Pengadilan Inggris: Hukum Haruslah Netral
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pengadilan tidak harus menitikberatkan landasan hukum mereka pada Kekristenan dibandingkan dengan agama-agama lain. Sir James Munby, Ketua Divisi Keluarga, mengatakan Inggris adalah ‘komunitas multikultural dengan banyak agama’ dan hakim harus mengambil pandangan dasar netral terhadap suatu keyakinan agama dan bukan lagi lebih berat pada agama tertentu.
Dalam pidatonya di London, ia mengatakan bahwa hakim sangat berbahagia ketika mereka tidak lagi memiliki peran dalam menegakkan moralitas, tidak seperti di masa lalu ketika mereka secara rutin mengutuk homoseksualitas, perzinahan dan mempromosikan gaya hidup Victoria yang mewah.
“Pada masa terdahulu, fungsi dari para hakim adalah untuk mempromosikan kebajikan, mencegah kejahatan dan amoralitas,” katanya.
“Pada jaman ini, tentu saja tugas peradilan menilai hal-hal standar pada pria dan wanita pada 2013 – tidak pada standar orang tua mereka di tahun 1970”
Sir James mengatakan bahwa hakim pada masa Victoria mempromosikan kebajikan dan moralitas dan memperkecil perbuatan jahat dan amoralitas dengan berpandangan sempit terhadap moralitas dan seksual. Dia mengutip undang-undang yang melarang gay dan aborsi dan putusan yang mengutuk perempuan melakukan perbuatan zinah.
Dia menambahkan bahwa pengaruh gereja Kristen di pengadilan juga telah menghilang dalam beberapa tahun terakhir.
Dai berkata: “Ini bagus untuk kita, hari-hari terakhir dimana urusan hakim adalah menegakkan moral atau berkaitan dengan keyakinan agama.” Dia mengatakan bahwa hakim moderen sudah sewajarnya meninggalkan tuntutan untuk menjadi “penjaga moralitas publik” seperti pendeta Kristen tidak lagi mengaku berbicara sebagai definisi suara moralitas dan hukum perkawinan dan keluarga.”
Sir James mengatakan beberapa tahun terakhir melihat ‘penghilangan’ dalam sebuah masyarakat yang semakin sekuler dan pluralistik yang sampai baru-baru ini diukur dalam skala besar terhadap nilai-nilai etika dan moral agama.
“Hari-hari ini kita hidup di jaman masyarakat yang sekuler dimana sejauh ini tetap berbau religius, kini semakin beragam dalam afiliasi keagamaan,” katanya. “Meskipun secara historis negara ini adalah bagian dari Kristen Barat dan meskipun gereja memiliki Kristen yang cukup kuat, kita disini duduk sebagai hakim sekuler yang melayani masyarakat multi-budaya dari banyak agama dan bersumpah untuk mememberikan keadilan untuk segala macam orang.”
“Kita hidup di negara ini dalam suatu masyarakat demokratis dan pluralistik, dalam negara sekuler bukan teokrasi,” kata Sir James dalam pidato utama pada konferensi tahunan pertama bagian hukum keluarga Law Society di London pada Selasa (29/10).
Dalam sambutannya, yang berjudul ‘Hukum, Moralitas dan Agama di Pengadilan Keluarga’ ia mengatakan pengadilan tidak lagi dikenal perbedaan agama apapun dan umumnya, tidak ada penghakiman atas keyakinan agama atau ajaran, doktrinatau aturan dari setiap bagian tertentu dari masyarakat.
“Semua orang berhak untuk dihormati, asalkan mereka sah dan diterima secara sosial dan bukan tidak bermoral atau menjengkelkan atau jahat,” kata dia. Namun, Sir James menunjuk pada poin unsur-unsur praktik keagamaan yang katanya diluar batas, termasuk perkawinan paksa, mutilasi kelamin perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang berdasarkan pada kehormatan pihak tertentu.
Dia juga mengatakan pengadilan akan mengesampingkan keyakinan keagamaan orang tua jika itu menjadi kepentingan terbaik bagi anak mereka, misalnya ketika seorang anak Saksi Yehova membutuhkan transfusi darah. “Kita hidup dalam masyarakat sekuler yang sejauh ini tetap religius sama sekali, kini semakin beragam dalam afiliasi keagamaan,” tambahnya.
Dia mengatakan iman orang percaya itu bukan ‘bisnis pemerintah atau pengadilan sekuler’ meskipun, tentu saja pengadilan akan menghormati setiap prinsip-prinsip agama dalam individu dan keluarga. (dailymail.co.uk)
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...