Teror Thamrin di Media Kita: Sebuah Kritik
Jakarta, Satuharapan.com - Saat Teror Thamrin terjadi Kamis lalu (14/1), saya sedang berada di sebuah ruangan di Fakultas Ilmu Budaya UI, Depok. Saya sedang menghadiri sidang promosi doktor seorang teman: Mahrus, dosen IAIN Cirebon. Saat itulah, seorang teman yang selama sidang itu berlangsung terus memplototi smartphone-nya (pemandangan yang sudah lazim di Jakarta sekarang), tiba-tiba membisiki saya: Ada bom meledak di Jl. Thamrin, di kawasan Sarinah.
Ada yang ironis pagi itu. Disertasi teman membahas sebuah teks dari Cirebon mengenai tarekat Syattariyah. Ada ironi di sini: sementara saya sedang menikmati ajaran sufi yang pasifis dan menekankan kedamaian, tiba-tiba sebuah kekerasan meledak tak jauh dari tempat saya duduk.
Dalam perjalanan dari UI menuju ke kawasan Tebet untuk menghadiri acara yang lain, saya mendengarkan liputan mengenai peristiwa Teror Thamrin hari itu melalui radio di mobil saya. Saya selalu setia pada satu kanal, yaitu Jak FM. Ini bukan radio berita seperti Elshinta atau Trijaya. Ini adalah radio musik yang easy listening. Tetapi hari itu, Jak FM berkali-kali membuat laporan tentang Teror Tharin.
Yang menarik pada radio ini adalah sudut pandang yang ia ambil dalam melaporkan Teror Thamrin. Dengan sengaja, tampaknya, radio ini mengambil kebijakan untuk tak masuk dalam dimensi yang “panas” dan kontroversial dalam melihat masalah teror ini. Misalnya dengan melihat asal-usul doktrin kegamaan yang melatari tindakan kekerasan tersebut. Jak FM, tampaknya, mengambil sisi yang aman saja: yaitu mewawancarai orang-orang yang ada di sekitar kawasan Sarinah. Yang ia wawancarai umumnya adalah saksi mata di lapangan.
Di sela-sela liputan ini, Jak FM menanyangkan iklan pendek yang ia produksi sendiri. Isinya adalah pernyataan belasungkawa atas tragedi yang terjadi hari itu, sambil menghimbau agar publik Jakarta tidak terteror dan takut. Sebuah himbauan yang, tentu, sangat baik.
Malam harinya, dalam perjalanan pulang ke rumah, saya masih terus setiap dengan Jak FM dan mengikuti laporan tentang Teror Thamrin di sela-sela lagu-lagu yang diputar di stasiun itu. Masih dengan ritme yang sama, radio ini menurunkan laporan dengan cara mewawancarai saksi mata yang bekerja di kawasan Sarinah.
Semula saya menikmati laporan ini. Saya rasa ini pendekatan jurnalisme yang menarik karena mengambil sisi “human interest”: tentang ketakutan yang dialami oleh orang-orang yang berada di sekitar lokasi terjadinya teror hari itu. Tak ada yang salah dengan pendekatan ini. Tetapi, setelah seharian mendengarkan Jak FM dengan laporan yang terasa sangat “netral” seperti ini, saya mulai jengkel. Apakah radio ini tak menyadari betapa besarnya ancaman ISIS dan terorisme secara umum pada negara kita?
Peristiwa di Thamrin itu (kantor Jak FM berada tak jauh dari tempat terjadinya teror Kamis lalu), bukan sekedar peristiwa kriminalitas biasa seperti perampokan tas seorang nasabah bank yang berisi uang puluhan juta di jalan raya. Ini adalah peristiwa teror dengan latar sejarah yang panjang, dengan landasan ideologis yang berakar pada paham keagamaan tertentu.
Hari itu, saya sebetulnya berharap Jak FM sedikit bersikap, misalnya dengan menyelipkan pernyataan kutukan keras atas peristiwa di Thamrin itu, bukan sekedar pernyataan belasungkawa. Saya juga berharap radio ini memberikan pesan kepada pendengarnya bahwa terorisme di Jl. Thamrin itu ancaman yang serius. Dan kita, sebagai bangsa, harus menyadarinya sebagai soal yang serius pula.
Saya tahu Jak FM adalah radio musik, dan karena itulah saya menyukainya. Tetapi dalam situasi yang gawat dan mengancam “modus vivendi” atau cara hidup kita sebagai bangsa, saya berharap radio ini bisa meninggalkan sebentar kawasan “comfort zone” dan menunjukkan sikap yang jelas dan kritis pada tindakan teror ini. Misalnya dengan mengirim pesan yang jelas: Kutuk, dan waspadai ideologi yang mendasarinya.
Dengan sikap semacam ini, radio seperti Jak FM yang banyak didengarkan oleh kelas menengah di Jakarta itu bisa melakukan pendidikan politik terhadap pendengarnya. Ideologi teror yang melatari kekerasan yang dilakukan ISIS itu mengancam semua pihak, termasuk kelas menengah yang selama ini menikmati kebebasan. Sebab persis kebebasan kelas menengah itulah yang hendak diincar oleh terorisme ISIS untuk dihanguskan. Apalah artinya kelas menengah tanpa kebebasan semacam ini?
