Menolak Jafar Umar Thalib
Papua, SATUHARAPAN.COM - Jafar Umar Thalib (JUT). Nama ini melambung menjadi pembicaraan nasional ketika pada tahun 1999 hingga 2002 terjadi konflik horizontal bernuansa SARA di Maluku. Dia adalah panglima perang Laskar Jihad yang memipin ribuan orang anak-buahnya menabuh genderang perang saudara antara umat Islam dan Kristen di Maluku yang telah ratusan tahun hidup dalam pela gandong. Setelah sempat diadili pada tahun 2002, namanya kemudian menghilang dari pemberitaan nasional seiring dengan pembubaran Laskar Jihad.
Sekira 2 hingga 3 tahun terakhir namanya kembali mencuat ke permukaan. Salah satu yang menghebohkan adalah ketika terjadi penyerangan terhadap rumah Julius Felicianus. Ketika itu 29 Mei 2014, di rumah milik Direktur Galang Press ini tengah berlangsung kelompok doa Rosario bulan Maria yang dilakukan oleh jemaat Katolik Santo Fransiscus Agung, Gereja Banteng. Salah seorang dari kelompok penyerang ketika itu mengakui bahwa mereka adalah anak buah JUT. Koordinator Front Jihad Islam (FJI), Abdurahman mengakui bahwa merekalah yang melakukan penyerangan.
FJI diketahui kerap kali terlibat dalam sejumlah aksi intoleransi di Yogyakarta. Aksi intoleransi tersebut tidak hanya dilakukan terhadap umat beragama di luar Islam, melainkan juga terhadap berbagai kelompok di dalam Islam sendiri. Mereka bahkan memaksa pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa sesat terhadap kelompok Syiah. Namun keinginan mereka ditentang oleh dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam besar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah yang dikenal sangat moderat dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi.
Sekitar seminggu usai aksi kekerasan yang menimpa kelompok doa Rosario tersebut, tepatnya pada 8 Juni 2014, Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Yogyakarta menggelar tabligh akbar di masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Temanya adalah ‘Perang Melawan Pluralisme’ dengan narasumber utama JUT. Dalam ceramahnya, JUT dengan tegas menyatakan keinginannya yang siap berperang melawan pluralisme karena menurutnya Islam tidak mengenal paham pluralisme. Baginya, pluralisme merupakan paham yang membawa pemurtadan bagi umat Islam. Dia menuding kelompok di luar Islam yang mencetuskan paham ini.
Jejak JUT memang selalu dekat dengan kekerasan. Lelaki kelahiran Malang, 29 Desember 1961 ini sudah dikenal keras sejak muda. Dia telah lari dari pesantren Al Irsyad milik ayahnya setelah menamatkan Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1981 ke pesantren Persis di Bangil. Merasa tidak puas di pesantren ini, JUT kemudian memilih Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Arab (LIPIA) sebagai tempat belajarnya. Gagal mendapatkan gelar Sarjana Syariah di LIPIA, pada 1986 JUT dipindahkan ke Maududi Institute di Lahore, Pakistan setelah sebelumnya bertengkar dengan salah satu dosen pengajarnya.
JUT lagi-lagi tidak menamatkan pendidikannya. Pada 1987 hingga 1989, dia memilih hijrah ke Afganistan dan ikut mengangkat senjata melawan invasi Uni Sovyet. Di sinilah dia berkenalan dengan sejumlah kelompok radikal Islam. JUT kemudian kembali ke Indonesia dan memimpin pesantren Al-Irsyad di Salatiga. Pada tahun 1991, dia kembali lagi ke Timur Tengah untuk berguru pada sejumlah ulama besar di sana, salah satunya adalah Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wa’i di Dammaz, Yaman Utara. Tahun 1993 JUT kembali ke Indonesia dan mendirikan pesantren di Yogyakarta dengan nama Ihya’us Sunnah. Di sini dia mengajar melalui dakwah Salafiyah, hingga pada tahun 1999 ketika dia memimpin Laskar Jihad di Ambon.
