Memahami Dahulu Baru Dipahami
”Tak ada yang lebih penting daripada menunjukkan empati kepada orang lain yang menderita. Sungguh tak ada yang lebih penting. Karier tidak, kekayaan tidak, kepandaianpun tidak, dan pastinya status pun tidak” (Audrey Hepburn).
SATUHARAPAN.COM – Dalam salah satu tulisannya, Stephen Covey menulis: ”Jika saya harus meringkas dalam satu kalimat prinsip terpenting yang telah saya pelajari dalam hubungan antarpribadi, maka saya akan mengatakan: ’Berusaha memahami lebih dulu, baru berusaha dipahami’”.
Satu kata yang tepat untuk meringkas prinsip itu, adalah kata ”empati”. Pengalaman hidup Anda pasti telah mengajarkan bahwa ada orang yang sering menunjukkan empati yang dalam, namun ada juga yang tidak pernah menunjukkan empati.
Berempati adalah berupaya memahami apa yang dirasakan orang lain. Mencoba mendengarkan gema orang lain, di dalam diri kita. Berupaya untuk memahami apa yang dirasakan orang lain. Melihat dengan mata orang lain, mendengarkan dengan telinga orang lain, dan merasakan dengan hati orang lain.
Kemampuan menunjukkan empati akan menghasilkan rasa nyaman pada diri orang lain itu. Contoh sederhana: Leila baru saja terjatuh dari motor dan kaki kirinya patah . Itu menyebabkan selama beberapa minggu ia tak bisa masuk kerja dan selama beberapa bulan ia harus menggunakan penopang untuk berjalan.
Hari pertama ia masuk kembali ke kantor, sejumlah rekannya memberi reaksi bersimpati: ”Ikut prihatin” atau “Cepat sembuh”. Di antara semua rekan itu, Arlina yang menyatakan empati nyata: ”Waduh, Leila, pasti sakit luar biasa waktu terjadi. Bisa saya bayangkan. Saya pernah terjatuh dari motor juga, namun tidak sampai patah, itu pun sudah luar biasa sakitnya. Apalagi kalau sampai tulangnya patah, bisa saya bayangkan nyerinya yang amat sangat. Apakah bisa saya bawakan tas Anda untuk mempermudah bergerak sampai di ruangan?” Leila merasa bahwa ia bisa lebih banyak bercerita tentang penderitaannya kepada Arlina dibandingkan rekan lainnya.
Kemampuan menyatakan empati akan berbalas. Saat orang lain sedang terluka, terutama luka batin, dan Anda mendengarkan dengan tujuan benar-benar untuk memahami pikiran dan perasaan, Anda akan melihat betapa cepat orang lain membuka diri dan perasaannya. Ada rasa damai, rasa aman, ketika orang lain memahami apa yang dirasakan. Dapat dipastikan orang yang dipahami itu lalu akan membalas dengan pemahaman terhadap diri Anda. Memahami akan berbalas dipahami.
Almarhum Ibu saya dahulu selalu mengatakan bahwa ketika ia lebih memerhatikan orang lain lebih dari memerhatikan diri sendiri, ia merasa lebih sehat secara fisik maupun secara rohani, sekalipun memberikan empati dapat sangat melelahkan.
Di sisi lain, ketidakmampuan menunjukkan empati hampir dapat dipastikan terjadi pada orang yang perhatiannya terpatri pada diri sendiri sehingga sulit untuk bisa memerhatikan kebutuhan orang lain. Ketiadaan empati bahkan dapat menimbulkan keburukan luar biasa, seperti yang diyakini oleh Charles Blow, jurnalis dan komentator, yang mengatakan: ”Tidak dibutuhkan tindakan kejahatan untuk menghasilkan kerusakan besar. Ketiadaan empati dan ketiadaan pemahaman sudah cukup untuk menimbulkan kehancuran.”
Kita mengenal kalimat emas: ”Perbuatlah bagi orang lain, semua hal yang kau inginkan orang lain perbuat terhadapmu”. Empati menimbulkan empati. Ketiadaan empati akan berbalas ketiadaan empati lagi. Dan jika ketiadaan empati dibiarkan berlarut, maka negativisme akan menggelinding bak bola salju yang makin lama makin besar. Inilah pangkal bencana hubungan antar manusia.
Padahal, banyak orang meyakini, sama halnya seperti Maya Angelou, penulis dan penggiat hak azasi manusia, bahwa setiap orang memiliki empati, hanya saja sering kali orang takut untuk mengekspresikannya.
Takut? Ya, mungkin karena dengan menunjukkan empati, orang kadang khawatir akan terpengaruh dan larut menjadi bersimpati. Atau, dengan menunjukkan empati, orang khawatir akan tampak seolah memihak kepada orang yang belum tentu patut dibela. Takut salah. Karena itu, sebaiknya menjaga jarak. Dan dengan menjauh tak akan ada kesempatan berempati.
Empati tidak sama dengan simpati. Empati lebih berusaha memahami. Empati selalu bermanfaat, simpati kadang bisa tidak pada tempatnya. Dan empati bisa menyelamatkan banyak hubungan antarmanusia yang dingin atau bahkan beku.
Mari praktikkan empati untuk kehidupan yang lebih baik. Jika mendengarkan, mendengarlah dengan baik. Bertanyalah mengenai perasaan, cobalah pelajari latar belakang orang lain, tunjukkan kepedulian, jangan menghakimi. Memahami dulu, baru minta dipahami.
Email: inspirasi@satuharapan.com
Editor: Yoel M. Indrasmoro
Rubrik ini didukung oleh PT Petrafon (www.petrafon.com)
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...