangnya habisnya nya orang-orang Yunani di sini.
“Itu juga berarti hilangnya kaum kelas atas karena mereka tidak hanya kaya, tapi juga punya keterampilan. Istanbul kehilangan seluruh warisan Kristen dan Yahudi .”
Bukan hanya eksodus orang-orang Yunani yang melanda kekristenan di sini. Armenia adalah komunitas Kristen besar lainnya. Ratusan ribu orang dideportasi pada 1915. Mereka dibunuh atau mati karena kelaparan dan penyakit. Label “genosida” ditolak oleh negara Turki. Dari populasi dua juta orang Armenia, sekitar 50.000 tersisa hari ini di Turki.
Robert Koptas, editor surat kabar mingguan Armenia, Agos, bercerita bahwa pada 2007, salah satu editornya, Hrant Dink, dibunuh di luar kantor oleh kaum nasionalis Turki. Sejak itu, Koptas mengatakan komunitas Armenia kecil merasa terintimidasi.
“Orang Armenia takut mengekspresikan identitas agama mereka di sini,” katanya.
“Sebagian besar orang Kristen menyembunyikan salib mereka di dalam baju mereka. Mereka tidak bisa membukanya dan berjalan bebas di jalan karena mereka bisa mendorong reaksi. Saya tidak ingin mengatakan semua penduduk Turki anti terhadap kekristenan. Namun, nasionalisme yang begitu tinggi membuat orang takut untuk mengekspresikan diri. “
Yang sekarang dikhawatirkan di kalangan minoritas Kristen Turki adalah nasionalisme Muslim Turki telah berkembang di bawah pemerintahan Islam yang berakar dari Recep Tayyip Erdogan, perdana menteri selama 11 tahun sebelum terpilih sebagai presiden Agustus lalu.
Misionaris Terbunuh
Erdogan telah membuat langkah untuk mendukung orang-orang Kristen, seperti meloloskan Undang-undang untuk mengembalikan milik mereka yang disita negara dan memungkinkan kelas agama Kristen di sekolah-sekolah. Tapi, dia terus menekankan identitas Islamnya, dukungannya pada Muslim konservatif. Dan, ia melecut kaum nasionalis di sini yang meningkatkan sikap keras terhadap orang Kristen. Dan penganut Katolik, kelompok terkecil minoritas Kristen di Turki, telah merasakan dampaknya.
Serentetan pembunuhan misionaris Katolik dan pastor beberapa tahun lalu membuat masyarakat shock. “Untuk menjadi seorang Turki sekarang berarti Anda harus Muslim,” kata Pastor Iulian Pista, yang melayani Basilika Katolik di Istanbul.
“... di masa lalu, seorang Muslim saleh dipandang rendah. Sekarang, salat Jumat didorong. Masyarakat di sini mengalami pengislaman. Baru-baru ini, saya telah melihat orang buang air besar dan kencing di gereja saya ...”
Islam absen dari konstitusi sekuler Republik Turki yang didirikan pada 1923. Tetapi, saat bangsa dibentuk, agama menjadi bagian dari identitas nasional Turki, sesuatu yang telah dipercepat tajam di bawah kepemimpinan Erdogan.
Masjid baru yang berkembang, sedangkan sekolah teologi Halki Ortodoks yang terkenal di dunia di dekat Istanbul tetap tertutup sejak 1971 di bawah tekanan nasionalis Turki. Salah satu warga Turki keturunan Yunani, Fotis Benlisoy, mengatakan, “Perasaan terancam di antara minoritas non-Muslim di sini akan datang kembali.”
“Ada banyak alasan: bahasa dan kebijakan pemerintah, presiden dan perdana menteri menggunakan referensi yang lebih konservatif dengan identitas Sunni. Kata bernada merendahkan bagi masyarakat non-Muslim diucapkan anggota kabinet, dan banyak beredar hubungan orang Turki dengan ISIS. Ini semua ini membuat kami berpikir perlu strategi melarikan diri,” kata Benlisoy.
Di Gereja megah Panaghia Ortodoks Yunani Istanbul, liturgi pagi ini dipimpin oleh Bartholomew I, “Patriark Konstantinopel”—sebuah posisi yang masih berpusat di kota ini.
Ini menjadi pengingat dari warisan negeri ini—dan kesetiaan orang Kristen yang kecil tapi menantang. Saat Turki modern membangun identitasnya, pertanyaannya tetap: apakah itu bisa merangkul kebebasan beragama —atau akankah nasionalisme menghalanginya? (bbc.com)
Baca juga:
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...