Sang Guru
Sang Guru dari Nazaret tidak hanya mampu mengajar, Dia juga menghidupi bahan ajar-Nya.
SATUHARAPAN.COM – Kisah ”Orang yang Kerasukan Roh Jahat” (Mrk. 1:21-28) tidaklah terjadi dalam vakum. Kisah pengusiran roh jahat dimulai dengan kesediaan para pengunjung rumah ibadah di Kapernaum untuk mendengarkan pengajaran Yesus. Itu berarti, mereka memberi kesempatan kepada Yesus untuk mengajar.
Tentunya, mendengarkan saja tidaklah cukup. Namun, pendengaran yang baik akan menolong seseorang mendapatkan apa yang terpenting dalam hidup. Jika tidak, biasanya dia akan mendengarkan apa yang ingin didengarnya. Dan itu bukanlah sikap murid yang baik. Seorang murid harus siap belajar. Seorang murid harus siap menerima segala. Keterbukaan merupakan prinsip utama kemuridan.
Dan cara Yesus mengajar terasa berbeda. Dia tidak bertindak sebagai sumber kedua atau sumber ketiga, melainkan sumber pertama. Yesus adalah narasumber sejati. Jika ahli Taurat mengajarkan sesuatu yang dipelajari dan dipahami, Yesus tak perlu mempelajari bahan ajar karena Dialah ajaran itu sendiri. Yesus tidak mengajarkan Firman. Diri-Nyalah Firman.
Berbeda dengan ahli Taurat yang mengulang, menafsir, dan memberikan pendapat orang lain, Yesus berbicara atas nama-Nya sendiri. Dia sungguh Pribadi berwibawa.
Dalam dunia pendidikan, manusia normal pastilah senang diajar guru yang memiliki wibawa akademis. Di sini akreditasi menjadi sangat beralasan. Kita mungkin tak enak hati sendiri menyaksikan guru yang mencari-cari dan menegakkan wibawa di hadapan naradidik.
Sejatinya, wibawa intrinsik pada diri manusia. Guru memang perlu menguasai bahan ajar. Namun, wibawa tak melulu soal nalar. Wibawa tak cuma soal otak, tetapi juga sikap dan tingkah laku. Wibawa tak hanya kena-mengena dengan cara pikir, tetapi juga cara sikap dan tindak seseorang.
Bagi pengkhotbah, wibawa itu berasal dari apa yang dikhotbahkan. Yang penting bukan sejauh mana dia menguasai Firman, tetapi sejauh mana dia dikuasai Firman. Bukan seberapa fasih dia bicara, namun apakah Firman Allah itu menguasainya. Itulah dasar hidup pemberita Firman.
Yesus menjadi sangat berwibawa di hadapan para pendengarnya karena hidup-Nya merupakan perwujudan kata-kata-Nya. Kalimat-kalimat Yesus merupakan rumus verbal dari perbuatan-Nya. Ada keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kata dan karya. Dan itulah yang dinamakan integritas.
Ketika Yesus mengusir roh jahat dari seseorang yang ada di rumah ibadah itu, tentu itu bukan ajang pamer, juga bukan ajang mengumpulkan pengagum, tetapi karena Yesus mengasihi orang tersebut. Roh jahat membuatnya tak lagi punya kebebasan sebagai manusia. Dan Yesus memerdekakannya. Sang Guru dari Nazaret tidak hanya mampu mengajar, Dia juga menghidupi bahan ajar-Nya.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...