Miranda Gultom Ingatkan Risiko Pemberian Pinjaman ke Century
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Miranda Goeltom Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pernah mengingatkan risiko hukum pemberian pinjaman kepada Bank Century.
"Saya bisa saja mengatakan sakit dan di rumah sakit selama sebulan, hidup tenang, tidak ikut rapat, dan gak bakalan masuk penjara. Akan tetapi, kita semua harus berani ambil keputusan, dan saya berani `as long as` studinya itu jelas dan itu berlaku untuk semua," demikian disampaikan Miranda dalam rekaman rapat yang diperdengarkan dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (9/5).
Rekaman itu adalah rekaman Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tangal 13 November 2008 yang sedang membicarakan perubahan Peraturan Bank Indonesia No 10/26/PBI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) bagi Bank Umum.
Aturan itu membatasi Bank Century mengajukan bantuan likuiditas berupa FPJP karena rasio kecukupan modal (CAR) Bank Century di bawah 8 persen namun kemudian sesuai dengan RDG 14 November 2008 diubah menjadi PBI Nomor 10/30/PBI/2008 sehingga syarat pemberian FPJP cukup dengan CAR positif.
Rekaman tersebut diputar jaksa penuntut umum KPK dalam sidang perkara pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan terdakwa mantan Deputi Gubenur Bank Indonesia Bidang 4 Pengelolaan Moneter dan Devisa dan Kantor Perwakilan (KPW) Budi Mulya.
Miranda juga menyampaikan bahwa dirinya sebelumnya sudah berupaya untuk membela kebijakan untuk memberikan peinjaman kepada Bank Century di hadapan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
"Betapa saya membela di hadapan Ibu Menteri yang dengan keras dan sinis mengatakan `Saya enggak mau kasih uang begitu saja, pengawasannya bagaimana di BI? Makanya saya balikin bahwa kita yang sudah punya `release management protocol`, padahal sudah di-SSK (stabilitas sistem keuangan) dulu oleh Pak Halim dan Pak Raden selama berbulan-bulan," ungkap Miranda.
Halim yang dimaksud adalah Halim Alamsyah yang saat itu menjabat sebagai Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI dan Raden adalah Raden Pardede selaku Sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) saat pemberian FJPJ senilai Rp 689 miliar kepada Bank Century.
"Saya jadi menyesal, saya gak terlalu yakin melakukan apa yang bisa kita lakukan, jadi Pak Halim kalau kita lakukan, ya, kuping saya harus ditutup, Pak Boed tanya saya sudah gak peduli lagi, kalau itu `business as usual`, `so be it`, tinggal kita dapat konsekuensinya yang penting saya sudah sampaikan pendapat saya kalau tidak didengar ya mau apa? Kalau dulu ada bank 500 persen OK (diberikan pinjaman) kenapa sekarang tidak itu yang saya ingatkan," tambah Miranda.
Menanggapi hal tersebut maka Boediono mengatakan bahwa masalahnya tinggal mengubah peraturan BI.
"Kan tinggal PBI-nya, ketentuannya bisa tidak? Kan ketentuannya bukan ini saja, kalau saya pikir akan terlalu berat untuk bank apa pun, bisa di-`crossing` gak kira-kira yang masuk akal? Kalau enggak, ya, ke LPS," kata Boediono
"Kalau ini kan lain karena ada penarikan dana," jawab Miranda.
"Saya kira kita perlu mengerti konteks yang lebih besar dan Pemerintah tidak bisa begitu saja," ungkap Bodeiono.
"Kalau enggak pasti, `it`s not` main-main, `it`s such a powerful thing to assume with crisis`. Kalau Bapak tanya saya, saya gak mau jawab bahwa ini dicabut karena selanjutnya untuk semua bank. Kalau tidak sesuatu, kita akan disalahkan semua," ungkap Miranda.
Pada akhirnya BI memberikan FPJP senilai Rp 689 miliar kepada Bank Century dan bahkan rapat KSSK pada tanggal 21 November 2008 memutuskan Bank Century menjadi bank gagal berdampak sistemik sehingga mendapat bantuan modal berupa penyertaan modal sementara senilai Rp 6,7 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam perkara ini, jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...