Malam itu, saya sampai di rumah dengan fisik yang lelah, tetapi dengan hati yang jengkel. Saya jengkel, kok bisa media kita bersikap netral-netral saja dalam memberitakan peristiwa yang langsung mengancam fondasi bangsa ini, termasuk fondasi yang melandasi keberadaan media pada umumnya: yaitu kebebasan melakukan reportase tanpa intervensi!
Apakah pendekatan yang netral dalam pemberitaan terorisms ini khas Jak FM saja? Saya menduga: tidak sama sekali. Ini adalah simtom atau gejala dari sebuah masalah yang sungguh berakar dalam di media kita. Ada dua ciri khas dalam pemberitan soal terorisme selama ini: netralitas dan sensasionalitas.
Sikap netral tercermin dalam kecenderungan media untuk memberitakan masalah terorisme seperti kriminalitas yang lain, hanya saja dalam derajat drama yang lebih tinggi saja. Tak ada sesuatu yang dianggap serius dalam peristiwa ini. Saya melihat kontras besar antara sikap media kita dalam melihat masalah teror dengan, misalnya, media-media Perancis setelah peristiwa penembakan di kantor majalah satir Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015, atau Serangan Paris pada 13 November tahun yang sama.
Jika kita baca koran-koran Perancis setelah dua peristiwa teror tahun lalu itu (keduanya didalangi oleh ISIS), tampak sebuah sikap umum yang menonjol: Ini masalah kebangsaan yang serius. Melalui laporan-leporan mereka, kita bisa menangkap bahwa media Perancis merasakan deep sense of urgency terhadap isu ini. Karena itu, mereka membuat laporan yang mencoba membongkar habis akar-akar dari kekerasan ini, dan bangaimana Perancis sebagai bangsa dan negara mesti mengahadapinya.
Media Perancis juga mencoba mencari nara sumber yang benar-benar tahu mengenai masalah ini, sehingga publik paham dan mendapat informasi yang tepat mengenai bahaya yang amat serius dari terorisme. Mereka memiliki pakar seperti Gilles Kepel, profesor di Sciences Po, Paris, yang telah menerbitkan banyak buku mengenai kelompok-kelompok jihadis di dunia Islam. Salah bukunya yang terkenal: Le Prophete et le Pharaon: Aux sources des mouvements islamists [Nabi dan Firaun: Tentang Sumber-Sumber Gerakan Islamis] (1984).
Hal seperti inilah yang tidak atau kurang saya lihat di media kita. Tak ada deep sense of urgency dalam melihat masalah terorisme. Masalah ini sekedar dipandang sebagai kekerasan biasa dengan derajat sensasi yang lebih tinggi.
Ini kemudian membawa kita kepada ciri menonol kedua dalam reportase media Indonesia mengenai peristiwa teror, yaitu sensasionalitas. Saya tak mengatakan bahwa media kita tak peduli pada terorisme. Pemberitaan mengenai terorisme membanjiri halaman koran dan media, memenuhi layar televisi, dan menyesaki kotak radio kita (apakah radio kita sekarang masih berbentuk kotak seperti zaman saya kecil dulu?).
Tetapi intensitas pemberitaan yang tinggi tentang terorisme tidak serta merta menandakan bahwa media kita memiliki deep sense of urgency. Dan itulah yang saya rasakan saat ini. Tentu perkecualian untuk satu-dua media ada. Tetapi kecenderungan yang umum ialah: Netral dan sensasional. Lepas dari tingginya reportase tentang terorisme, tetapi saya tetap tak melihat adanya perasaan tentang kegawatan.
Ini, saya kira, bisa dijelaskan dengan satu hal: Karena terorisme dipandang sekedar sebagai bahan untuk meraih sensasionalitas. Berita tentang terorisme membanjiri media kita, tetapi saya tak merasakan deep sense of urgency. Yang saya rasakan hanyalah sekedar berita yang sensasional belaka. Seperti sensasi-sensasi yang lain.
Saya menganggap bahwa terorisme yang dipicu oleh paham keagamaan adalah hal yang secara serius mengancam “the very foundation of our life as a nation”. Dia bisa merubuhkan raison d’être atau alasan kita berada sebagai sebuah bangsa. Hanya jika lembaga media dan wartawan kita memiliki pemahaman seperti ini, kita bisa berharap bahwa mereka memiliki kesadaran tentang betapa seriusnya soal terorisme ini.
Jika pemahaman itu belum tertanam dengan mendalam di kalangan praktisi media kita, peristiwa terorisme akan terus diperlakukan seperti sekarang: sumber sensasi yang meledak sesaat untuk kemudian berlalu, seperti berita-berita yang lain.
Penulis adalah cendekiawan muda NU, pendiri JIL (Jaringan Islam Liberal)
Editor : Trisno S Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...