Sidang Raya XVI PGI: Merawat Visi Oikoumene
Sidang Raya XVI PGI - Apakah hanya akan jadi kasak-kusuk memilih calon Ketua Umum PGI??
SATUHARAPAN.COM – Wajah gerakan oikoumene memang sedang mengalami perubahan mendasar. Dalam tulisan yang lalu, saya menggambarkan perubahan itu lewat pergeseran demografis dan geografis kekristenan global dari Utara ke Selatan. Tetapi, jika dicermati dari sejarahnya, gagasan tentang oikoumene itu sendiri sudah mengalami perubahan dan perluasan makna.
Walau awalnya istilah oikoumenikos hanya sekadar penanda locus tertentu – seluruh wilayah kekaisaran Romawi pada abad pertama Masehi, atau “seluruh dunia yang didiami” yang waktu itu dikenal – namun, ketika ditemukan kembali dalam konferensi misi di Edinburgh tahun 1910, istilah tersebut memperoleh vitalitas mengagumkan. Di situ istilah “oikoumene” menandai visi gerakan yang mulanya terbatas pada upaya-upaya penyatuan gereja, namun kini berkembang menjadi cakrawala guna memahami misi Allah (missio Dei) untuk “memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah” (bdk. Kol 1:20) yang mencakup seluruh semesta.
Umumnya orang memakai pembabakan sejarah perluasan makna itu begini: Pertama, dari Konferensi Misi di Edinburgh 1910 sampai Pembentukan DGD (Dewan Gereja se-Dunia) di Amsterdam 1948 yang mencerminkan penemuan-kembali makna “gereja sedunia” sebagai konsekuensi tak terelakkan dari pengabaran Injil ke seluruh dunia. Kedua, dari 1948 sampai Sidang Raya IV DGD di Uppsala 1968 yang mencerminkan penemuan-kembali makna “dunia”. Dan akhirnya, ketiga, dari 1968 sampai sekarang yang mencerminkan penemuan-kembali “jaring-jaring kehidupan” (web of life) yang melingkupi seluruh semesta.
Setiap babakan historis itu sekaligus mengajukan pertanyaan krusial yang mencerminkan tidak saja meluasnya kesadaran, namun sekaligus juga dinamika oikumene sebagai gerakan. Jika pada babakan pertama orang dituntun untuk menemukan “apa makna gereja”, dan pada babakan kedua menemukan “untuk apa gereja ada”, dalam konteks babakan terakhir muncul kesadaran planeter di mana seluruh ciptaan merupakan wujud daya kreatif penciptaan dan penebusan Allah, dan karena itu segalanya terikat dalam “jaring-jaring kehidupan”.
Tentu saja, kesadaran planeter ini menggugat seluruh konstruk dan matriks bahasa teologis, yakni cara kita sebagai umat beriman melihat dan memaknai pengalaman iman, serta tugas dan tanggungjawabnya. Yang jelas, dalam kesadaran baru ini gereja sebagai institusi tidak lagi menempati posisi sentral, melainkan menjadi hanya salah satu peserta dari arak-arakan oikumenis yang melingkupi seluruh ciptaan. Tetapi, pada saat bersamaan, kita juga dapat mengatakan bahwa kesadaran planeter tersebut, yang dewasa ini makin menguat seiring dengan revolusi teknologi transportasi dan komunikasi, menantang kita untuk merumuskan ulang makna gereja.
Sayangnya dalam konteks menggereja di Indonesia, sejauh amatan saya yang terbatas, hampir tidak ada percakapan teologis dan serius mengenai visi oikumene sebagai gerakan. Ketika istilah 'oikumene' disebut, orang cenderung, dengan cepat, mereduksikannya sebagai percakapan soal-soal teknis birokratis, seperti jadwal pertukaran mimbar, perjamuan kudus bersama, atestasi, pemberkatan nikah, dan sejenisnya. Juga pertarungan memilih Ketua Umum PGI yang baru. Suatu percakapan teknis birokratis yang tercerabut sama sekali dari pemahaman tentang makna kehadiran gereja, sebagai paguyuban umat beriman yang sedang berarak, dan sekaligus tugas dan panggilannya.
Percakapan teknis semacam itu lama-lama akan membuat gereja, meminjam istilah alm. Pdt. Eka Darmaputera, mengalami 'insignifikansi internal', tak lagi mampu memberi makna pada kehidupan jemaat, maupun 'irrelevansi eksternal', tak lagi gayut dengan persoalan-persoalan masyarakat di mana gereja ada. Dan ini, pada giliranya, makin menambah parah kelumpuhan dan kebuntuan yang dialami. Situasi itu membuat Eka, pada Seminar Agama-Agama ke XX di Salatiga, September 2000, pernah melontarkan kritik tajam tentang kebuntuan gerakan oikumene, dan bahkan mengajukan usul mengejutkan untuk “mencabut hak PGI sebagai pemegang hak monopoli atas gerakan oikumene di Indonesia”!
Setiap kali Sidang Raya PGI berlangsung, kalimat-kalimat tajam Eka itu kembali terngiang. Soalnya Sidang Raya kerap kali hanya menjadi ajang kasak-kusuk, intrik dan lobi, untuk menentukan siapa Ketua Umum PGI yang baru. Bahkan tidak jarang terjadi, kasak-kusuk itu tidak kalah ramai dengan pertarungan di partai-partai politik. Lobi-lobi berlangsung seru sampai menit terakhir sebelum pemilihan. Karenanya, banyak Ketua Sinode yang menjadi peserta sidang tidak lupa mengantongi cap stempel guna memberi rekomendasi di menit terakhir.
Apakah Sidang Raya XVI PGI di Nias juga akan terjebak menjadi ajang kasak-kusuk itu? Atau mampu mendorong percakapan serius tentang visi oikoumene sebagai gerakan yang makin meluas, tidak hanya melibatkan mereka yang beragama lain, tetapi bahkan seluruh ciptaan sebagai “rumah tangga Allah” sendiri? Tentu hasilnya masih harus dicermati.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...