Jafar Umar Thalib dan Papua
Ketika terjadi kekerasan bersenjata di Maluku pada 1999 hingga 20002, pada saat yang sama di Papua juga sedang berada dalam gejolak sosial politik. Isu vertical pada aras politik yang berujung pada tuntutan merdeka lepas dari NKRI telah berkelindan dengan suburnya isu bernuansa agama dan suku. Ketegangan ini kemudian memunculkan isu liar lainnya, yakni masuknya Laskar Jihad ke Papua. Hal ini mau tidak mau membuat situasi di Papua semakin memanas. Kita tahu persis, ketika itu beberapa tokoh masyarakat di Papua lintas agama dan suku bahu membahu menjaga imbas konflik Ambon masuk ke Papua. Dan pada akhirnya situasi di Papua kembali tenang setelah konflik di Ambon perlahan mereda. Pada saat yang sama, JUT ditangkap aparat keamanan dengan tuduhan melakukan penghasutan dalam konflik di Ambon meski kemudian dinyatakan bebas murni oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Ja'far Umar Thalib (foto:jafarumarthalib.com)
Ketika peristiwa kekerasan terhadap umat Islam di kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015 yang memicu kemarahan umat Islam di seluruh Indonesia, JUT juga ikut berteriak. Dia mengeluarkan maklumat Jihad Fi Sabilillah ke Papua pada 20 Juli 2015. Isinya tegas: perang terhadap kelompok yang menyerang umat Islam. Dalam maklumat yang sama, JUT juga jelas menyebut pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan yang kafir. Meski maklumat tersebut telah dikeluarkan, namun hingga kini di Papua tidak terlihat adanya tindak lanjut sebagai respon keras atas peristiwa Tolikara tersebut.
Pada 9 Desember 2015, di saat umat Kristen di Papua tengah berada dalam minggu pertama Advent, tiba-tiba sebuah berita mengejutkan datang dari Koya Barat, Kota Jayapura. Telah terjadi persilihan antara dua pemuda di daerah yang berbatasan dengan negara PNG dan kabupaten Keerom tersebut. Disebutkan bahwa seorang pemuda Islam yang hendak melaksanakan sembahyang merasa terganggu dengan lagu-lagu rohani yang diputar dari pondok Natal. Perkelahian akhirnya tidak dapat dihindari. Beruntung aparat keamanan dengan cepat menyelesaikan persoalan tersebut tanpa harus memperpanjang persoalan. Belakangan diketahui bahwa pemuda Islam yang terlibat dalam perkelahian tersebut adalah salah satu santri JUT yang berada di Koya Barat, Kota Jayapura.
Hasil Tabayyun MUI dan Ormas Islam Papua
Merespon kehadiran JUT dan kelompoknya di Papua dan insiden yang terjadi di Koya Barat pada awal Desember 2015 ini, maka MUI Papua memfasilitasi sebuah pertemuan antara ormas Islam di Papua dengan JUT dan kelompoknya. Pertemuan yang dilaksanakan pada 27 Desember 2015 ini dihadiri sejumlah tokoh dan ormas Islam di Papua dan juga JUT bersama sekitar 10 orang pengikutnya.
Dalam pertemuan tersebut, JUT diminta klarifikasinya atas kehadirannya di Papua serta kejadian yang melibatkan santri JUT dengan seorang pemuda di Koya Barat pada 9 Desember 2015 lalu. Dalam paparannya, JUT mengatakan bahwa kehadirannya di Papua adalah untuk berdakwah dengan mendirikan pesantren di Papua. Lokasi pembangunan pesantrennnya telah ditetapkan, yakni di Arso Satu, kabupaten Keerom. Dalam beberapa tulisannya, JUT meyakini bahwa umat Islam di Papua masih jahil/bodoh akan syariat Allah SWT dan jauh dari ilmu agama Islam. Karena itu dia merasa terpanggil untuk melakukan dakwah di Papua dengan mendirikan pesantren dan mengirim sejumlah da’i di berbagai daerah pedalaman di Papua. Terkait dengan perselisihan yang terjadi di Koya Barat, JUT menyebutkan bahwa hal tersebut adalah kesalahpahaman dari anak-anak muda saja. Menurutnya, santrinya telah berusaha untuk menegur pemuda di pondok Natal untuk mengecilkan volume lagu, namun hal tersebut tidak diindahkan. Inilah yang membuat perkelahian tersebut tidak bisa dihindarkan.
