Sidang Raya XVI PGI: Wajah Oikoumene yang Berubah
Menyambut Sidang Raya XVI PGI di NIas Pergeseran kekristenan global
SATUHARAPAN.COM – November ini, pulau Nias akan mencatat sejarah baru. Pulau yang pernah porak poranda dihantam gempa dahsyat 28 Maret 2005 yang menewaskan sedikitnya 638 jiwa dan disebut gempat terkuat kedua di dunia, maupun gempa berskala 8.7 skala Richter sewindu setelahnya, justru terpilih menjadi tuan rumah bagi Sidang Raya ke-XVI PGI. Lebih dari seribu orang akan datang memadati Nias, mulai dari perwakilan 88 Sinode gereja anggota PGI, lembaga-lembaga mitra, kelompok perempuan dan kaum muda (yang memiliki pertemuan raya pra-sidang sendiri-sendiri), utusan internasional, para pengamat, pejabat, sampai media massa.
Ini memang perhelatan akbar setiap lima tahun bagi gereja-gereja di Indonesia anggota PGI. Sebuah “pesta iman”. Dan Nias dipilih bukan secara acak. Sebab tema Sidang Raya kali ini, yang akan menjadi fokus perenungan gereja-gereja, justru menggemakan pengalaman pahit yang pernah melanda pulau itu: “Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya” (berdasarkan Mzm. 71:20b). Suatu pernyataan iman, tetapi sekaligus seruan doa dan pengharapan.
Nias merupakan lokasi paling pas guna menggumuli tema itu. Tsunami dan gempa dahsyat yang pernah melanda, boleh dibilang, bagaikan tangan kematian yang menghalau segala bentuk kehidupan dan menenggelamkannya ke dasar samudera. Berhadapan dengan kenyataan itu, kehidupan terasa begitu ringkih. Namun kehidupan yang ringkih itu terus berlangsung, dan perlahan-lahan Nias berbenah diri. Bagi kaum beriman, terutama gereja-gereja di Nias dan di berbagai pelosok Nusantara, semua pengalaman itu tidak dapat dilepaskan dari campur tangan Tuhan, Sumber dan Pemelihara Kehidupan.
Pengalaman Nias merupakan inspirasi penting, sebab diyakini bahwa ancaman tsunami dan gempa akan terus mengintip. Bukan saja tsunami secara fisik – sebagai negara kepulauan, Indonesia akan selalu mengalami ancaman itu – tetapi juga metaforis. Bukankah perjalanan bangsa ini hampir selalu dihantui oleh tsunami politik, sosial, maupun ekonomi yang terus membebani? Bukankah perjalanan gereja-gereja juga mengalami tsunami, baik pada tataran lokal, seperti konflik dan perpecahan antar-gereja yang melanda, misalnya, maupun pada tataran global?
Ambillah contoh “tsunami global” yang kini menghantam gereja-gereja di seluruh dunia – kecenderungan pergeseran demografis kekristenan dari wilayah Utara bumi ke Selatan. Pergeseran tersebut, yang dewasa ini makin banyak diperbincangkan banyak kalangan, sudah pasti akan mengubah wajah dan arah gerakan oikoumene pada tataran global. Dan, boleh jadi, akan berdampak ke Indonesia juga.
Saat memperingati seratus tahun Konferensi Misi di Edinburgh (1910), yang menjadi tonggak awal gerakan oikoumene global pada zaman modern, sebuah proyek ambisius dicanangkan guna menyajikan data statistik terbaru mengenai kekristenan di seluruh dunia. Hasilnya diterbitkan menjadi buku rujukan paling lengkap mengenai wajah kekristenan global: Atlas of Global Christianity (disunting oleh Todd M. Johnson dan Kenneth R. Ross, Edinburgh University Press, 2009).
Data yang disajikan sungguh menarik untuk dicermati. Secara umum, pergeseran demografis kekristenan global memang sudah berlangsung selama seratus tahun terakhir (1910 – 2010). Wajah kekristenan global kini sudah berubah sama sekali. Saat gagasan oikoumene ditemukan-kembali di Edinburgh 1910, sekitar 66 persen orang Kristen tinggal di Eropa; sekarang (2010), hanya tinggal 26 persen. Tahun 1910, hanya 2 persen orang Kristen ada di Afrika; kini sekitar satu dari empat orang Kristen adalah orang Afrika. Eropa dan Amerika Utara dulu menjadi tempat tinggal sekitar 80 persen orang Kristen. Seabad kemudian, jumlah itu tinggal separonya.
Lebih memusingkan lagi jika dilihat berdasarkan jumlah denominasi Protestan. Petanya sungguh rumit. Konferensi Misi di Edinburgh 1910 hanya diikuti sekitar 600 denominasi Kristen. Dewasa ini, jumlah denominasi itu melonjak drastis. Tak seorang pun tahu berapa jumlah persisnya. Namun dari perkiraan yang ada, dewasa ini diperkirakan ada sekitar 33.820 (berdasarkan data World Christian Encyclopedia) sampai 43.800 denominasi kekristenan di seluruh dunia!
Sudah tentu, pergeseran geografis dan demografis kekristenan itu akan mencuatkan serangkaian persoalan bagaimana merumuskan visi oikoumene, mulai dari jurang antar-generasi, antar lembaga-lembaga oikoumenis sampai perbedaan pandangan teologis. Dalam skala lebih kecil, pergeseran itu juga akan mempengaruhi langkah PGI ke depan. Setidaknya tiga hal ini perlu mendapat perhatian selama Sidang Raya.
Pertama, walau secara demografis kekristenan memang mengalami pergeseran ke Selatan, namun institusi-institusi finansial dan politik global (yang kerap kali lebih menentukan ketimbang soal teologis) masih terpusat di Utara. Bagaimana kesenjangan ini nanti diatasi, sampai sekarang masih jadi perdebatan. Kedua, selain institusi-institusi finansial yang masih bercokol di Utara, wajah kekristenan bagi agama-agama lain masih tetap “Barat”. Adalah tugas besar para teolog dan aktivis gereja untuk mengembangkan teologi yang sungguh-sungguh makin berwajah “Selatan”, bergumul dengan persoalan-persoalan yang kerap menandai negara-negara miskin dan sedang berkembang.
Ketiga, menurut data yang ada diperkirakan satu dari empat orang Kristen di dunia sekarang hampir pasti dari tradisi Pentakosta-Kharismatik yang mengalami pertumbuhan menakjubkan. Itu berarti percakapan tentang visi oikoumene tidak bisa tidak harus melibatkan gereja-gereja dari tradisi Pentakosta-Kharismatik. Ini tugas besar yang menanti pasca Sidang Raya XVI PGI di Nias!
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGI, Jakarta
Kekerasan Sektarian di Suriah Tidak Sehebat Yang Dikhawatirk...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penggulingan Bashar al Assad telah memunculkan harapan sementara bahwa war...