Berbagai reaksi muncul dari tokoh dan ormas Islam di Papua atas pernyataan JUT ini. Salah seorang tokoh pemuda Islam dengan gemetar menyampaikan protes kerasnya atas kehadiran JUT di Papua. Dia menyampaikan bahwa kehadiran JUT di Papua hanya akan menghadirkan keresahan di kalangan umat beragama di Papua. Bukan saja dari umat Kristen di Papua, bahkan dari kalangan umat Islam di Papua sendiri menjadi resah karena kehadirannya. Fadhal Alhamid, pemuda tersebut menyebutkan bahwa upaya menjaga perdamaian di Papua akan semakin berat jika JUT dibiarkan berada di Papua.
Seorang pemuda Islam Papua menceritakan kenyataan hidup masyarakatnya di Walesi, Wamena. Menurutnya, Kristen (juga Katolik) dan Islam di Papua masih ada dalam satu honai yang sama. Beberapa pandangan lain masih disampaikan oleh sejumlah tokoh agama Islam di Papua yang intinya bahwa mereka tidak ingin komunikasi antarumat dan hubungan kekeluargaan di Papua menjadi buruk karena kehadiran JUT di Papua. Tidak ada satupun tokoh dan ormas Islam di Papua yang hadir dalam pertemuan tersebut menghendaki keberadaan JUT di Papua. Semua tokoh dan ormas Islam memiliki satu pandangan yang sama: MENOLAK KEBERADAAN JAFAR UMAR THALIB BERSAMA KELOMPOKNYA DI PAPUA.
Pandangan umat Islam di Papua ini setidaknya didasarkan atas beberapa hal. Pertama rekam jejak JUT yang dekat dengan kekerasan dan tindakan intoleransi. Umat Islam di Papua tidak menginginkan duka kemanusiaan yang pernah terjadi di Maluku kembali terulang di Papua. Kedua, bahwa ukhuwah Islamiyah antara kelompok Islam di Papua telah terbangun dengan baik tanpa ada upaya saling mengkafirkan satu sama lain. Ketiga, Sikap JUT dalam deklarasi ‘Perang Melawan Pluralisme’ adalah pengingkaran terhadap sunatullah (kehendak Tuhan). Bagi umat Islam di Papua, pluralisme adalah sebuah keniscayaan dan merupakan kehendak Tuhan. Di Papua bahkan jamak dijumpai keragaman agama dalam satu keluarga inti.
Point keempat, rekam jejak JUT tidak menggambarkan Islam yang rahmatan lil alamin. Sementara saat ini tokoh dan ormas Islam di Papua terus berusaha untuk menghadirkan Islam yang ramah dan Islam yang mampu menjadi ‘berkat buat semua’. Dan kelima, kehadiran JUT hanya akan semakin mengaburkan upaya setiap komponen masyarakat di Papua untuk mewujudkan Papua tanah damai. Upaya mulia ini tidak boleh berhenti apalagi terhambat oleh siapapun, tidak juga oleh JUT dan kelompoknya.
Karena itu, memperhatian berbagai masukan dari peserta tabayyun tersebut, maka MUI Papua menyampaikan kepada JUT untuk tidak lagi berada di Papua.
Umat Islam di Papua masih mampu menjaga keimanannya tanpa perlu keterlibatan dari kelompok-kelompok yang merasa paling benar dan paling suci namun tangan mereka jelas berlumuran darah dan hati yang dipenuhi kedengkian.
Penulis adalah aktivis keragaman, bergabung dalam Kelompok Ilalang Papua
Editor : Trisno S Sutanto
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...